tirto.id - Usai menandatangani kesepakatan perdamaian (Peace Accords) pada 1992 guna mengakhiri perang sipil yang telah berkecamuk selama 12 tahun, El Salvador mengimplementasikan sistem ekonomi neoliberal dengan melakukan swastanisasi segala sektor, mulai dari perbankan, telekomunikasi, listrik, layanan kesehatan, hingga penyelenggaraan dana pensiun. Tak ketinggalan, El Salvador menurunkan tarif impor serta menjauh dari kebijakan pengendalian harga barang.
Upaya-upaya yang dilakukan negeri yang terletak di Amerika Tengah ini, tulis Marcia Towers dalam artikel berjudul "The Socioeconomic Implications of Dollarization in El Salvador" (Journal of Latin American Politics and Society 2004), tak lain untuk "menarik minat investor asing, membangkitkan ekonomi dalam negeri."
El Salvador bernasib mujur setelah memeluk neoliberalisme. Mereka sukses menekan inflasi di bawah 5 persen, menekan tingkat utang luar negeri di kisaran 23 persen dari total nilai produk domestik bruto (PDB), dan, perlahan tapi pasti, ekonomi tumbuh 2,1 hingga 4,2 persen per tahun semenjak saat itu. Ini semua membuat El Salvador menjadi negara Amerika Tengah paling stabil secara ekonomi.
Meski pelbagai kebijakan neoliberalisme membuat ekonomi bergairah, terjadi defisit neraca perdagangan El Salvador dengan Amerika Serikat. Sementara El Salvador mengekspor sekitar 1,6 miliar dolar AS atau lebih dari 60 persen total ekspor, mereka harus rela mengimpor pelbagai barang dari AS senilai 2,1 miliar dolar AS.
Yang menarik, meskipun El Salvador mengalami defisit perdagangan dengan AS, peredaran dolar AS di negeri yang merdeka dari Spanyol dua abad silam ini sangat bergairah. Musababnya, disokong oleh 1,5 juta warga yang merantau ke AS (setara dengan 25 persen populasi), 2 miliar dolar AS atau setara dengan 15 persen PNB mengalir saban tahun ke El Salvador dalam bentuk remitansi.
Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap AS, juga peredaran dolar AS yang begitu besar, sialnya, membuat harga pelbagai kebutuhan melambung dan menciptakan kesenjangan yang begitu lebar antara si kaya dan si miskin. Ini terjadi karena, bak kisah klasik rupiah-dolar AS, mata uang El Salvador, colón, jauh lebih lemah dibandingkan dolar AS.
Akhirnya, karena tak ingin kesenjangan bertahan dan didukung oleh keberhasilan pengusaha-pengusaha muda mengambil alih partai penguasa Farabundo Marti National Liberation Front (FMLN), El Salvador mengambil jalan pintas untuk memperbaiki kondisi ekonomi dengan menjadikan dolar AS sebagai mata uang resmi tepat pada 1 Januari 2001 silam.
Kebijakan ini disesali El Salvador karena akhirnya mereka paham bahwa dolar AS, selain instrumen transaksi, juga merupakan alat politik Paman Sam.
Usai melihat Iran kehilangan akses menggunakan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)--sistem transaksi keuangan internasional--pada 2012, Rusia yang sempat didepak Visa dan Mastercard gara-gara menganeksasi Krimea pada 2014, serta beberapa petinggi Cina yang disanksi perbankan Barat atas kebijakan yang diambil terhadap Hong Kong pada 2020, El Salvador, di bawah pemerintahan baru Presiden Nayib Bukele, akhirnya menjadikan bitcoin sebagai mata uang resmi pada 7 September 2021 berdampingan dengan dolar AS.
Mary Anastasia O'Grady di The Wall Street Journalmengatakan kebijakan inisebagai "penipuan" dan menggiring El Salvador menuju kehancuran finansial.
Bitcoin
Negara telah berusaha mengumpulkan segala catatan tentang warganya jauh sebelum era internet lahir. Masalahnya, laku hidup orang-orang di era tersebut tidak memungkinkan banyak informasi terjaring. Tatkala internet akhirnya muncul, cypherpunks--kelompok yang menggaungkan penggunaan kriptografi demi menjaga privasi--mendeteksi sinyal bahaya meskipun saat itu Facebook dan segala layanan yang memudahkan negara mengintip kehidupan masyarakat belum tersedia.
Diinisiasi oleh ahli matematika dari University of California Berkeley bernama Eric Hughes, cypherpunks merilis "The Cypherpunk Manifesto" pada 1993. Manifesto itu dengan tegas menyatakan bahwa "privasi sangat diperlukan bagi masyarakat di era elektronik." Ia adalah hak asasi manusia.
Hal Finney, teknisi konsol video gim lulusan California Institute of Technology yang sempat belajar kriptografi dari David Chaum--salah seorang pionir di bidang kriptografi digital--di tahun 1991 takjub dengan gagasan ini dan memutuskan pindah haluan dengan mendatangi Phil Zimmerman, ahli komputer lulusan Florida Atlantic University pencipta Pretty Good Privacy (PGP)--perangkat lunak otentikasi berbasis enkripsi untuk email--untuk menjadi karyawan pertama PGP sekaligus belajar ilmu kriptografi. Tak lama kemudian, Finney menginisiasi uang versi digital pertama dengan merilis DigiCash alias CRASH dengan tujuan agar menjadi alternatif paling aman bagi transaksi keuangan di bank.
"Tidak ada catatan transaksi keuangan yang disimpan. Semua bank yang menerima transaksi menggunakan CRASH hanya tahu berapa banyak uang yang ditarik atau dibelanjakan nasabahnya," tutur Finney.
Masalahnya, meskipun bank tidak mengetahui transaksi keuangan tatkala nasabah memilih menggunakan CRASH, CRASH tahu betul transaksi yang digunakan penggunanya. CRASH, singkat kata, tak berbeda jauh dengan PayPal atau Gopay. CRASH tak lain merupakan entitas penengah transaksi keuangan. Ia tidak benar-benar menghilangkan rekam jejak transaksi keuangan nasabah. Sebuah celah besar yang, didukung kenyataan bahwa dekade 1990-an komputer dan internet belum digunakan secara masif, membuat CRASH benar-benar menjadi crash alias 'hancur lebur'. DigiCash bangkrut pada 1998.
10 tahun usai CRASH bangkrut, sebagaimana dipaparkan Nathaniel Popper dalam buku berjudul Digital Gold: Bitcoin and The Inside Story of The Misfits and Millionaires Trying To Reinvent Money (2015), seseorang bernama Satoshi Nakamoto (yang hingga kini belum diketahui identitas sebenarnya) mencoba memperbaiki CRASH dengan merilis bitcoin. Berbeda jauh dengan sistem transaksi perbankan (dan dompet digital), bitcoin benar-benar menghilangkan ketergantungan pada pihak ketiga alias bertransaksi langsung antara pengirim/pemberi dan penerima uang.
Secara teknis, pihak ketiga dapat dihilangkan melalui dua sebab. Pertama, ketika seseorang menggunakan bitcoin--melalui sistem yang dipublikasikan dalam kerangka open source--ia akan mendapatkan private key dan public key. Private key, selayaknya PIN atau password, bersifat rahasia. Sementara public key selayaknya username atau nomor rekening yang boleh diketahui banyak pihak. Yang menarik, private key dan public key ini diciptakan melalui teknologi enkripsi yang saling terikat. Menggunakan enskripsi jadul "+1," misalnya, private key "tirto" menghasilkan public key "ujsup" karena pada tiap huruf dalam "tirto" diganti dengan satu huruf berikutnya--secara alfabet. Ketika enkripsi ini dibuka atau di-deskripsi, "ujsup" jelas hanya memiliki satu jawaban: "tirto". Tentu bitcoin tidak menggunakan enkripsi jadul ini.
Kedua, dan terutama, hilangnya ketergantungan pada pihak ketiga terjadi karena tak seperti sistem perbankan atau CRASH yang memanfaatkan server tunggal, bitcoin mendelegasikan sistem pemrosesan transaksinya ke banyak komputer alias terdesentralisasi. Komputer-komputer ini dimiliki oleh mereka yang rela/mau melayani bitcoin untuk bertugas mencatat jumlah uang yang dikirim/diterima plus public key.
Tentu Nakamoto tak ujug-ujug merilis bitcoin untuk memperbaiki CRASH. Melalui manifesto yang ditulisnya berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”, ia mengatakan bitcoin terutama dibuat karena kekecewaan terhadap institusi keuangan konvensional alias perbankan. Selain melahirkan biaya transaksi yang membuat, misalnya, saldo Rp50 ribu yang dikirim dari BCA Mobile terkuras Rp1.000 tatkala mendarat di rekening OVO, Nakamoto menganggap institusi keuangan konvensional membawa kemudaratan berupa "krisis ekonomi".
Anggapan ini muncul karena, beberapa tahun sebelum Nakamoto merilis bitcoin, sebagaimana dipaparkan Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia dalam paper berjudul “Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014: Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia” (2007), dunia menghadapi krisis ekonomi gara-gara BNP Paribas, bank yang berkantor pusat di Prancis, menyatakan tidak sanggup mencairkan sekuritas subprime mortgage (istilah bagi kredit perumahan yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki rekam jejak kredit buruk atau tak layak diberi utang) asal AS.
Kredit macet di AS tersebut menjadi awal bagi krisis keuangan global, terutama bagi negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan dengan AS.
Pada 2008 terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi, dari 2,7 persen setahun sebelumnya menjadi 1 persen. Padahal, masih merujuk publikasi Bank Indonesia, IMF memproyeksikan pertumbuhan berada di angka 1,3 persen. Singkat, segala macam komoditas naik harganya.
Bagi Nakamoto, kesukaran ekonomi ini terjadi karena, secara sederhana, institusi keuangan konvensional asal memberikan kredit alias sembrono. Karenanya Nakamoto menganggap institusi keuangan wajib dihukum seberat-beratnya, yaitu dengan mempreteli kuasa mereka memproses transaksi. Kendali terhadap uang harusnya dikembalikan kepada masyarakat.
Idealisme inilah yang sepertinya terpatri pula dalam benak Presiden Nayib Bukele. Ia seperti menganggap menggunakan bitcoin sama seperti menghapuskan ketergantungan El Salvador terhadap dolar AS--mata uang yang dikendalikan (dapat dicetak sebanyak apa pun) oleh Paman Sam seorang. Plus, diyakini juga mampu menghindarkan El Salvador dari belenggu Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) serta Visa dan Mastercard yang acap kali dimanfaatkan AS untuk menghukum musuh-musuh mereka.
Sayangnya, sebagaimana dipaparkan Antony Lewis dalam buku berjudul The Basics of Bitcoins and Blockchains: An Introduction to Cryptocurrencies and The Technology That Powers Them (2018), terdapat satu elemen krusial yang membuat bitcoin tak layak dijadikan alat bertransaksi, terlebih mata uang resmi. Elemen krusial itu: negara.
Semenjak 1976, hampir semua mata uang di dunia mematok nilai 1 dolar, yuan, yen, pound sterling, bahkan rupiah, hanya pada janji negara. Maksudnya, selembar uang, katakanlah 1 dolar AS atau Rp10 ribu, itu bernilai nilai 1 dolar AS atau Rp10 ribu berdasarkan keyakinan yang diberikan negara, bukan emas atau material apa pun.
Dengan mendelegasikan transaksi ke masyarakat, langsung dari individu ke individu tanpa kehadiran institusi/negara, nilai 1 bitcoin akhirnya hanya berpatokan pada penawaran dan permintaan. Ini membuat bitcoin seperti batu akik: kadang melesat menggapai angkasa tapi tidak jarang mentok tak ketulungan. Singkatnya, karena ketiadaan negara, bitcoin memiliki nilai yang sangat liar.
Dengan begitu liarnya bitcoin, sulit membayangkan El Salvador dapat merencanakan pembangunan dengan pasti. Kesukaran ini menuntun El Salvador ke pintu kehancurannya sendiri.
Hal ini bahkan langsung terbukti beberapa menit setelah El Salvador meresmikan bitcoin sebagai mata uang resmi. Nilai bitcoin turun hingga 9,9 persen karena sentimen buruk masyarakat terhadap kebijakan ini.
Namun, di tengah merosotnya nilai bitcoin, Presiden Nayib Bukele justru dengan bangga berkata, "we just bought the dip." Suatu kalimat yang juga berarti, "mumpung harga jatuh, beli. Nanti, kan, naik lagi."
Editor: Irfan Teguh & Rio Apinino