tirto.id - Sean Russel jarang melakukan transaksi perdagangan di pasar modal. Pengalaman dalam mencoba produk investasi juga tidak banyak. Kendati demikian, warga asal Inggris ini berani untuk memulai berinvestasi di Bitcoin.
Uang yang diinvestasikan Sean di Bitcoin pada November 2017 tidaklah sedikit. Angkanya mencapai US$120.000 atau setara dengan Rp1,68 miliar. Ia berani berinvestasi di Bitcoin karena tergiur dengan imbal hasil yang tinggi dalam waktu singkat.
“Ketika terbangun di suatu pagi, saya menghasilkan US$15.600 dari investasi itu, dan masih terus naik. Saya pikir cicilan hipotek akan terbayar, dan berlibur seperti yang saya impikan,” kata Sean dikutip dari CNN.
Namun, rencana Sean itu buyar. Selang 8 bulan, harga Bitcoin ambruk. Pada Desember 2017, satu Bitcoin dihargai sekitar US$20.000. Namun pada Juli 2018, Bitcoin berada di kisaran harga sebesar US$6.400. Investasi yang dipendam Sean sebesar US$120.000 di Bitcoin pun melorot hingga 96 persen menjadi US$4.800.
“Kejadian ini benar-benar menghancurkan, bahkan cukup membuat saya traumatis,” tutur Sean.
Kerugian akibat investasi di Bitcoin juga dirasakan ratusan warga Bangka Belitung. Namun, berbeda dengan Sean, uang investasi warga Bangka Belitung di Bitcoin justru dibawa kabur oleh penyedia platform jual beli Bitcoin.
Kasubdit II Direktorat Kriminal Umum Polda Kepulauan Bangka Belitung AKBP Rully Tirta Lesmana mengatakan pihaknya masih melakukan penyelidikan atas kasus investasi Bitcoin, dan telah menghimpun keterangan dari pelapor.
“Pelapor tergiur bagi hasil 15 persen dalam 15 hari. Atau 1 persen setiap harinya,” jelas Rully dikutip dari Kompas.
Padahal instrumen imbal hasil tetap seperti deposito perbankan dalam rentang 6-7 persen per tahun, kupon surat utang negara dalam rentang 7-8 persen saja. Lebih dari itu maka kategori tinggi, apalagi berlipat-lipat.
“Investasi dengan imbal hasil tetap saat ini paling tinggi di kisaran 8 persen. Itu bisa diraih dari surat utang negara. Jika ada yang menawarkan lebih dari itu, investor diimbau berhati-hati, dan mencari tahu risiko yang ada,” kata Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan kepada Tirto.
Bitcoin Sulit Diprediksi
Dari dua kasus tadi ada pelajaran yang berharga bagi investor pemula. Imbal hasil (yield) yang tinggi memang menjadi penyebab utama seseorang terdorong untuk menanamkan uangnya, dan kebetulan Bitcoin menawarkan itu. Kasus semacam ini bisa terjadi pada instrumen investasi lainnya.
Harga Bitcoin sejak 2015 memang terus melonjak. Kenaikannya pun tidak sedikit. Sepanjang 2015 misalnya, harga Bitcoin naik 59 persen menjadi US$433. Tahun berikutnya, harga Bitcoin naik 115 persen menjadi US$963,.
Pada 2017, Bitcoin mencatatkan kinerja yang luar biasa, bahkan sempat mencatatkan rekor harga Bitcoin tertinggi sepanjang sejarah. Harga Bitcoin pada tahun itu tumbuh 1.833 persen, menjadi US$17.172 pada akhir 2017.
Oleh karena itu, tidak heran apabila ada pihak-pihak yang menawarkan imbal hasil 1 persen per hari atau 360 persen per tahun dari investasi Bitcoin mengingat Bitcoin punya rekam jejak kenaikan signifikan sebelumnya.
Bitcoin memang tidak seperti investasi keuangan pada umumnya. Risiko untuk gagal sangat tinggi lantaran sulit diprediksi. Bahkan, sejumlah kalangan analis ragu terhadap mata uang digital untuk bisa menjadi sarana investasi karena tidak ada hal yang bisa dianalisis.
“Tidak ada cukup ekosistem di sekitar Bitcoin untuk dapat dianalisis secara fundamental, dan dipelajari sebagai salah satu sarana investasi,” kata Partner and Fintech Leader PwC, Vivek Belgavi dikutip dari EconomicTimes.
Bagi Vivek, orang-orang yang membeli mata uang digital melakukan suatu investasi dengan informasi yang tidak sempurna. Alhasil, komunitas yang ada di pasar mata uang digital justru akan banyak diisi oleh para spekulan.
Akibat kondisi itu, pergerakan harga Bitcoin sangatlah fluktuatif. Bisa tumbuh sangat tinggi, bisa juga turun sangat rendah. Akhir tahun lalu saja, harga Bitcoin tiba-tiba ambruk hingga 73 persen menjadi US$3.855 per satu Bitcoin.
Berbeda dengan Bitcoin, perdagangan saham—yang juga berisiko tinggi—justru masih dapat diprediksi dan dianalisis, mulai dari sisi fundamental makro ekonomi, kinerja emiten, aksi korporasi, kebijakan pemerintah dan faktor lain. Pusat transaksi pun jelas keberadaan oleh pengelola bursa. Sedangkan Bitcoin di Indonesia adalah ilegal. Pembentukan harga Bitcoin biasanya sesuai platform di masing-masing negara.
Harga Bitcoin yang fluktuatif dan sulit untuk dianalisa pergerakannya, tentunya tidak masuk akal apabila ada yang mematok imbal hasil dari investasi Bitcoin itu. Jika ada, maka rentan terjadi penipuan.
“Karakteristik investasi Bitcoin itu tidak fixed. Kalau ada penawaran imbal hasil tetap di Bitcoin, maka ini pelanggaran. Jadi rentan penipuan,” kata Alfred.
Faktor-faktor yang mendorong pergerakan harga Bitcoin sesungguhnya bukan tidak ada. Hanya saja, sifatnya sekadar sentimen semata. Misalnya, pemberitaan media yang positif terkait Bitcoin.
Menurut Senior Research Consultant dari CSIRO Alicia Cameron dikutip dari The Conversation, pemberitaan media yang positif menjadi salah satu pendorong pergerakan harga Bitcoin. Umumnya ini terjadi di saat awal-awal kemunculan Bitcoin.
Kebijakan pemerintah juga dapat berdampak terhadap pergerakan Bitcoin. Sebagai contoh, ketika Jepang melegalkan Bitcoin. Dalam 24 jam, harga Bitcoin naik 2 persen, dan selang dua bulan harganya naik 160 persen.
Contoh lainnya adalah ketika pemerintah Cina menutup beberapa pertukaran Bitcoin, dan melarang pengumpulan dana melalui mata uang digital. Imbasnya, harga Bitcoin ambruk 29 persen hanya dalam waktu 24 jam.
Menurut Alfred sah-sah saja jika masyarakat ingin berinvestasi di Bitcoin asalkan mengerti seluruh konsekuensinya, dan jangan berharap ada imbal hasil yang tetap di produk-produk mata uang digital.
Hal yang sama juga diutarakan Oscar Darmawan. Pria yang menjabat sebagai CEO Bitcoin Indonesia ini menilai harga mata uang digital seperti Bitcoin, Litecoin, Etherium atau lainnya memang tidak bisa diprediksi kapan naik atau turun.
“Makanya, saya sangat setuju OJK menutup perusahaan investasi yang mana menawarkan keuntungan dalam sehari-dua hari naik berapa persen. Sebulan atau dua bulan naik berapa persen dari Bitcoin. Itu sudah investasi bodong,” katanya.
Menurut Oscar, Bitcoin tidak dapat disamakan dengan mata uang umumnya. Bitcoin lebih terlihat sebagai komoditas ketimbang mata uang. Alhasil, Bitcoin bisa digunakan sebagai investasi dan menyimpan kekayaan jangka panjang.
Per Juli 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menemukan sedikitnya 13 produk investasi di mata uang digital (Cryptocurrency) yang tidak memiliki izin. Beberapa produk di antaranya juga menawarkan imbal hasil yang tinggi.
Misal, ExoCoin menawarkan investasi mata uang digitaldengan imbal hasil 15-30 persen per bulan. Ada lagi, Bitcoin Trading & Cloud Mining Limited yang menawarkan imbal hasil 4,1 persen per hari, dan bonus US$100,.
Selain itu, ada Btc-rush.com menawarkan imbal hasil 120 persen dalam waktu 24 jam atau 300 persen dalam waktu 3 jam. Contoh terakhir, Cryptopia Indonesia menawarkan imbal hasil 35 persen per 10 hari sebanyak 10 kali.
“Kami mengimbau masyarakat untuk selalu berhati-hati dalam menggunakan dananya. Jangan tergiur dengan iming-iming keuntungan yang tinggi, tanpa melihat risikonya,” ujar Tongam L. Tobing, Ketua Satgas Waspada Investasi kepada Tirto.
Dalam berinvestasi ada baiknya mencari produk yang lebih terjamin payung hukumnya ketimbang tergoda iming-iming imbal hasil tinggi. Jadi bila ada yang menawarkan investasi Bitcoin dengan janji imbal hasil dengan jumlah pasti dalam waktu tertentu, sebaiknya dihindari.
Editor: Suhendra