Menuju konten utama

Mengukur Efek Bola Panas Resesi Inggris & Jepang bagi Indonesia

Josua Pardede menilai resesi yang terjadi di Inggris dan Jepang memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

Mengukur Efek Bola Panas Resesi Inggris & Jepang bagi Indonesia
Ilustrasi Resesi Global. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Negara mitra dagang Indonesia, yakni Inggris dan Jepang tengah mengalami resesi. Resesi adalah suatu kondisi di mana perekonomian negara sedang memburuk. Hal ini ditandai dengan menurunnya Produk Domestik Bruto (PDB), meningkatnya pengangguran, serta pertumbuhan negatif ekonomi riil selama dua kuartal berturut-turut.

Berdasarkan laporan Office for National Statistic, badan otoritas statistik pemerintah Inggris mencatat pada kuartal III-2023 pertumbuhan ekonomi mereka minus 0,1 persen. Kemudian pada kuartal IV-2023 kembali minus 0,3 persen. Sementara Jepang mengalami resesi setelah ekonomi kuartal III-2023 dan IV-2023 minus masing-masing 3,3 persen dan 0,4 persen.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai resesi yang terjadi di Jepang akan memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Kali ini bukan hanya dari sisi ekspor saja, tetapi juga dari investasi.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jepang termasuk ke dalam lima besar negara asal investasi di Indonesia. Bahkan pada 2023, investasi dari Jepang naik sebesar 30 persen secara tahunan atau (year on year/yoy) mencapai 4,6 miliar dolar AS dibandingkan dengan 2022.

Investasi Negeri Sakura tersebut tertuju pada sektor industri pengolahan. Terutama industri otomotif, logam dasar, serta kimia yang menjadi tiga sektor terbesar penerimaan investasi dari Jepang selama 2023.

“Adanya resesi tersebut menimbulkan risiko perlambatan atau bahkan penurunan investasi dari Jepang ke Indonesia yang kemudian dapat mempengaruhi perkembangan sektor terkait – utamanya sektor industri manufaktur,” kata Josua kepada Tirto, Kamis (22/2/2024).

Pengaruhi Kinerja Ekspor

Selain dari sisi investasi, sektor perdagangan internasional ekspor impor juga akan terpengaruh dengan ada resesi. Jepang sendiri, kata Josua, merupakan negara tujuan ekspor terbesar ke empat dari Indonesia. Produk-produk utama ekspor Indonesia ke Jepang antara lain adalah batu bara, bijih tembaga, produk peralatan dan mesin elektronik, serta nikel matte.

“Melihat produk tersebut, kami menilai sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan, khususnya sektor industri logam dasar serta industri mesin dan perlengkapan, menjadi beberapa sektor yang dapat terkena dampak signifikan dari penurunan pertumbuhan ekonomi Jepang,” ujar dia.

Penurunan pada sektor-sektor tersebut, diamini oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Bima melihat situasi resesi yang terjadi di Jepang memang akan menekan industri batu bara dalam negeri. Sebab, komoditas itu, memiliki nilai ekspor sebesar 8,8 miliar dolar AS.

Selain batu bara, nilai ekspor komponen elektronik angkanya juga cukup besar yakni 1,5 miliar dolar AS, nikel 1,2 miliar AS, perhiasan 1,2 miliar dolar AS, barang-barang dari kayu dan turunannya 1 miliar dolar AS, karet yang digunakan untuk otomotif 1 miliar dolar AS, dan perikanan 509 juta dolar AS.

“Jadi ini adalah list barang-barang yang mungkin akan terdampak karena memang nilainya sangat besar,” ujar Bhima kepada Tirto, Kamis (22/2/2024).

Penurunan ekspor Indonesia ke Jepang sebenarnya tidak hanya terjadi di Januari 2024, tapi sudah terjadi sejak 2023. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-November 2023, nilai ekspor Indonesia ke Jepang sudah menurun sebesar 23.2 persen yoy dibandingkan Januari-November 2022.

Sedangkan total volume ekspor Indonesia ke Jepang turun sebesar minus 0,7 persen yoy. Sehingga, dampak dari penurunan ekspor Indonesia ke Jepang tersebut sudah dirasakan sejak akhir 2023. Di mana ekspor Indonesia, secara total, terkontraksi sebesar minus 11,3 persen.

Meskipun demikian, neraca perdagangan Indonesia ke Jepang masih mencatatkan surplus di 2023. Namun ke depannya, Josua Pardede menilai, jika penurunan ekspor tersebut terus berlanjut, maka akan memicu risiko terhadap penurunan surplus transaksi neraca perdagangan Indonesia – bahkan risiko defisit neraca perdagangan.

“Di tengah penurunan ekspor ke Jepang tersebut, kami menilai pemerintah Indonesia dapat membuka pasar baru untuk produk ekspor Indonesia tersebut untuk negara dengan karakteristik seperti Jepang,” ujar Josua.

PANDEMI COVID-19 BUAT BIAYA EKSPOR-IMPOR MEMBENGKAK

Pekerja melakukan bongkar muat peti kemas di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/12/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

Bagaimana Dampak Resesi Inggris ke Indonesia?

Di sisi lain, Josua menilai, dampak resesi perekonomian Inggris terhadap perekonomian riil Indonesia cenderung masih terbatas. Hal ini tercermin dari kinerja ekspor Indonesia ke Inggris dan foreign direct investment (FDI) dari Inggris ke Indonesia pada periode Januari-November 2023 yang cenderung menurun.

Nilai ekspor Indonesia terbesar ke Inggris berdasarkan produknya yang mengalami penurunan antara lain alas kaki ( minus 15,6 persen yoy), serta kayu dan barang dari kayu (minus 20,1 persen yoy) dengan keseluruhan nilai ekspor ke Inggris tercatat minus 5,3 persen yoy.

Selain itu, realisasi FDI dari Inggris berdasarkan sektornya yang mengalami penurunan pada 2023 antara lain: pertanian tanaman minus 29,1 persen yoy; industri makanan minus 47,5 persen yoy, dan akomodasi minus 24,8 persen yoy dengan total FDI Inggris ke Indonesia pada 2023 yang lalu tercatat minus 38,5 persen yoy.

“Maka kontribusi ekspor ke Inggris terhadap total ekspor Indonesia serta kontribusi FDI dari Inggris terhadap total FDI cenderung marginal,” ujar Josua.

Meskipun demikian, sejalan dengan kondisi resesi di Inggris dan Jepang, maka terdapat potensi bahwa bank sentral kedua negara tersebut diperkirakan akan melonggarkan kebijakan moneternya lebih awal dibandingkan dengan bank sentral AS. Kondisi ini, kata Josua, mempertimbangkan ekonomi AS yang masih solid.

Atas kondisi tersebut, Josua memperkirakan masih dapat berpotensi berlanjutnya penguatan dolar AS sejalan dengan risk-off sentimen yang mendorong shifting ke safe-haven asset seperti dolar AS. Hal tersebut juga berpotensi membatasi capital inflow di pasar keuangan domestik selama penurunan suku bunga bank sentral global seperti Inggris dan Jepang cenderung lebih awal. Sementara suku bunga AS masih akan bertahan (higher for longer).

Apa yang Mesti Dilakukan Pemerintah?

Dalam situasi seperti ini, Bhima Yudhistira mendorong pemerintah untuk melakukan mitigasi dengan mengalihkan produk-produk yang diekspor ke Jepang maupun Inggris dialihkan ke pasar alternatif. Tentu, ini bisa dilakukan namun tidak mudah dan membutuhkan intelijen pasar.

“[Butuh intelijen pasar] untuk membaca peluang dan fasilitasi pertemuan dengan calon buyer atau pembelian potensial di negara alternative. Di sinilah peran kedutaan besar menjadi penting,” ujar Bhima.

Selain itu, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga perlu melakukan monitoring dengan melakukan uji ketahanan terhadap berbagai indikator makro ekonomi maupun stabilitas di sektor keuangan. Karena memang, kata Bhima, dampak dari risiko ekonomi Jepang itu terhadap kawasan global dan domestik terutama melalui jalur perdagangan.

Kemudian di sisi yang lain juga, pemerintah harus bisa memberikan semacam insentif yang lebih besar lagi bagi para pelaku usaha yang bekerjasama dengan investasi Jepang. Terutama di sektor padat karya. Sebab bisa jadi ini adalah momentum relokasi industri dari Jepang ke Indonesia.

“Terutama di sektor elektronik mungkin terkait dengan pengembangan mobil hybrid, mobil listrik industri baterai dan perangkat elektronik serta sektor IT,” pungkas Bhima.

Ilustrasi Resesi Global
Ilustrasi Resesi Global. FOTO/iStockphoto

Respons Pemerintah

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menilai tersungkurnya perekonomian Inggris dan Jepang serta negara-negara maju lainnya akan semakin memperparah perekonomian global. Salah satu faktor yang mempengaruhi perekonomian negara tersebut adalah kenaikan tingkat suku bunga. Hal ini diperparah fakta bahwa kenaikan terjadi dalam periode yang terbilang singkat.

“Tahun ini, beberapa lembaga memang menyampaikan bahwa kinerja dari perekonomian negara-negara maju akan cukup tertekan karena kenaikan suku bunga di berbagai negara itu cukup tinggi dalam waktu yang sangat singkat,” ucap Sri Mulyani saat ditemui awak media usai acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2024, Jakarta, (20/2/2024).

Dalam pernyataannya, Bendahara Negara itu juga menilai bahwa negara-negara yang merupakan anggota G7 juga mengalami kondisi ekonomi yang tertekan. Selain Inggris dan Jepang, Negara G7 lainnya yakni Amerika Serikat (AS), Jerman, Perancis, Italia, dan Kanada.

“Jadi pasti mempengaruhi kinerja perekonomian mereka itu yang menyebabkan kenapa proyeksi dan outlook ekonomi bagi banyak negara, terutama G7 dalam hal itu akan cenderung melemah,” ujarnya.

Dalam kondisi demikian, Sri Mulyani menilai kinerja ekonomi global yang sedang tertekan ini tentunya juga akan berdampak pada lingkungan global termasuk capaian ekonomi Indonesia. “Ini menjadi tantangan untuk lingkungan global kita semuanya,” katanya.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, juga tidak menampik bahwa resesi ekonomi yang terjadi di Inggris dan Jepang dapat berdampak atau berpotensi menahan peningkatan pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan.

“Kontraksi pertumbuhan ekonomi di Inggris dan Jepang yang terjadi pada dua kuartal berturut-turut dapat menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia ke depan,” ujar Perry dalam konferensi pers, Rabu (21/2/2024).

Meski begitu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia lebih baik dari proyeksi sebelumnya di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang masih tinggi. Ekonomi global diperkirakan tumbuh sebesar 3,1 persen pada 2023 dan 3,0 persen pada 2024. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya masing-masing sebesar 3,0 persen dan 2,8 persen.

Perbaikan terutama ditopang lebih kuatnya kinerja ekonomi AS dan India sejalan dengan konsumsi dan investasi yang tinggi. “Kalau kita bandingkan dengan bulan lalu pertumbuhan ekonomi dunia cenderung lebih baik. Asalnya dari mana? Amerika Serikat dan India,” imbuh dia.

Baca juga artikel terkait RESESI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang