tirto.id - Dengan penduduk mencapai 1,3 miliar jiwa, Cina adalah pasar yang besar bagi bisnis E-commerce. Bisnis E-Commerce berkembang pesat di sana. Data eMarketer memaparkan 35 persen belanja daring di seluruh dunia berasal dari Cina. Angka penjualan belanja daring di sana mencapai 672 miliar dolar atau 11 persen dari total penjualan ritel di Cina.
Rerata pertumbuhan per tahun mencapai 53 persen. Saat ini, ada 380 juta orang Cina yang setia berbelanja lewat daring. Dalam waktu lima tahun ke depan, diperkirakan separuh penduduk Cina akan berbelanja daring. Mereka memang identik negara gila belaja, rerata pembelian lewat daring tiap satu orang berkisar 7 dolar per hari.
Apa yang terjadi di Cina jadi sesuatu hal wajar karena 770 juta orang atau 60 persen dari populasi mereka adalah kelompok yang memiliki penghasilan -- terbanyak di dunia. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat yang ada di posisi kedua saja hanya 146 juta orang. Angka ini tak lebih dari populasi kelas menengah di Cina yang mencapai 154 juta orang. Rerata pendapatan tahunan kelas menengah di Cina berkisar US$ 11.733.
Salah satu tipikal kelas menengah adalah mereka selektif dalam memilih barang. Produk-produk Cina selalu diidentikan sebagai produk kelas dua, murah dan tak berkualitas. Hal itulah yang membuat mayoritas penduduk negara itu memilih produk-produk luar ketimbang lokal, seperti keranjingan mereka terhadap produk-produk Apple.
Hal ini sudah diprediksikan oleh Nielsen. Dalam laporannya, Nielsen menulis tingginya angka pembeli e-commerce di Cina, bukan disebabkan terpengaruh promosi dan harga yang murah. Pembeli di Cina kini lebih matang dan rasional, bagi mereka kualitas adalah utamanya. 40 persen pembeli daring adalah orang kota.
Hal ini bisa dilihat dari karakater pembeli daring Cina yang menghabiskan 176 persen pembelian lebih banyak saat membeli barang di luar negeri lebih ketimbang di dalam negeri. Rerata satu kali per pembelian berkisar $156 - $469. Hampir 11 persen pembeli barang daring luar negeri adalah konsumen yang royal dengan pembelian mencapai $782.
Namun, banyak perusahaan global yang belum berani memanfaatkan gaya hidup masyarakat negeri Panda ini secara optimal dengan terjun langsung berperang di Cina. Begitulah analisa dari Nielsen.
Alibaba jeli dengan kondisi yang terjadi di atas. Saat ini Alibaba Group adalah raja e-commerce di Cina. Alih-alih menunggu pesaing datang ke negerinya, mereka lebih memilih mengakomodasi produk-produk luar negeri untuk di jajakan di Cina.
Sadar akan potensi pembelian produk luar, Tmall baru-baru ini meluncurkan Tmall Global International. Tmall global berperan untuk menjual produk luar negeri yang belum memasuki pasar Tiongkok. Indonesia dijadikan salah satu partnernya.
Pada Jumat kemarin (8/7/2016), Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan Alibaba Group meluncurkan portal jual beli produk Indonesia bernama InaMall. Portal ini nantinya akan jadi subkanal dari Tmall.com. Website ini jadi andalan utama Alibaba group di platform bussines to customers (B2C) –saat ini mereka jadi yang terbesar kedua di Asia Pasifik, setelah Amazon. Di Cina mereka menguasai 50 persen pasar B2C.
Saking berminatnya Indonesia, proses peluncuran bahkan secara langsung dilakukan oleh Menteri Perdagangan, Thomas Lembong. Lewat InaMall nantinya produk-produk unggulan dan produk unik dari Indonesia akan dimunculkan dalam Bahasa Mandarin di Tmall.
Thomas menuturkan kerja sama e-commerce dimaksudkan untuk menggenjot nilai ekspor Cina ke Tiongkok. Ekspor non-migas ke Cina memang relatif turun selama tiga tahun terakhir, dari Rp21,2 triliun pada 2013 jadi 13,2 triliun pada 2015. “Kami terus mendalami kerja sama bidang e-commerce dengan Tiongkok, khususnya pemain-pemain raksasa e-commerce seperti Alibaba,” ucap Thomas.
Atase Perdagangan KBRI Beijing Dandy S Iswara menjelaskan kerja sama ini akan membuat produk Indonesia bisa dipasarkan tanpa pihak importir atau distributor. Keuntungan lainnya, lanjut Dandy, produk yang masuk Tiongkok melalui fasilitas itu tidak dibebani pemeriksaan bea cukai yang panjang, tidak perlu membayar bea masuk, dan tidak dikenai VAT (batasan untuk nilai transaksi tertentu).
Meski begitu untuk bisa menjajakan diri di Tmall tidaklah mudah perlu verifikasi ketat terlebih dahulu. Keseluruhan produk tersebut akan diseleksi lebih dulu oleh Tmall.com, yang bekerja sama dengan Kamar Dagang Indonesia di Tiongkok (Indonesia Chamber of Commerce in Cina/Inacham). “Originalitas, keunikan dan kualitas itu yang utama. Proses seleksi berkisar empat hingga lima bulan," ungkap Dandy.
Pada tahap awal, produk-produk yang akan dilepas di Cina didominasi produk pangan di antaranya adalah sarang burung walet, kopi luwak, mi instan, keripik singkong, kerupuk udang, produk minuman inaco dan serta aneka kudapan seperti biskuit.
Data dari McKinsey Global Institute menjelaskan hampir 15 persen produk e-commerce yang diminati masyarakat Cina adalah produk makanan, kesehatan dan keperluan pribadi. Meski tak begitu besar, angka pertumbuhan per tahun selalu mencapai dua digit. Lantas memasarkan produk-produk pangan lewat e-commerce di Cina adalah sesuatu yang tepat.
Duta Besar RI untuk Cina menjelaskan besarnya minat masyarakat di Tiongkok terhadap produk berkualitas Indonesia disebabkan masyarakat Tiongkok cenderung kurang percaya kepada produk makanan dan minuman dalam negeri, karena masalah keamanan pangan.
Dijelaskannya, perubahan gaya hidup ke sasaran masyarakat Tiongkok tentang keamanan pangan, tentang produk yang berkualitas, dengan tingkat daya beli yang besar, merupakan peluang bagi Indonesia untuk menembus atau mempenetrasi pasar Tiongkok yang besar, dengan produk-produk berkualitas.
"Tantangannya adalah bagaimana kita dapat menjaga kualitas produk, kesinambungan produksi, kapasitas, keunikan atau kekhasan sebagai produk Indonesia, sehingga makin banyak orang tertarik, mengenal dan membeli produk Indonesia secara konsisten," ujarnya dikutip dari Antara.
Setelah pemerintah berhasil membuka ruang di Cina, tugas selanjutnya adalah agar pemerintah berupaya agar ruang itu tidak hanya diperuntukan untuk perusahaan-perusahaan besar Indonesia saja, tetapi juga produk-produk UKM. Harapa berikutnya adalah bagaimana sebisa mungkin agar pemasaran itu tak dilakukan oleh e-commerce Cina, tetapi melalui e-commerce lokal yang diberi ruang bermain di sana.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti