tirto.id - Dua orang polisi dan seorang wartawan datang menghampiri pria di kediamannya. Raut wajah pria itu nampak seperti orang yang kurang tidur. Penampilan dengan kaos kusam, celana jeans tua, dan kaos kaki putih tanpa sepatu, menambah misteriusnya pria itu.
Sang polisi bertanya kepada wartawan. “Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?”
Sebelum wartawan menjawab, seorang polisi lain menimpali “mungkin dia akan berpikir akan mendapat masalah jika berbicara denganmu.”
“Saya rasa itu bukan masalah [...] Saya ingin bertanya pada dia tentang Bitcoin. Pria yang kita temui ini ialah Satoshi Nakamoto,” tegas si wartawan.
Leah McGrath Goodman, wartawan yang bersama dua polisi mendatangi Nakamoto, akhirnya kecele. Pria yang mereka datangi bukanlah Nakamoto si pencipta Bitcoin. Ia hanyalah pria berusia 64 tahun warga AS keturunan Jepang yang kebetulan punya nama yang sama. Hingga kini tidak diketahui siapa Nakamoto sebenarnya.
Bitcoin jadi istilah yang populer dan banyak orang membicarakan dan membahasnya beberapa tahun terakhir. Berdasarkan paper berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System” yang ditulis Satoshi Nakamoto, ia merupakan versi peer-to-peer dari uang elektronik yang memungkinkan pembayaran online dilakukan secara langsung dari satu pihak ke pihak lain tanpa melalui institusi keuangan.
Secara teknis, Bitcoin memanfaatkan teknologi bernama Blockchain. Blockchain mendesentralisasikan basis data ke seluruh jaringan yang tergabung dengannya. Data yang disebarkan, telah terlebih dahulu dienkripsi. Ketika data baru ditambah, seluruh komputer yang terlibat dalam jaringan berkewajiban memverifikasi data.
Bitcoin, selayaknya emas, diperoleh melalui dua cara: membeli atau menambang. Namun, perlu diingat, Bitcoin punya batasan jumlah. Secara sistem hanya akan ada 21 juta Bitcoin yang beredar.
Dalam klarifikasi yang diunggah Newsweek, media yang mempublikasikan tulisan Goodman tentang investigasi pencipta Bitcoin, mereka mengatakan bahwa penting bagi Newsweek untuk mengungkap siapa sosok di balik Bitcoin. Ini karena mata uang kripto itu sudah kadung populer di tengah masyarakat. Orang-orang yang berinvestasi pada Bitcoin harus tahu asal-usul uang kripto.
Satoshi Nakamoto, sang pencipta Bitcoin yang coba ditelusuri Goodman, diperkirakan memiliki 980.000 Bitcoin. Dengan nilai tukar saat ini, kepemilikan tersebut bernilai $6,65 miliar. Merujuk publikasi CNBC, jumlah kepemilikan Bitcoin oleh Nakamoto itu setara dengan hampir 5 persen total Bitcoin yang berjumlah 21 juta Biitcoin.
Persentase itu mirip dengan kepemilikan emas yang dimiliki Amerika Serikat. Negara Paman Sam punya sekitar 8 ribu ton emas. Ini senilai 4,3 persen total emas dunia.
Nakamoto dianggap punya kekayaan Bitcoin bak AS punya emas, memengaruhi hidup-matinya dunia Bitcoin. Hal tersebut menjadi pembenaran untuk mengungkap siapa Nakamoto sesungguhnya. Mengalahkan aspek privasi yang sering digaungkan orang.
Mengapa seorang atau siapapun orangnya atau Nakamoto menciptakan Bitcoin?
Dalam whitepaper yang dirilis hampir setahun sebelum Nakamoto merilis Bitcoin, alasan mengapa Bitcoin hadir ialah adanya dominasi institusi keuangan konvensional, berikut perusahaan pihak ketiganya, atas transaksi online. Institusi keuangan yang jadi penengah tersebut dianggap Nakamoto meningkatkan biaya transaksi. Adanya penengah tersebut pada akhirnya membatasi transaksi-transaksi bernilai minimum untuk dilakukan.
Namun, ada satu lagi alasan yang sangat mungkin menjadi sebab Bitcoin lahir ke dunia. Alasan tersebut tidak lain ialah hadirnya krisis ekonomi global yang sempat terjadi pada 2008.
Gagasan Bitcoin, dalam tulisannya berjudul "Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System", lahir di November 2008, alias di pertengahan badai krisis ekonomi global. Sementara itu, dalam bentuk nyata, Bitcoin meluncur ke dunia maya tepat pada 9 Januari 2009. Itu merupakan tahun penghujung dari masa suram krisis ekonomi global yang berlangsung antara 2007 hingga 2008. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia dalam publikasinya berjudul “Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014: Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia” menyebut bahwa krisis ekonomi global diawali pada 9 Agustus 2007.
BNP Paribas, bank yang berkantor pusat di Perancis, menyatakan ketidaksanggupan untuk mencairkan sekuritas subprime mortgage asal AS. Subprime mortgage merupakan istilah bagi kredit perumahan yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki rekam jejak kredit yang buruk atau belum pernah memiliki kredit. Kredit ini dianggap berisiko. Ada sangat banyak dana yang terkuras untuk kredit ini. Pada 2002, penyaluran subprime mortgage di AS mencapai $200 miliar, lalu meningkat jadi $500 miliar pada 2005.
Kredit macet di AS tersebut menjadi mula bagi krisis keuangan global, terutama bagi negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan dengan AS. Pada 2008, atas terjadinya krisis, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi, dari 2,7 persen di 2007 menjadi 1 persen. Padahal, masih merujuk publikasi Bank Indonesia, IMF memproyeksikan pertumbuhan ada di angka 1,3 persen.
Secara spesifik, krisis ekonomi global juga menyebabkan perlambatan pertumbuhan perdagangan. Dalam lima tahun sebelumnya pertumbuhan perdagangan dunia rata-rata mencapai 8,1 persen. Namun, angkanya langsung anjlok menjadi 4,1 persen di 2008.
Krisis ekonomi juga menyebabkan turunnya harga berbagai komoditas, tak terkecuali minyak. Pada Juli 2008 harga minyak per barel dipatok di angka $147 per barel, lalu menurun menjadi $47 per barel pada Desember 2008.
Kesukaran ekonomi ini membuat dunia ekonomi lesu. The Federal Reserve, bank sentral AS, bahkan harus menurunkan suku bunga kredit ke level 0,25 persen pada akhir 2008 agar publik mau kembali mengambil kredit.
Akibat lainnya dari krisis ekonomi global tersebut ialah pelemahan dolar terhadap mata uang lain. Pada triwulan II-2008, nilai tukar dolar mencapai Rp9.193. Dolar kemudian melemah ke level Rp8.007 pada triwulan III-2008. Pelemahan dolar ini salah satu sebabnya ialah hilangnya kepercayaan publik atas dolar, atau atas sistem keuangan konvensional secara keseluruhan.
Kondisi ini memunculkan uang kripto seperti Bitcoin. Masyarakat menghendaki ada mata uang lain sebagai alternatif. Jason Leibowitz, pemerhati uang digital yang juga mantan profesional di Wall Street yang bekerja di bidang blockchain pada Credit Suisse, pernah menulis tentang Bitcoin yang dipublikasikan Coindesk, mengatakan bahwa lahirnya Bitcoin merupakan respons atas kekhawatiran bahwa bank "terlalu besar untuk gagal." Bank yang gagal, bakalan jadi sebab kehancuran ekonomi secara sistemik. Kemudian Bitcoin lahir sebagai jawaban atas pertanyaan: "di mana seseorang dapat menyimpan harta jika sistem keuangan gagal?"
Kepercayaan yang wajib diberikan pengguna uang dalam institusi keuangan konvensional juga persoalan besar. Ini yang hendak dijawab oleh kelahiran Bitcoin, terutama dalam konteks transaksi elektronik. Bitcoin lahir dengan tanpa menciptakan sistem keuangan yang bergantung pada kepercayaan, tetapi pada bukti. Yang dimaksud ialah bukti kriptografi, bukti yang sukar diotak-atik oleh orang yang tidak memiliki hak.
Nakamoto, dalam tulisannya menilai bahwa dominasi ini meskipun berjalan cukup baik, masih memiliki kelemahan karena model yang selama ini digunakan berdasarkan pada model kepercayaan.
“Yang dibutuhkan adalah sistem pembayaran elektronik berdasarkan bukti kriptografi, bukan kepercayaan,” kata Nakamoto.
Kelahiran Bitcoin “memungkinkan dua pihak bertransaksi secara langsung satu sama lain tanpa perlu pihak ketiga yang tepercaya,” katanya.
Dalam artikel karya Maria Bustilos yang dipublikasikan The New Yorker, disebutkan bahwa Nakamoto memang terang-terangnya termotivasi menciptakan Bitcoin akibat jatuhnya ekonomi dunia. Ketika Bitcoin pertama kali meluncur, lima puluh Bitcoin pertama (atau disebut dengan istilah blok genesis) mengandung teks dari artikel The Times edisi 3 Januari 2009 yang memberitakan kemungkinan bailout pada bank-bank yang terdampak krisis.
Bythe Masters, Chief Executive Officer Digital Asset Holdings, firma investasi aset digital, mengatakan bahwa Bitcoin memang merupakan jawaban pada krisis ekonomi yang menimpa dunia saat itu.
"Ya, ini respons aktivis (atas kondisi ekonomi). Dunia akan lebih efisien jika masyarakat bisa langsung melakukan transaksi langsung secara individual. Saat ini, ketika Anda mentransfer nilai, biasanya dalam bentuk uang, Anda membutuhkan institusi terpercaya yang tersentralisasi dan juga akuntabel. Kepercayaan pada institusi ini dibuktikan dengan keyakinan mereka tidak membantu mencuci uang, terorisme, dan Anda tahu harus menghubungi ke mana jika masalah mendera. Kepercayaan itu memang tidak ada di Bitcoin, tapi itu jadi inspirasi sebuah teknologi kripto," katanya dalam wawancara dengan The Wall Street Journal.
Jurnal berjudul "'When perhaps the real problem is money itself!': The Practical Materiality of Bitcoin" yang ditulis B. Maurer dari University of California Irvine mengungkapkan bahwa Bitcoin merupakan mata uang yang menggabungkan praktik materialisme dengan politik komunitas, yang merupakan respons atas kondisi keuangan konvensional.
Artinya, Bitcoin hendak mengalihkan nilai kepercayaan atas transaksi keuangan yang selama ini tertuju pada institusi keuangan konvensional pada peran-peran komunitas. Yang dimaksud peran komunitas ialah kenyataan bahwa Bitcoin, sebagai perangkat lunak, didistribusikan dengan konsep open source (kode Bitcoin bisa diunduh melalui Github). Semua orang, yang paham pengkodean, bisa ikut memperbaiki, meningkatkan, hingga menjaga Bitcoin.
"Agar Bitcoin bisa berfungsi, orang tidak harus mempercayai Nakamoto, bank, atau orang atau lembaga lain. Kita hanya harus mempercayai kode atau algoritma kriptografi," kata Maurer dalam jurnalnya itu.
Secara lebih sederhana, Maurer menyebut bahwa Bitcoin bukan bekerja sebagai mata uang, melainkan sebagai "soliditas, materialitas, stabilitas, anonimitas, dan, komunitas."
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra