tirto.id - Pukul 7 pagi, aroma harum tumisan rempah mulai menguar di sekitar dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Palmerah, Jakarta Barat. Belasan orang dengan seragam dan perlengkapan lengkap — mulai dari penutup kepala, masker, hingga sarung tangan — terlihat sibuk dengan tugas mereka masing-masing.
Di tempat ini, lebih dari 3.500 porsi Makan Bergizi Gratis (MBG) disiapkan setiap harinya. Tak hanya kepada siswa sekolah, di dapur ini juga memproduksi MBG untuk kelompok ibu hamil, menyusui, dan balita (3B).
Berdasarkan pantauan reporter Tirto di lapangan, makanan yang akan didistribusikan untuk program itu sudah selesai dimasak pada pukul 8 pagi. Para petugas, dengan cekatan dan luwes, mulai memindahkan lauk, sayur, dan nasi hangat ke dalam wadah-wadah ompreng yang sudah dicuci bersih sebelumnya.
Koordinator SPPG Wilayah Jakarta Barat, Yudha Permana, mengatakan bahwa penyediaan makanan ini bukan sekadar masak dan proses distribusi, tapi butuh rancangan dan pertimbangan yang matang dalam setiap keputusannya, karena memiliki tanggung jawab besar.
Yudha mengatakan bahwa setiap bahan dari pemasok tiba di dapur, tim langsung melakukan inspeksi ketat terhadap kesegaran daging, sayur, dan juga bahan lainnya agar disimpan sesuai keharusannya. Termasuk, agar susu yang diedarkan tidak mengandung gula berlebih.
Untuk protein hewani disimpan di freezer bersuhu di bawah -15°C. Sementara itu, sayur dan bahan nabati disimpan di chiller bersuhu di bawah 5°C.

"Jadi di setiap SPPG itu dipastikan bahwa mereka menjaga CCP atau Critical Control Point. Ini mulai dari awal, sebetulnya tidak ketika bahan baku datang saja, tapi dari awal pembuatan menu. Kami pastikan AKG, Angka Kecukupan Gizinya terpenuhi," ujar Yudha saat ditemui di SPPG Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (23/9/2025).
Selain itu, Yudha mengatakan dalam prosesnya pasti melakukan pemisahan bahan makanan, termasuk protein nabati dan hewani. Menurutnya, hal ini menjadi penting diterapkan secara disiplin untuk mencegah kontaminasi silang dan bakteri berbahaya pada makanan.
Tak tanggung-tanggung, persiapan makanan sudah dilakukan sejak pukul dua dini hari. Bahan-bahan diproses sesuai SOP dan wajib berseragam bersih serta lengkap, dan sudah memiliki sertifikat penjamah makanan dari Dinas Kesehatan terkait.
"Yang awalnya mereka mengenakan kaos, nanti memakai seragam yang sudah disediakan," kata Yudha.
Suhu masak dikatakannya juga selalu dijaga untuk memastikan semua mikroorganisme berbahaya mati dan makanan yang akan dikonsumsi aman.
Setelah makanan dinyatakan matang sesuai standar, makanan kemudian didinginkan terlebih dulu agar tak menyebabkan 'keringat' yang bisa membuat makanan cepat basi.
Pukul 06.00 pagi tiba, MBG gelombang pertama sudah diporsikan ke dalam ompreng dan siap untuk disalurkan ke setiap sekolah. Mereka akan berangkat pukul 07.00 dengan makanan dijadwalkan disantap pukul 08.30. Sementara itu, untuk gelombang kedua akan disantap sekitar pukul 10.30 dengan proses masak yang diatur lebih siang.
"Jadi kami bisa pastikan bahwa makanan itu dimakan tidak lebih dari 4 jam setelah didistribusikan ke sekolah," kata Yudha.

Ompreng, katanya, juga tidak boleh diletakkan langsung di lantai saat tiba di sekolah. Palet kayu atau meja wajib disiapkan untuk meminimalisir kontaminasi lainnya. Pun setelah anak-anak makan, ompreng yang telah digunakan akan dikembalikan ke dapur untuk selanjutnya dicuci oleh tim pencuci.
Sebelum dicuci, dijelaskan Yudha, ompreng yang masih berisi makanan kemudian dipilah agar tak bercampur. Setelah itu, ompreng akan dicuci dan masih akan melewati proses sterilisasi dengan menggunakan air panas, juga lap yang terus diganti.
Di sisi lain, tim khusus melakukan sortir sisa makanan dari setiap wadah yang masuk. Nasi, lauk, sayur, dan buah dipisahkan, lalu ditimbang. Menurut Yudha proses ini menjadi bagian penting dalam evaluasi harian terkait menu mana yang disukai anak-anak, mana yang tidak tersentuh sama sekali.
"Per hari itu food waste enggak sampai 30 kilogran, sekitar 20 kilogram. Itu udah turun sekali. Ada hari dimana food waste-nya kosong juga, benar habis anak itu makan," katanya.
Yudha mengatakan program MBG yang dijalankan SPPG Palmerah sudah berjalan dari 18 November 2024. Hingga hari ini — hampir setahun — ada 50 orang pegawai yang bekerja sejak dini hari.
Mereka terbagi dalam beberapa divisi dengan tugas yang sangat spesifik mulai dari tim persiapan bahan (7 orang), tim masak (9 orang), tim pemorsian makanan (9 orang), hingga tim cuci ompreng yang jumlahnya paling besar, mencapai 16 orang. Sisanya tersebar di bagian pengemudi (4 orang), petugas kebersihan, keamanan, serta staf pengelola seperti asisten lapangan, akuntan, ahli gizi, dan kepala SPPG (KASPPG).
"Karena kami mayoritas 90 persen ibu rumah tangga, 50 persen [dari mereka] berjalan kaki [menuju SPPG]," katanya.
Hingga saat ini pula, Yudha menyebut belum pernah terjadi satu pun kasus keracunan makanan atau insiden luar biasa seperti yang akhir-akhir ini terjadi di beberapa titik. Sebab, menurutnya, SOP yang telah diterapkan Badan Gizi Nasional dijalankan ketat. Termasuk dengan pelatihan berkelanjutan, evaluasi rutin yang terus dilakukan.
"Tips untuk rekan-rekan Kepala SPPG di seluruh Indonesia, kami punya tips untuk selalu, tadi fokusnya adalah CCP (Critical Control Point) nya itu apa saja sih, kita harus breakdown. Kita breakdown CCP-nya itu yang bisa dijaga apa saja," katanya.
"Nah ini pentingnya peran KASPPG untuk selalu memastikan critical control point-nya itu terjaga dengan baik," lanjutnya.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Bayu Septianto
Masuk tirto.id


































