tirto.id - Seorang pemuda berkacamata dengan pet biru memasuki sebuah restoran sonder pramusaji. Mata pria itu hanya tertuju pada layar digital restoran setinggi pria dewasa yang berada persis di depan pintu. Layar digital itu menampilkan aplikasi yang di dalamnya ada pilihan makan di tempat atau membawa pulang, juga pilihan menu makanan dengan teknologi artificial intelligence (AI)—pilihan menu akan muncul akan sesuai kebiasaan pelanggan.
Setelah menyelesaikan pilihan di layar, ia beranjak menempelkan QR Code restoran di meja dengan ponselnya. Transaksi selesai, notifikasi nomor loker pengambilan makanan dikirimkan.
Ia bergeser beberapa langkah menghampiri sebuah layar digital. Permainan pun dimulai, game ringan dengan teknologi augmented reality (AR) disediakan oleh pengelola untuk membunuh waktu sambil menunggu makanan tersaji. Beberapa menit, lampu di salah satu satu jajaran loker menyala, pemuda itu membuka loker makanan dengan notifikasi ponselnya, dan mengambil makanan yang dipesan.
Aksi memesan makanan ala digital itu diperagakan oleh Liszt, perwakilan dari Ant Financial yang merupakan bagian Alibaba Group. Ia sedang memperagakan operasional self-service di restoran di Wu Fang Zhai, yang empat bulan lalu menerapkan digitalisasi layanan. Restoran di Kota Hangzhou ini merupakan satu dari enam restoran Wu Fang Zhai yang sudah bertransformasi digital dari 400 restoran di Cina.
Restoran yang berdiri sejak 1999 ini beroperasi dari pukul 06.00 sampai 21.00 setiap hari. Di sisi lain restoran ada ruang vending machine 24 jam yang menjual makanan dengan dilengkapi Radio Frequency Identification (RFID) dapat mendeteksi langsung pesanan dan menunjukkan harga melalui smartphone pelanggan saat pembeli mengambil barang dari lemari mesin secara otomatis.
“Sejak Januari 2018 penjualan tumbuh 40 persen setelah ada digitalisasi layanan,” klaim Liszt kepada rombongan media dari Indonesia dalam agenda “Alibaba Campus Media Tour”.
Digitalisasi telah merangsang konsumen untuk membeli makanan dan minuman di restoran ini. Ini karena pengunjung juga bisa memilih pesanan dan membayar sebelum datang ke restoran, dengan memanfaatkan aplikasi Koubei dan Alipay di ponsel masing-masing, tanpa perlu mengantre dan hemat waktu. Proses yang sama juga diterapkan untuk jasa pesan-antar. Waktu yang dihemat konsumen mengantre sampai 16-18 menit dari sebelumnya 30 menit.
Bagi restoran, digitalisasi telah memangkas tenaga manusia, dahulu ada 13 orang pelayan bekerja di restoran, kini hanya perlu satu orang yang merapikan meja dan edukasi layanan digital ke pelanggan. Dengan harga yang tak berubah setelah digitalisasi, jelas digitalisasi menguntungkan bagi pebisnis restoran.
Restoran Wu Fang Zhai jadi contoh bagaimana digitalisasi telah merambah sektor retail, dan salah satu penggeraknya adalah Alibaba Group. Alibaba menyebutnya sebagai bagian dari konsep “New Retail” konsep yang mengawinkan perdagangan secara online dan offline. New retail digencarkan Alibaba sejak 2017 dan terus dikembangkan di 2018, salah satunya di toko retail mereka bernama supermarket Hema.
“E-commerce murni akan mereduksi bisnis tradisional dan menggantinya dengan konsep retail baru—yang mengintegrasikan online, offline, logistik, dan lintas data sebagai sebuah rantai pasok,” kata Jack Ma dalam sebuah surat kepada para pemegang saham Alibaba pada Oktober 2016 lalu seperti dikutip dari Bloomberg.
Tirto sempat menyambangi salah satu toko Hema di Hangzhou.Hema menawarkan layanan berbasis teknologi yaitu pesanan online, pembelian langsung toko fisik, dan konsumsi produk secara langsung.
Toko fisik Alibaba ini menyediakan makanan segar seperti produk laut, sayur, dan buah, dengan menyediakan pengiriman gratis ke rumah dalam waktu 30 menit, dan hanya dibatasi pelanggan yang berjarak radius 3 km dari toko agar kualitas terjaga. Sentuhan teknologi pada konsep new retail di Hema antara lain pembayaran di kasir dengan teknologi pengenal wajah atau face recognition saat konsumen melakukan transaksi di kasir.
Ini menunjukkan, konsep new retail yang dikembangkan Alibaba bukan hanya mengawinkan online dan offline dengan dukungan internet, tapi bagaimana teknologi hadir memudahkan konsumen dan memberikan pengalaman baru berbelanja. Contoh yang paling sederhana, saat teknologi augmented reality (AR) dipakai pada layanan penjualan produk kosmetik di platform online milik Alibaba Tmall.com. Di West Lake Intime Mall yang juga berada Hangzhou, Tmall dan Mall Intime bekerja sama untuk membuat toilet perempuan yang dilengkapi booth belanja dengan teknologi new retail dengan “cermin ajaib”.
Bayangkan, selama ini saat konsumen akan membeli lipstik, maka cara mencobanya harus mengoleskan langsung ke bibir. Namun, dengan teknologi AR yang diterapkan pada “cermin ajaib” konsumen bisa mencobanya secara virtual, bibir dan wajah konsumen tak perlu berlepotan lipstik, eyeliner, atau eyeshadow. Teknologi virtual ini juga berlaku saat akan menjajal celana atau pakaian di depan smartphone. Setelah cocok dengan barang, konsumen bisa membeli secara online atau dari mesin otomatis terdekat.
Teknologi AR juga dipakai pada retail furnitur dan peralatan rumah tangga yang bekerjasama dengan Tmall, di Home Times misalnya tersedia layar digital yang menyediakan berbagai furnitur dan peralatan rumah tangga. Barang-barang furnitur tak perlu ditampilkan semuanya dalam toko, pengunjung cukup melihatnya dari layar digital. Juga ada layanan kasir otomatis dengan model gerbang, dengan platform Alipay.
“Ini bisa membantu kita karena keterbatasan ruang,” kata Lai Ka, Manager Toko Home Times di salah satu mal di Hangzhou.
Alibaba mengembangkan konsep new retail tak hanya dengan tokonya sendiri tapi menggandeng perusahaan lain, dari skala kecil sampai besar. Di kawasan West Lake, Hangzhou, toko teh tradisional Hangzhou Cha Chang mendapat sentuhan teknologi pintar setelah bermitra dengan Alibaba.
Hangzhou Cha Chang, toko teh yang berdiri sejak 1949 ini jadi jawara penjualan kategori teh di Taobao.com, e-commerce milik Alibaba. Untuk menarik anak-anak muda, di toko dua lantai ini dengan bangunan tradisional Cina, disematkan sebuah vending machine untukpembelian teh dan layar digital lengkap dengan game yang menarik konsumen.
Untuk perusahaan besar, Alibaba menggandeng perusahaan mobil Ford. Dahulu konsumen yang akan menjajal mobil harus ke dealer, tapi dengan layanan digital, via ponsel, konsumen bisa lebih dulu melakukan registrasi online dan datang ke lokasi “vending machine” raksasa yang menyediakan mobil untuk dicoba. Pada Maret 2018, Tmall meresmikan ‘Super Test-Drive Center’ di Guangzhou.
Alibaba sangat serius mengembangkan konsep new retail dengan dukungan 520 juta lebih pengguna aktif Alipay, seperti dilaporkan oleh alizila.com, awal April lalu Alibaba akan mengakuisisi semua saham Ele.me, perusahaan pengantar makanan ternama di Cina. Transaksi senilai $9,5 miliar ini akan menggenapkan saham yang telah dimiliki Alibaba pada Ele.me lewat akuisisi sebelumnya sebesar 43 persen di 2016 sebesar $1,25 miliar.
Namun, new retail bukanlah dominasi Alibaba saja, pesaingnya Tencent juga tak berdiam diri. Technode melaporkan, Tencent juga punya konsep yang sama dengan Alibaba, mereka menyebutnya dengan layanan “Smart+”. Konsep ini resmi diluncurkan pada awal November 2017, menggabungkan ekosistem cerdas antara lain retail, keuangan, logistik, pemasaran, dan komunikasi.
Bagi Tencent, membangun konsep retail baru tentu tak sulit, dengan modal 889 juta pengguna aktif WeChat dan pembayaran digital WeChat, serta layanan JD sebagai e-commerce terbesar kedua di Cina, juga dukungan retail fisik yang masif antara lain berinvestasi di Carrefour, Yonghui, VIP Shop, Dalian Wanda, dan Better Life.
CEO Tencent Ma Huateng alias Pony Ma pernah menyampaikan pada sebuah wawancara di chinachannel, bahwa pendekatan baru harus dilakukan agar retail offline bisa bersaing di tengah era digital. “Kami berharap bisa menangkap peluang dengan memakai teknologi digital dan digitalisasi akan mendongkrak retail offline dan menghubungkan konsumen, barang, dan tempat secara bersama. Jika retailer tak melakukannya maka akan kehilangan daya saing,” kata orang terkaya di Asia versi Forbes 2017 ini.
Konsep retail baru seperti New Retail Alibaba atau Smart+ Retail ala Tencent bukan dominasi keduanya. Perusahaan Amerika Amazon melalui aplikasi dan gerai Amazon Go sudah memulai revolusi berbelanja. Amazon menciptakan revolusi berbelanja yang baru: pembeli cukup mengambil semua belanjaannya tanpa perlu mengantre dan membayar di kasir. Dengan computer vision, sensor fusion, dan deep learning system, mereka menyebutnya "Teknologi Langsung Jalan".
Pembeli baru bisa masuk toko bila sudah mengunduh aplikasi Amazon Go, dan membuat akun Amazon. Saat berbelanja, troli virtual dalam aplikasi itu akan otomatis terisi sesuai barang yang diambil. Saat selesai, bon belanjaan akan otomatis pula masuk ke dalam akun tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Amazon Go, juga sama persis yang telah terjadi pada jejaring new retail Alibaba seperti adanya kasir digital. Namun, Amazon Go tak semasif seperti Alibaba atau Tencent, sejak diperkenalkan akhir 2016 lalu, baru satu gerai Amazon Go dibuka awal 2017 di kantor Amazon di Seattle. Tahun ini, rencananya akan dibuka 6 gerai sejenis di Amerika.
Seperti ditulis Tirto sebelumnya, merujuk jurnal berjudul “Integration of Online and Offline Channels in Retail: The Impact of Sharing Reliable Inventory Availability Information” (2014) karya Santiago Gallino, mengungkapkan bahwa cara terbaik untuk berdamai dengan dunia online atau digital ialah dengan mengintegrasikan secara menyeluruh antara online dan offline. Ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Jack Ma maupun Pony Ma.
Konsep ini memang akan berimbas pada efisiensi dan peningkatan usaha. Gallino, merujuk hasil risetnya, mengungkapkan bahwa integrasi “buy-online-pickup-in-store” meningkatkan penjualan hingga 1,8 persen hingga 3,6 persen.
Konsep retail baru apapun namanya tak bisa langsung melompat, karena harus melewati tahapan revolusi digital seperti yang terjadi di Cina. Digital payment di Negeri Tirai Bambu makin masif di segala kehidupan masyarakat. New retail menjadi tren global sebuah keniscayaan tak kecuali di Indonesia, asalkan didukung dengan ekosistem pembayaran digital yang memadai. Cina sendiri yang sudah maju dalam digital payment kini baru memulainya.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti