tirto.id - Pasar e-commerce dunia bisa dikatakan merupakan palagan dua raksasa: Alibaba dan Amazon. Jika e-commerce lainnya masih berjuang untuk mendapatkan laba yang berkesinambungan, Alibaba dan Amazon sudah berlimpah keuntungan.
Keduanya juga terlibat persaingan yang cukup sengit. Untuk saat ini, Amazon bisa dikatakan masih unggul dibandingkan Alibaba dalam banyak hal. Namun, jika Amazon gagal menguasai pasar-pasar kunci yang pertumbuhannya pesat, diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan, Alibaba akan segera menyalip.
Amazon lahir lebih dulu dibandingkan Alibaba. Amazon lahir pada 1994 dari tangan Jeff Bezos. Amazon didirikan oleh Bezos yang pada 1995 sudah punya visi bahwa industri e-commerce akan tumbuh dan mendominasi perdagangan dunia.
- Baca juga: Jalan Jeff Bezos Menjadi Orang Terkaya Dunia
Alibaba baru dibuat 5 tahun setelahnya oleh Jack Ma, seorang guru bahasa Inggris asal Cina. Namun, dengan dukungan pangsa pasar Cina yang besar, Alibaba secara perlahan tumbuh menjadi salah satu penguasa pasar e-commerce dunia.
- Baca juga: Jack Ma yang Memesona
Amazon saat ini masih tercatat sebagai e-commerce dengan pendapatan 136 miliar dolar pada 2016. Pendapatan ini berarti sekitar delapan kali lipat pendapatan Alibaba yang baru sebesar 15,7 miliar dolar.
Namun, yang patut dicatat adalah compound annual growth rate (CAGR) atau laju pertumbuhan majemuk tahunan Alibaba yang lebih tinggi dari Amazon. Alibaba mencatat CAGR sebesar 48,63%, sementara Amazon hanya 22,15% (periode 2012-2016). CAGR merupakan komponen yang penting untuk dilihat dalam menentukan tingkat pertumbuhan investasi atau bisnis dalam beberapa tahun ke depan.
Amazon merupakan pemimpin pasar di Eropa dan Amerika Serikat (AS) dengan pendapatan di wilayah tersebut mencapai 136 miliar dolar pada 2016. Sementara Alibaba unggul di pasar Cina. Kegagalan Amazon menaklukkan Cina tentu saja harus diwaspadai.
Cina merupakan pangsa pasar yang penting. E-Commerce di Cina diprediksi mengalami pertumbuhan hingga rata-rata 17,4 persen per tahun. Pada 2016, pendapatan e-commerce di Cina baru sebesar 376,2 miliar dolar, dan diprediksi melejit menjadi 839,5 miliar dolar pada 2021.
Jika Cina mengalami pertumbuhan yang pesat, tidak demikian dengan AS dan Eropa. Statista memprediksi, pertumbuhan pasar di AS tidak sepesat pasar di Cina yakni hanya di angka 8,5%. Pada 2016, pendapatan e-commerce AS hanya sebesar 322,2 miliar dolar. Pada 2021, angkanya diprediksi hanya 485,3 miliar dolar atau sekitar 57 persen dari Cina.
Demikian pula pertumbuhan pendapatan e-commerce Eropa yang hanya ada di angka 8,8%. Jika pada 2016 pendapatan e-commerce di Eropa mencapai 281,5 miliar dolar, maka pada 2021 diperkirakan angkanya hanya sebesar 430 miliar dolar.
Cina diprediksi akan mendominasi industri fashion online dunia dengan pendapatan diperkirakan sebesar 285 miliar dolar pada 2021. Di negara tersebut, Alibaba saat ini masih menjadi raja.
Melalui Tmall.com, Alibaba kini menguasai 56,5% pangsa pasar e-commerce (penjualan B2C) pada 2016. JD.com berada di peringkat kedua dengan pangsa pasar 24,7%. Amazon hanya di peringkat ke-7 dengan pangsa pasar sebesar 0,8%.
Alibaba Mengincar Pasar Gemuk
Alibaba unggul karena berhasil menguasai pasar-pasar yang mengalami pertumbuhan besar dan diharapkan bisa menjadi sumber pendapatannya. Baru-baru ini, Alibaba menyuntikkan 1 miliar dolar ke Lazada, sehingga kepemilikannya menjadi 83 persen. Lazada merupakan jangkar Alibaba di pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Alibaba juga berusaha menjangkau India, yang merupakan salah satu pasar e-commerce dengan pertumbuhan tercepat. Economic Times melaporkan, Alibaba sudah mengumumkan kantor pertamanya di Mumbai. Alibaba juga menyewa perkantoran di Bangalore, yang bisa disebut sebagai Silicon Valley-nya India.
Alibaba sebelumnya telah menginvestasikan 15 miliar dolar untuk pengembangan bisnis e-commerce di India, melalui Paytm, yang merupakan “dompet digital” terbesar di India yang sudah memiliki 200 juta pengguna.
Alibaba juga sudah masuk ke Indonesia melalui Lazada. Di Indonesia, Lazada masih merupakan juara dengan jumlah pengunjung mencapai 51,133 juta kunjungan per bulan, menurut data iPrice. Hingga saat ini, Amazon belum secara langsung masuk ke Indonesia. Rumor-rumor tentang masuknya Amazon ke Indonesia sejauh ini belum terealisasi.
- Baca juga: Gila Belanja di Dunia Maya
Pasar e-commerce Indonesia sendiri terus meningkat. Pada 2014, DBS mencatat penjualan online di Indonesia mencapai 1,1 miliar dolar. Pada tahun tersebut, penjualan e-commerce hanya menyumbang 0,07% dari total perdagangan ritel di Indonesia. Euromonitor memperkirakan CAGR penjualan online di Indonesia selama 2014-2017 sebesar 38 persen.
Sementara menurut Statista, total penjualan e-commerce B2C di Indonesia pada 2016 mencapai 5,65 miliar dolar. Pada tahun 2017 diprediksi meningkat jadi 6,96 miliar dolar, dan pada 2021 mencapai 14,47 miliar dolar.
Membeli Toko Fisik, Mengukuhkan Dominasi
Alibaba dan Amazon memang menjadi raja e-commerce. Sukses di online, tidak membuat mereka melupakan bisnis offline. Keduanya sama-sama membangun toko offline untuk memperkuat jaringan online.
Pada 16 Juni 2017, Amazon membeli Whole Foods Market Inc seharga 13,7 miliar dolar. Akuisisi itu akan membuat Amazon memiliki ratusan toko fisik, memperkuat logistik sekaligus rantai distribusinya. Masuknya Amazon ke sektor ritel itu diyakini akan memberikan “gangguan digital” pada sektor ritel AS.
“Amazon jelas ingin masuk ke (penjualan) grosiran, jelas meyakini bahwa kehadiran fisik memberikan mereka keuntungan. Saya berasumsi kehadiran fisik memberikan mereka kemampuan untuk mendistribusikan produk-produk lebih lokal. Jadi, secara teoritis mereka bisa memberikan pengiriman dalam 5 menit,” ujar Michael Pachter, analis Wedbush Securities Inc, seperti dilansir dari Bloomberg.
Sebelum itu, Amazon sudah membuka toko offline-nya, Amazon Go.
Langkah serupa juga dilakukan oleh Alibaba. Pada 2016, Jack Ma menyampaikan konsep “New Retail” yakni integrasi online, offline, logistik, dan data melalui sebuah mata rantai tunggal. Alibaba membuka toko fisiknya, dengan mengakuisisi jaringan department store, Intime Retail seharga 2,6 miliar dolar pada Januari 2017.
Alibaba juga menjalin aliansi strategis dengan Bailian Group, pemilik jaringan supermarket, mal dan department store. Mereka beraliansi untuk saling berbagi cabang-cabang ritel offline, logistik, dan teknologi. Keduanya juga mengembangkan outlet ritel baru dan mengembangkan teknologi big data dan artificial intelligence (IoT).
Baca juga: Membeli Masa Depan dengan IoT
Alibaba juga mengakuisisi 18% saham divisi Lianhua Bailian, untuk memperkuat jaringan offline ritelnya.
“Kami berharap bisa melihat reaksi kimia. Jika kami bisa menetaskan tipe model bisnis yang belum pernah dilihat yang lainnya, maka kami berada di jalur yang benar. Ini mengubah seluruh lanskap ,” kata CEO Alibaba, Daniel Zhang,” seperti dilansir Fortune.
Toko-toko fisik memang belum tergantikan. Pada 2012, Wang Jianlin, raja real estate Cina sesumbar bahwa online shopping tidak akan pernah bisa menggantikan toko-toko fisik. Ia bertaruh 100 juta RMB (16 juta dolar) uangnya, bahwa dalam 10 tahun ke depan, konsumsi online masih kurang dari setengah dari penjualan ritel. Lima tahun berlalu, asumsi Wang masih benar. Baidu, Alibaba, dan Tencent memang tumbuh pesat, akan tetapi belum bisa menjatuhkan penjualan ritel. Saat ini, penjualan ritel di Cina baru sekitar 15 persen dari seluruh penjualan ritel. Sebuah peningkatan signifikan tetapi bukan sebuah lompatan besar.
Penjualan ritel secara offline masih kuat. Orang-orang masih menginginkan penjualan fisik di mana mereka bisa menyentuh, melihat langsung barang yang akan dibeli, sekaligus memberikan sensasi kenikmatan berbelanja. Alibaba dan Amazon menyadari hal itu. Mengubah kebiasaan dan kenikmatan orang berbelanja fisik tidak akan semudah membalik telapak tangan. Mereka pun akhirnya membuat ramuan bisnis yang menggabungkan kehebatan teknologi mereka dengan jaringan ritel offline. Namun, ramuan bisnis itu sejauh ini memang masih membutuhkan waktu untuk membuktikan keampuhannya.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Suhendra