tirto.id - Penerapan pajak karbon, sebagai salah satu upaya mencapai Net Zero Emission (NZE), tengah menjadi fokus sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pajak karbon dipilih karena dipandang cukup efisien untuk memberikan harga atas dampak negatif dari emisi.
Penerapan pajak karbon tidak hanya memberikan keuntungan fiskal tetapi juga akan mendorong inovasi teknologi yang lebih efisien dan berkelanjutan. Pasalnya, kebijakan ini nantinya berfungsi sebagai penalti bagi pelaku industri yang enggan memenuhi target emisinya.
Banyak negara yang sudah lebih dulu mempraktikkan kebijakan tersebut dan menuai pundi-pundi emas. Menurut data Statista, Kanada menjadi negara dengan pendapatan tertinggi dari implementasi pajak karbon. Pada 2022, negara tersebut mengantongi hampir 5,5 miliar dolar AS dari total potensi penerimaan diperkirakan sebesar 28,69 miliar dolar AS.
Sementara Swedia menghasilkan pendapatan tertinggi kedua di dunia dari implementasi pajak karbon pada 2022. Pada periode itu Swedia berhasil mengumpulkan lebih dari 2,1 miliar dolar AS dari potensi pendapatan sebesar 7,96 miliar dolar AS.
Ibu Pertiwi sebenarnya juga memiliki potensi cukup besar dari penerimaan pajak karbon kendati belum mulai diimplementasikan. Pengenaan pajak karbon sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sementara, ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Regulasi tersebut menetapkan tarif pajak karbon sebesar Rp30 per kg CO2 ekuivalen atau lebih rendah dari yang diusulkan sebesar Rp75 per kg CO2 ekuivalen.
Ini berarti 1 ton CO2 dikenakan pajak sebesar Rp30.000, jauh dari rata-rata tarif pajak karbon global, yakni 21 dolar AS atau setara Rp336.000 (asumsi Rp16.000/dolar AS). Meskipun memang terdapat beberapa negara dengan tingkat tarif mirip, seperti Meksiko, Estonia dan Jepang.
Lebih lanjut, analisa beberapa akuntan publik menghitung keuntungan Indonesia jika menerapkan kebijakan tersebut. Terdapat setidaknya potensi penerimaan pajak mencapai Rp23,651 triliun dari sektor energi pada 2025. Nilai ini didapat dengan asumsi peningkatan emisi 3,57 persen tiap tahunnya dan tarif Rp30/kg CO2.
Analisa yang sama juga dilakukan oleh Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro. Ia memperkirakan pendapatan pajak dari sektor ini mencapai Rp29 triliun sampai Rp57 triliun di tahun pertama implementasi. Nilai ini setara 0,3 persen dari PDB Indonesia.
Asumsi tersebut terjadi jika biaya pajak dikenakan sekitar 5-10 dolar AS per ton CO2 terhadap 60 persen emisi energi.
Dalam konteks pembangunan, penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal. Misalnya menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.
Dalam hal ini, tentu dapat menguntungkan daerah-daerah operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Setidaknya dapat menopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) wilayah mereka.
Sulit Diimplementasikan
Di luar potensi besar di atas, pemerintah tampaknya masih ragu-ragu untuk menerapkan pajak karbon di Tanah Air. Kebijakan yang telah digaungkan pemerintah sejak 2021 itu, nyatanya baru akan berlaku pada 2025 mendatang. Setelah sebelumnya sempat tertunda sebanyak dua kali.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, beralasan saat ini pihaknya telah merampungkan beberapa aturan teknis mengenai pajak karbon. Mulai dari pengembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor-sektor, dan kondisi perekonomian domestik dan global.
"Kita perhatikan ketidakpastian yang sangat tinggi baik global atau ekonomi kita. Kita tunggu timing yang pas," kata dia dalam Konferensi Pers APBN Kita.
Meski belum diterapkan, menariknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) justru sudah meluncurkan bursa perdagangan karbon (carbon trading) pada 26 September 2023. Bursa karbon merupakan sistem yang mengatur perdagangan karbon atau pencatatan kepemilikan unit karbon.
Saat ini, yang dapat bertransaksi dalam perdagangan karbon baru sebatas perusahaan dan bukan perorangan. Penjualnya yakni perusahaan yang memiliki unit karbon, sementara pembelinya perusahaan yang membutuhkan unit karbon.
“Pemerintah tidak menganggap pajak karbon sebagai instrumen penting untuk menurunkan emisi karbon, justru bursa karbon yang didorong. Padahal kesuksesan bursa karbon juga bergantung dari pemberlakuan pajak karbon,” ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Tirto.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan, terdapat beberapa alasan mengapa implementasi pajak karbon hingga saat ini belum juga diimplementasikan. Pertama karena memang adanya desakan dari perusahaan penyumbang emisi karbon di sektor tambang batu bara, dan pemilik PLTU untuk menunda implementasi pajak karbon.
Para pengusaha khawatir, jika kebijakan ini diimplementasikan akan meningkatkan biaya dibebankan kepada konsumen. Asosiasi Pertekstilan Indonesia, bahkan sudah memperhitungkan pengenaan pajak karbon, dapat menyebabkan kenaikan harga produksi industri tekstil hingga 9,25 persen.
Pertimbangan itu, kemudian diterima pemerintah secara mentah-mentah. Pada akhirnya memikirkan kembali penerapan pajak karbon atau menundanya sampai 2025.
“Kekhawatiran berlebihan dari pemerintah bahwa pajak karbon membuat tarif listrik mengalami penyesuaian. Padahal tujuan pajak karbon adalah memajaki sektor energi kotor untuk beralih ke EBT, sehingga bagi konsumen listrik dampaknya tidak ada tarif yang berubah,” ujar dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan ada dua hal secara teknis membuat implementasi pajak karbon sulit diterapkan. Pertama masalah teknis terhadap payung hukumnya masih dinamis. Kedua, risiko terhadap ekonomi nya.
“Ada dampak yang ditimbulkan membuat produk-produk yang sebelumnya tidak dikenakan menjadi dikenakan. Otomatis kan harga jualnya akan meningkat ini biasanya masih menjadi kendala utama,” ujar dia kepada Tirto.
Menurut Komaidi, daya beli masih cukup sensitif di masyarakat Indonesia. Terlebih pertumbuhan ekonomi kita sebagian besar masih disumbang dari konsumsi rumah tangga yang setara dengan 55-60 persen PDB.
“Biasanya itu menjadi kendala utama kenapa kebijakan sifatnya berpotensi memberikan destruktif terhadap pertumbuhan ekonomi sering kali sulit untuk diimplementasikan,” tutup dia.
Namun, di luar dari berbagai pertimbangan tersebut, tampaknya pemerintah memang perlu mempertimbangkan segera untuk implementasi pajak karbon. Mengingat potensi penerimaan dari beleid ini yang cukup potensial. Hanya saja, pengaruh negatif yang timbul dari pajak karbon menjadi tantangan pemerintah untuk menyusun kebijakan lebih tepat.
Jangan sampai, pajak karbon yang ingin diimplementasikan oleh pemerintah sebagai alat untuk penerimaan negara saja. Akan tetapi, lebih kepada bagaimana Indonesia bisa memenuhi janji net zero emission pada 2060 mendatang.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas