Menuju konten utama

Ketika Si Raksasa Alibaba Masuk Desa

E-commerce tidak lagi menjadi hak istimewa masyarakat kota. Di Cina, e-commerce telah digunakan oleh masyarakat pedesaan untuk aktivitas jual-beli barang.

Ketika Si Raksasa Alibaba Masuk Desa
Konsumen situs jual-beli Taobao milik Alibaba di desa Yuzhao, Zhejiang, Cina. REUTERS/Aly Song

tirto.id - “Melalui Taobao, kamu bisa meninggalkan hari-hari yang penuh kegetiran. E-commerce akan menuntun Anda ke jalan kebahagian.” Wejangan ini ditemukan di dinding sebuah gedung oleh Josh Freedman, kontributor Quartz Media, di Daiji, Provinsi Shandong, Cina. Jika Anda tidak pernah mendengar nama Daiji, maka itu tidak mengagetkan. Ia memang bukan merupakan kota industri besar atau tujuan wisata seperti Beijing atau Shanghai. Daiji hanya sebuah kota kecil di Cina. Uniknya, kota kecil ini “hidup kembali” setelah menjadi tempat pedesaan e-commerce Taobao bermekaran.

Di Cina, e-commerce bukan lagi sebuah fenomena yang secara eksklusif dinikmati oleh masyarakat kota. Masyarakat desa juga mulai ikut dalam tren teknologi ini. Sejak tahun 2012, Alibaba Group memanfaatkan platform e-commerce raksasa mereka, Taobao, sudah mulai masuk desa.

Program ini dilakukan untuk mentransformasi aktivitas ekonomi pedesaan yang tadinya bergantung kepada peran distributor dan terbatas dalam hal pemasaran menjadi lebih mudah dan cepat melalui fitur Taobao Marketplace. Di platform ini, petani dan pemilik Usaha Kecil Menengah (UKM) bisa langsung mendirikan toko online dan menjual produk mereka baik itu hasil pertanian, kerajinan tangan, aksesoris ke masyarakat kota. Untuk ambisi ini, Alibaba tak main-main. “Alibaba telah berkomitmen untuk berinvestasi sebesar 10 miliar yuan untuk mengembangkan e-commerce di 1000 kota kecil dan 100.000 pedesaan,” jelas Brian Wong, Vice President Alibaba Group kepada Tirto, Rabu (6/10).

Ia menjelaskan ada dua strategi yang dilakukan untuk memperluas adaptasi teknologi perdagangan digital dalam aktivitas ekonomi masyarakat desa. Strategi pertama adalah Rural Taobao. Strategi ini fokus dalam mendirikan pusat layanan (termasuk infrastruktur internet) dan mengidentifikasi pengusaha muda kota yang dapat kembali ke desa untuk memulai bisnis e-commerce. Selain itu, mereka juga dipekerjakan sebagai tenaga ahli yang mengajarkan masyarakat lokal untuk melakukan jual-beli melalui e-commerce.

Baca juga: Pertarungan Sengit Alibaba Lawan Amazon

Strategi kedua adalah Taobao Village. Berbeda dengan Rural Taobao yang dimulai oleh Alibaba, Alibaba Village merupakan inisiatif mandiri masyarakat desa untuk menggunakan platform e-commerce Taobao dalam menjual atau membeli berbagai produk.

Diwartakan oleh Alizila (kanal berita Alibaba Group), sebuah desa menjadi Taobao Village jika: 1) Penduduk desa menggunakan Taobao sebagai medium utama e-commerce mereka 2) setidaknya 100 toko online dibuka atau 10 persen rumah tangga desa aktif dalam aktivitas e-commerce 3) Transaksi e-commerce mencapai 10 juta yuan per tahun. Menurut data Alibaba dalam Li (2017) hingga Maret 2017, program Rural Taobao telah masuk di 30.000 desa yang tersebar di 29 provinsi. Pada riset yang sama, dilaporkan bahwa hingga tahun 2016 telah ada 1331 Taobao Village.

Infografik Alibaba Masuk Desa

Akan tetapi, masuknya teknologi e-commerce ke pedesaan memberikan dampak yang jauh lebih kompleks. Geng Lin, et al (2016) melakukan wawancara mendalam dan observasi partisipatif untuk menganalisis perubahan subjektivitas dan dinamika sosial masyarakat Desa Junpu yang telah menjadi Taobao Village.

Dalam penelitian ini, Lin dan koleganya menemukan penduduk desa menjadi lebih kompetitif, mereka menjadikan peningkatan keuntungan bisnis Taobao sebagai prioritas utama. Akibatnya, perang harga murah antar-toko online Taobao tidak dapat dihindari. Kompetisi semakin sengit ketika mayoritas toko online di desa ini menjual produk yang sama. Untuk menghindari konflik yang berkelanjutan, asosiasi pedagang online pun didirikan.

Kehidupan berbasis komunitas masyarakat pedesaan yang terbentuk dari aktivitas agrikultur tradisional ikut diperkaya dengan munculnya atmosfer kompetisi dari perdagangan e-commerce. Lin dan koleganya menyebut ini sebagai sebuah fenomena hibriditas antara elemen kehidupan pedesaan dan elemen modernisasi.

Baca juga: Masa Depan Alibaba di Indonesia

Riset ini menemukan kemunculan Taobao Village berkontribusi dalam menghidupkan kembali peran tradisional perempuan. Jika sebelumnya mereka merantau ke kota untuk mencari penghasilan, kemunculan Taobao Village membuat anggota keluarga perempuan diminta kembali ke desa untuk membantu bisnis Taobao milik saudara laki-lakinya.

Selain itu, fleksibilitas bekerja yang juga ditawarkan ketika menjalankan bisnis Taobao milik keluarga membuat perempuan lebih mudah untuk kembali menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga dan ikut dalam upacara-upacara spiritual. Program Alibaba yang mengajak pengusaha muda untuk kembali ke desa untuk memulai dan mempromosikan bisnis e-commerce ditemukan berkontribusi dalam mengkonstruksi rasa kebanggaan masyarakat desa yang tadinya dijajah oleh gemerlap modernisasi yang menjadi simbol kemajuan daerah perkotaan.

Dalam risetnya, Li (2017) menjelaskan kompetisi yang tidak sehat, produk yang cenderung homogen, ketidakcukupan inovasi merupakan beberapa faktor yang membuat strategi desa e-commerce ini memiliki tingkat berkelanjutan yang rendah. Dalam jangka panjang, ketergantungan terhadap konglomerat perusahaan teknologi dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk desa patut juga patut untuk diwaspadai. Tak hanya itu, Yu Xueyi, seorang petani yang pernah berpartisipasi dalam program desa e-commerce Alibaba menceritakan dalam artikel opininya bahwa keuntungan yang diterima dari kemitraan ini semakin menurun setelah ada penarikan sebesar 20 persen dari komisi yang diterima penjual.

Baca juga artikel terkait ALIBABA atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Bisnis
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti