tirto.id - Jack Ma dan Ma Huateng adalah contoh terkini bagaimana gebrakan kapitalisme digital di Asia melahirkan konglomerat-konglemerat anyar yang saling berusaha menyalip.
Beberapa waktu lalu Jack Ma boleh saja mengusungkan dada. Namun, sekarang giliran Ma Huateng yang bertengger di puncak. Pada Selasa (8/8) lalu Forbes merilis daftar orang kaya terbaru. Berdasarkan hasil penelusurannya, posisi Jack Ma digusur oleh Ma Huateng, yang kini resmi jadi orang terkaya nomor satu di Ciina dan Asia.
Perubahan peringkat tersebut berpijak pada perhitungan real-time di Hong Kong Stock Exchange. Perusahaan Ma Huateng, Tencent sukses mencatatkan peningkatan keuntungan sebesar 2,95 persen. Dampaknya, Ma Huateng memperoleh 1 miliar dolar yang menambah ceruk kekayaannya menjadi 37 milyar dolar, mengungguli Jack Ma dengan total kekayaan mencapai 34,6 miliar dolar.
Meskipun sama-sama bermarga Ma, kedua taipan tersebut tak punya hubungan darah. Satu hal yang menyamakan mereka ialah status inovator internet dengan kepemilikan modal besar di industri teknologi dan informasi global.
Baca juga: Pertarungan Sengit Alibaba Lawan
Perusahaan Ma Huateng, Tencent, adalah salah satu raksasa game online global. Sementara aplikasi pesan dan pembayaran WeChat milik Ma Huateng tumbuh konsisten dan telah mengubah lanskap kehidupan sehari-hari di Cina. Hal itu membuktikan bahwa keberadaan aplikasi WeChat atau perusahaan Tencent telah mengubah pandangan akan Cina: awalnya peniru lalu jadi penemu.
Lahirnya Tencent dan Alibaba menggarisbawahi pertumbuhan pesat layanan konten daring di Cina, negeri dengan peringkat teratas dalam jumlah penduduk dan pengguna internet.
Kedua perusahaan itu untung besar dari pasar internet dan e-commerce Cina. Meski demikian, mereka juga mendorong segala macam ekspansi guna meningkatkan nilai perusahaan. Di dunia yang menuntut perubahan secepat kilat, bukankah hanya inovator yang mampu bertahan?
Menurut profesor dari Universitas Peking Jeffrey Towson, Tencent memang tidak setenar Facebook atau PayPal, akan tetapi laju perkembangannya termasuk yang paling kencang hingga 2-3 tahun ke depan.
Ma Huateng mendirikan Tencent pada 1998 saat usianya 26 tahun. Produk pertamanya adalah QQ yang merupakan layanan pesan instan. Seiring berjalannya waktu, Tencent terus berkembang dengan menggenjot produk berbasis game yang laku keras di pasaran. The Economist dalam bahkan menyebut Tescent berhasil menciptakan “model bisnis yang lebih baik dibanding rekan-rekannya Barat.”
Mengutip data yang dikeluarkan Factset, Tencent menghasilkan laba usaha sebesar 2,8 miliar dolar dengan total pendapatan mencapai 7,2 miliar dolar pada triwulan pertama. Kemudian menurut Statista, Tencent merupakan perusahaan internet terbesar nomor lima dengan nilai kapitalisasi pasar yang berada di antara Facebook dan Alibaba.
Sedangkan WeChat merupakan layanan pesan instan yang memungkinkan para pengguna tidak sebatas mengirim teks, gambar, atau berkas lainnya tapi juga dapat menunjang keberlangsungan aktifitas sehari-hari melalui daring. Melalui aplikasi ini, para pengguna bisa melakukan pembayaran online, memesan tiket pesawat, hingga memilih kursi di bioskop.
Di Cina sendiri, WeChat sudah menjadi salah satu produk inovatif dan multifungsi di jagat daring dengan jumlah pengguna sebanyak 938 juta.
Baca juga: Upaya Indonesia Menaklukkan Pasar E-Commerce Cina
Duncan Clark, seorang pengusaha, pakar internet, dan penulis buku tentang Jack Ma mengatakan apa yang dicapai Tencent atau Alibaba mungkin bukan inovasi radikal, tapi keberadaan kedua produk unggulan mereka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang membuat perusahaan macam Facebook ingin meniru kesuksesannya.
Kunci Keberhasilan dan Kasus Hukum
Tiga kunci kesuksesan Tencent terletak pada koordinasi manajemen, kecepatan internet Cina, serta perkembangan pasar dan konsumen. Bagi Towson, ketiga aspek tersebut dipenuhi dengan baik oleh Tencent sehingga menjadikan mereka besar seperti sekarang.
Selain itu, kesuksesan Tencent tak bisa dilepaskan dari sosok pimpinan mereka, Ma Huateng. Reputasi Ma Huateng yang disebut-sebut para analis sebagai kuda hitam berpengaruh besar dalam setiap kebijakan perusahaan yang akan diambil. Ma Huateng dikenal kalem dan jauh dari sorotan kamera. Ketika Jack Ma mengunjungi New York, bertemu Donald Trump, serta menjanjikan 1 juta pekerjaan di Amerika, Ma Huateng justru tak tertarik mengikuti jejak koleganya. Ia tetap diam dan menjauhi publisitas.
Pencapaian Tencent menggambarkan bagaimana mereka dapat merespons cepat tuntutan pasar. Tencent, memiliki kemampuan adaptasi yang baik dan menjadi model bagi perusahaan lainnya.
Menurut Ma Huateng, dalam pidato seremonialnya di NUS Business School pada 2012, perusahaan online harus bermain sesuai peraturan dan mampu menemukan jalan keluar bagi masa depannya. Apabila ingin berhasil maka satu-satunya cara adalah mentaati kebijakan yang ada di Cina.
Boston Consulting Group melaporkan, nilai saham Tencent menunjukkan kenaikan yang sungguh fenomenal. Untuk Tencent sendiri, total nilai keuntungan (gabungan apresiasi harga saham dan dividen) perusahaan merupakan yang tertinggi di antara perusahaan besar lainnya secara global dalam rentang 2008 sampai 2012, mengalahkan Amazon dan Apple).
Baca juga: Saling Menunggangi Merek di Android Oreo
Tencent telah membangun model bisnis yang baik dan proporsional. Banyak perusahaan internet membangun basis pelanggan dengan memberikan segalanya. Walhasil, perusahaan hanya berorientasi pada target. Setelahnya, perusahaan akan mencari cara untuk memonetisasi pengguna. Jika berjalan baik, maka hasilnya akan seperti Google. Apabila berjalan kurang baik, maka bisa jadi seperti Amazon; pendapatan banyak namun minim laba.
Walaupun demikian, pencapaian Ma Huateng sedikit terganggu ketika otoritas Administrasi Kebijakan Siber Cina menyelidiki WeChat, Weibo Sina, serta Baidu terkait sebuah kasus hukum beberapa waktu belakangan. Menurut keterangan resminya, ketiga perusahaan tersebut diduga melanggar peraturan siber karena dianggap “gagal memenuhi tugas untuk mengelola informasi ilegal.”
Selain itu, masih dalam keterangan sama ketiga perusahaan juga diduga memiliki pengguna yang “menyebarkan informasi tentang kekerasan dan teror, rumor palsu, pornografi, dan informasi lainnya sekaligus membahayakan keamanan nasional, keamanan publik, dan tatanan sosial."
Tindakan keras terhadap tiga perusahaan internet ini hanyalah sebagian kecil dari serangkaian langkah yang pernah ditempuh pemerintah dalam meningkatkan kontrol penggunaan internet di Cina.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf