tirto.id - Pemanfaatan internet yang kian masif di masa kini membuat ketergantungan manusia dengan dunia digital semakin erat. Untuk pencarian informasi mendasar dan umum, orang sangat mudah mengakses mesin pencari Google atau Bing, termasuk soal jasa keuangan.
Baru-baru ini, Google merilis penelitian terbaru mereka terhadap 501 orang Indonesia yang diwawancarai secara mendalam. Penelitian ini mengungkap bahwa 74 persen calon nasabah perbankan mengaku melakukan riset kecil-kecilan terlebih dahulu melalui internet sebagai rujukan, sebelum mengambil keputusan.
Sayangnya, meskipun internet menjadi sumber rujukan yang cukup besar, tak bisa dipungkiri bahwa mendapatkan layanan jasa keuangan secara langsung atau tatap muka, bagi sebagian orang tetap menjadi pilihan.
Yudisthira Adi Nugroho, Industry Analyst Google Indonesia mengungkapkan “kalau dari hasil survei sebenarnya yang paling berguna ketika konsumen ditanya sekian banyak sumber informasi yang digunakan dan mana yang paling berguna buat mereka, nomor satu masih soal cabang bank. Bisa berupa booth di mal. Cabang bank dipilih karena ada face-to-face interaction.”
Baca juga:Jurus Bank Konvensional Menghadapi Era Fintech dan Milenial
Riset Google ini menggambarkan konsumen di Indonesia menggunakan layanan online untuk mencari informasi terkait kebutuhan layanan offline dalam hal ini jasa perbankan konvensional. Artinya, masih ada hubungan aktivitas online dengan offline.
Penelitian semacam ini mirip dengan analisis Kirthi Kalyanan, peneliti dari Santa Clara University dalam tulisannya berjudul “Proof That Online Store Seacrh Ads Can Boost Offline Store.” Kalyanan mengungkapkan bahwa 88 persen pembeli barang di toko fisik melakukan riset secara online guna kepentingan pengambilan keputusan. Studi Kalyanan ini mengungkap 50 persen penjualan offline dipengaruhi oleh dunia online hingga tahun ini.
Riset Google maupun Kirthi Kalyanan justru menggambarkan ada sisi yang bisa dikembangkan oleh perbankan maupun pelaku bisnis lainnya.Secara umum orang sudah memiliki kecenderungan memanfaatkan online untuk mengorek informasi, tapi sayang tak ada keberlanjutan layanan secara online juga. Di sini lah ada celah untuk perbankan maupun industri lain untuk semakin memasarkan produk secara digital.
Atas kehadiran celah ini pula pemain baru bisa masuk mengambil bagian. Di dunia keuangan, celah digital ini dimanfaatkan oleh Fintech alias financial technology. Patut diingat bahwa platform fintech dengan segala bentuknya akan mudah ditemui dalam sebuah pencarian digital karena memang mereka disiapkan untuk ramah dengan warganet dibandingkan perbankan konvensional. Belum lagi keluwesan fintech dalam menjaring nasabah dan syarat yang mudah, mau tak mau layanan konvensional perbankan perlu sebuah layanan digital.
Fintech merupakan tren sektor keuangan saat ini. Fintech dapat muncul dalam berbagai bentuk. Seperti dompet digital selayaknya Go-Pay atau Doku Wallet yang bisa digunakan melakukan pembayaran banyak hal. Maupun seperti KlikAcc dan Investree, peer-to-peer lending. Yang jelas, semua produk yang berada di bawah naungan fintech tersebut, secara total memanfaatkan perkembangan teknologi, melekat dari ponsel pintar pada para penggunanya.
Dalam sebuah laporan berjudul “Fintech: Are Banks Responding Appropriately?” yang dirilis EY, firma konsultasi keuangan dan perbankan, Fintech bukan semata pesaing bagi sektor perbankan konvensional. Ia merupakan masalah atas ketertinggalan inovasi “yang sering dan sedikit-sedikit” dari sektor perbankan konvensional.
Fintech, sebagai pemain baru di sektor keuangan, bahkan telah memperoleh investasi hingga 3 kali lipat pada tahun 2014 dengan nilai $12,21 miliar secara global. Ini jelas merupakan pertanda yang tidak bisa dikesampingkan dunia perbankan konvensional.
Kelahiran Fintech dan perkembangan zaman yang kian mendigital tentu tak bisa didiamkan oleh dunia perbankan konvensional jika mereka tetap ingin bertahan.
Baca juga:Blockchain Teknologi yang Awalnya Membuat Takut Bank
Perbankan memang tak berdiam diri. Berdasarkan laporan EY, sektor perbankan konvensional di dunia merespons dengan menambah alokasi investasi bidang IT. Dalam rentang 2014-2015, investasi IT pada sektor perbankan meningkat 4,6 persen. Di 2015 lalu, dunia perbankan mengalokasikan uang senilai $196,7 miliar bagi investasi IT.
Laporan EY tersebut senapas dengan laporan dari AT Kearney berjudul “Banking in a Digital World.” AT Kearney menyebut bahwa “di seluruh dunia sektor perbankan sedang (berusaha) mengeksplorasi (segala) jalan untuk bertransformasi menjadi lebih digital.”
Lebih lanjut, dalam laporan AT Kearney disebutkan bahwa 93 persen pelaku di sektor perbankan melakukan konversi ke dunia digital dengan merilis aplikasi ponsel.
Sama seperti Facebook yang melakukan aksi peniruan layanan atau akuisisi jika melihat kompetitor yang memungkinkan bisa mematahkan mereka di kemudian hari. Perbankan konvensional pun tak hanya melakukan perubahan dari bentuk lama menjadi semakin digital, termasuk di Indonesia.
Bank BCA misalnya, melalui anak usahanya bernama Central Capital Ventura, firma penanam modal, membiayai startup fintech bernama KlikAcc, sebuah startup business-to-business peer-to-peer landing yang menyediakan pinjaman bagi netizen tanpa perantara perbankan konvensional. KlikAcc bekerja sama dengan Tokopedia menyalurkan pinjaman pada para merchant-nya. Reputasi merchant di Tokopedia berpengaruh pada diberikan atau tidaknya suatu pinjaman.
"Kita sudah tahu berapa lama dia (peminjam) bekerja sama dengan mitranya (seperti Tokopedia dan lainnya). Berapa penghasilan dia (kita tahu). Sehingga kita tahu (semua hal tentang peminjam). Ini kan buat modal kerja. Selama ini NPL (Non performing loan) kita masih 0. (Hingga saat ini kita sudah menyalurkan pinjaman sebesar) 20 miliar," ucap Elysabet Bong, Chief Operating Officer Klik ACC ketika ditemui dalam acara Indonesia Knowledge Forum di awal Oktober lalu.
Baca juga: Selamat Datang Era Digital Layanan Perbankan
Respons sektor perbankan konvensional atas perkembangan dunia digital dan kelahiran fintech sesungguhnya tak sebatas mengintegrasikan diri pada dunia online, dengan membuat aplikasi ataupun langkah lainnya.
Online dan offline sesungguhnya merupakan dunia yang saling terikat. Kedua dunia yang seolah-olah berbeda tersebut sebenarnya saling membantu satu sama lain. Salah satu bagian dari dunia online yang mempengaruhi dunia offline secara efektif ialah situsweb. Merujuk analisis Kalyanan, disebutkan bahwa situsweb diprediksi memberikan dampak penjualan toko fisik senilai $1,8 triliun pada tahun 2017.
Selain itu, merujuk jurnal berjudul “Integration of Online and Offline Channels in Retail: The Impact of Sharing Reliable Inventory Availability Information” karya Santiago Gallino, mengungkapkan bahwa cara terbaik untuk berdamai dengan dunia online atau digital ialah dengan mengintegrasikan secara menyeluruh antara online dan offline.
Gallino, dengan menggunakan istilah “buy-online-pickup-in-store” mengungkapkan bahwa dunia online bisa dioptimalkan sebagai wadah penyedia informasi bagi toko atau layanan fisik. Hadirnya informasi secara online pada produk atau barang di toko fisik akan meningkatkan kredibilitas pelaku usaha. Gallino, merujuk hasil risetnya, mengungkapkan bahwa integrasi “buy-online-pickup-in-store” meningkatkan penjualan hingga 1,8 persen hingga 3,6 persen.
Baca juga:Bulan Madu Perbankan dan Fintech
Jika integrasi online dan offline dilakukan, oleh sektor perbankan maupun sektor usaha lainnya, justru semakin menancapkan kekuatan mereka. Online dikejar, selain karena perkembangan zaman, juga dipakai untuk menjangkau konsumen yang telah terpapar dunia maya. Terlebih saat ini masyarakat belum sepenuhnya terintegrasi dengan dunia digital. Offline masih menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Selain itu, mengejar online pun dapat dilakukan untuk tujuan mengarahkan para pengakses online tersebut menuju offline. Di offline, pelaku usaha termasuk sektor perbankan, pun tetap bisa mengoptimalkan layanannya agar semakin memudahkan konsumen.
Dunia online, merujuk laporan AT Kearney, salah satu manfaatnya ialah menciptakan spektrum baru bagi usaha offline. Ia tak semata-mata mematikan sektor konvensional yang telah mencakar bertahun lamanya. Yang perlu adalah kesadaran para perusahaan layanan jasa keuangan dalam pemasaran produknya agar lebih mudah menyentuh para warganet, karena di Indonesia orang masih tetap berselancar di dunia digital meski hanya untuk sebuah layanan konvensional. Memadukan layanan online dan offline saat ini jadi sebuah keharusan dunia perbankan, sebelum semua serba masuk ke era digital.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra