tirto.id - Tahun 2017 dapat adalah tahun yang manis untuk Bitcoin. Terhitung dari awal tahun hingga tulisan ini dipublikasikan, Bitcoin telah mengalami kenaikan valuasi mencapai 1000 persen. Nilainya kini mencapai 17.200 dolar AS. Muncullah istilah "Bitcoin Bubble". Suatu saat harga bisa "meletus" jika ada risiko yang berpotensi memecahkan "gelembung" kenaikan harga tersebut. Lantas, kapan "Bubble" ini akan meletus? Tak ada yang (berani) dan tahu untuk memprediksi.
Baca juga: Alasan Bitcoin Sulit Jadi Alat Pembayaran
Alicia Cameroon dan Kelly Trinh, peneliti dari The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), dalam tulisannya di The Conversation menjelaskan bahwa sulit untuk memprediksikan "Bitcoin Bubble" karena sebagai mata uang ataupun aset digital nilai fundamental Bitcoin belum bisa dievaluasi—harga "normal" Bitcoin pun tak diketahui harusnya berapa. Akibatnya, nilai Bitcoin secara dominan ditentukan oleh spekulasi pasar. Jika pasar optimis soal masa depan Bitcoin tak heran jika harganya saat ini naik hingga menembus langit.
Akan tetapi, karena harganya ditentukan oleh spekulasi risiko menjadi elemen yang laten mengintai. Tak heran jika The Monetary Authority of Singapore (MAS) mengeluarkan pertanyaan resmi untuk mengingatkan masyarakat mengenai risiko investasi mata uang digital. “Risiko penurunan harga yang tajam sangat tinggi. Investor mata uang digital (cryptocurrencies) harus mewaspadai mereka memiliki risiko untuk kehilangan semua modal yang dimiliki” jelas MAS seperti dikutip oleh The Reuters (19/12/2017).
Senada dengan Singapura, Gubernur BI, Agus Martowardojo juga menyoroti risiko ini.. "Saya ingin mengatakan risiko itu adalah sesuatu yang jangan diambil enteng,” kata Gubernur BI Agus Martowardojo seperti dikutip oleh Antara (11/12/2017).
Emas atau Batu Akik Digital ?
Dalam perspektif historis, Bitcoin dapat dikatakan sebagai mata uang yang lahir sebagai bentuk protes. Dalam tulisannya yang berjudul The Social Life of Bitcoin (2017), Nigel Dodd, Profesor di Departemen Sosiologi, London School of Economics, menjelaskan dua alasan yang mendukung klaim ini.
Pertama, ia adalah mata uang digital yang tidak dikontrol oleh bank tapi ditopang teknologi peer-to-peer yang terdesentralisasi. Untuk itu, Bitcoin dilihat sebagai alternatif oleh masyarakat yang tidak puas dengan performa institusi finansial setelah malapetaka krisis ekonomi pada tahun 2008.
Kedua, Bitcoin juga lahir sebagai mata uang yang lepas dari campur tangan negara. Mengingat setelah peristiwa 9/11, negara menggunakan sistem finansial mainstream dengan alasan keamanan. Alasan ini juga yang membuat Bitcoin diasosiasikan sebagai mata uang yang membuka pintu transaksi narkoba atau pornografi yang tidak sesuai dengan regulasi negara.
Akan tetapi, alih-alih menjadi pengganti alat pembayaran, Bitcoin justru menjadi uang digital yang diperdagangkan sebagai aset investasi. Dalam analisis The Economist, Bitcoin saat ini telah menjadi aset yang disimpan untuk menunggu nilainya naik. Pemiliknya akan lebih untung menjual Bitcoin untuk mendapatkan uang fiat daripada menggunakannya sebagai uang untuk bertransaksi dalam aktivitas konsumsi.
Tak hanya itu, menurut Budi Rahardjo, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB yang sedang meneliti teknologi mata uang digital dan krypto, mengatakan bahwa fenomena nilai Bitcoin yang meroket dapat dianalogikan seperti euforia batu akik. “Ingatkan batu akik? Ia masih ada. Tapi kan harganya sudah kembali normal,” jelas Budi kepada Tirto ketika dihubungi melalui telepon (Rabu, 20/12/2017). “Kalau euforianya sudah turun, nanti harganya akan jatuh. Ada yang kehilangan uang dan ada yang beruntung,” imbuh Budi.
Dalam tulisan di blog pribadinya, Analogi Bitcoin, Budi juga mengatakan bahwa Bitcoin saat ini seperti kupon bazar makanan yang harusnya dipakai untuk beli makanan tapi malah diperjualbelikan. Jadinya orang malah jual beli kuponnya bukan menikmati santapan yang disajikan oleh bazar dengan menukarkan kupon tersebut. Budi mengakhiri tulisan ini dengan sebuah pertanyaan yang menohok: “Bazar akan selesai. Bagaimana nasib harga kupon setelah bazar selesai? Anda tahu sendiri.”
Menurutnya, posisi Bitcoin saat ini sebagai alat investasi atau “emas digital” menyalahi potensinya sebagai alat pembayaran berbasis teknologi blockchain. Bitcoin sebagai sebuah mata uang digital berbasis teknologi blockchain yang terdesentralisasi (tidak terpusat pada satu institusi atau server) memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat pembayaran unik untuk transaksi yang sulit untuk dilakukan melalui metode pembayaran lain. “Misalnya, saya jual listrik di rumah saya dari panel surya dengan harga 10 rupiah, sistem pembayaran yang bisa menampung 10 rupiah itu nggak ada,” kata Budi.
Baca juga: Mata Uang Digital yang Naik Daun Selain Bitcoin
Sementara, itu Oscar Darmawan, CEO Bitcoin.co.id, mengatakan istilah “Bitcoin Bubble” membuatnya bingung.
“Spekulasi soal Bitcoin itu Bubble sudah aja semenjak harga 1 Bitcoin masih satu dolar, 100 dolar, maupun 1000 dolar. Dan sampai sekarang masih ada spekulasi bubble. Harga Bitcoin naik turun itu, menurut saya masih wajar,” kata Oscar kepada Tirto ketika dihubungi melalui telepon (20/12/2017). Oscar mengimbuhkan bahwa harga Bitcoin yang naik turun disebabkan oleh dinamika pasar yang menjual Bitcoin untuk membeli Bitcoin Cash. Bitcoin Cash adalah mata uang digital lain yang memiliki keunggulan proses transaksi yang lebih cepat, kapasitas blockchain yang lebih tinggi dan biaya transaksi yang lebih murah.
Teknologi blockchain dalam bentuk mata uang digital memang semakin kompetitif. Pada awal tahun 2016, Bitcoin menguasai 91,3 persen pangsa pasar namun turun menjadi 59,4 persen pada December 2017. Tak hanya karena Bitcoin Cash, kemunculan mata uang digital lain seperti Ethereum dan Litecoin juga menjadi penyebab harga Bitcoin yang naik turun.
Lalu, apakah Bitcoin akan terus bernilai tinggi atau akhirnya akan turun menginjak bumi? Lagi-lagi, hanya waktu yang bisa menjawab.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti