Menuju konten utama

Bulan Madu Perbankan dan Fintech

Fintech mulai bertebaran di tanah air. Bank-bank besar ikut bermain di pasar ini, dengan menggaet mitra-mitra start-up fintech. Bagaimana prospeknya?

Bulan Madu Perbankan dan Fintech
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo meresmikan BI Financial Technology (Fintech) Office di Jakarta, Senin (14/11). BI Fintech Office akan menjadi wadah evaluasi, penelusuran, dan mitigasi risiko dalam pengembangan perusahaan-perusahaan di bidang teknologi keuangan, khususnya terkait sistem pembayaran. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pd/16

tirto.id - Yanih seorang perajin samak. Untuk membeli pandan, dia memerlukan dana Rp 2.500 per ikat, satu lembar samak atau tikar memerlukan sekitar 8 ikat pandan. Dia meminjam uang tetangga untuk modal Ketika harga pandan naik menjadi Rp6.000 per ikat, bisnisnya ikut terikat. Seret. Likuiditas tetangga pun tidak dapat diharapkan lagi. Mau pinjam ke bank? Mustahil sekali buat Yanih. Bank tidak mau memberikan pinjaman tanpa ada agunan.

Yanih kemudian mengenal Amartha, perusahaan pembiayaan mikro bermodel peer to peer landing. Setelah disurvei dan diseleksi, dia mendapat pinjaman awal sebesar Rp500.000. Berkat kecanggihan teknologi, Amartha memperbarui platformnya dan dapat dengan mudah menjadi jembatan antara Yanih dengan krediturnya. Hanya dengan masuk ke laman Amartha, kreditur dapat memilih siapa yang akan dibiayai. Yanih pun tidak perlu sulit mendapatkan pinjaman. Amartha tidak sendirian. Start up financial tecnology (fintech) yang mengambil skema peer to peer landing seperti KoinWorks, Investree, Modalku, UangTeman, juga menjadi jembatan antara pemilik dana dengan pihak yang memerlukan dana.

Tidak hanya itu, beberapa financial technology lain memberikan berbagai layanan yang tadinya diberikan oleh perbankan. Misalnya saja transfer dana, pembayaran hingga pengelolaan aset. Secara tradisional layanan-layanan itu tadinya dipenuhi oleh perbankan.

Mungkin saja, perbankan juga terlalu sibuk sehingga tidak mengurus pada hal-hal pengembangan teknologi seperti yang dilakukan start up fintech. Perbankan adalah istitusi keuangan yang highly regulated. Banyak sekali aturan-aturan yang diterapkan pada perbankan. Maklum, bank adalah bisnis kepercayaan. Jika terjadi sesuatu pada sebuah bank, para nasabah yang menaruh uang di bank, dapat berbondong-bondong menarik dananya. Padahal, dana simpanan nasabah adalah darah bagi perbankan. Tanpa ada aliran dana nasabah, bank tidak dapat menyalurkan kredit sekaligus tidak dapat mendapatkan untung dari selisih bunga simpanan dan pinjaman.

Sebaliknya, fintech belum diatur secara terinci. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di negara lain. Otoritas seolah berada dalam dilema, mengetatkan aturan dapat berarti mengancam start up fintech yang baru berkembang bagai cendawan di musim hujan. Di sisi lain, ada kepentingan yang harus dilindungi yaitu keamanan masyarakat ketika bertransaksi melalui fintech. Hingga saat ini, aturan-aturan tentang fintech masih dibahas oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

OJK mencatat, sudah ada 135 fintech yang beroperasi hingga Desember akhir tahun lalu. Jumlah ini meningkat pesat dari hanya 51 pada kuartal pertama tahun lalu.

Dirangkul

Menanggapi pesatnya perkembangan fintech yang dapat menggerogoti kue perbankan, ada berbagai macam cara yang dilakukan oleh perbankan. Pada dasarnya, industri perbankan mendukung perkembangan fintech ini. Anak-anak muda penuh dengan ide dan semangat memang harus didukung.

Bank Mandiri misalnya, membentuk anak usaha baru, Mandiri Capital Indonesia (MCI). Anak usaha ini dapat berinvestasi pada start up, membantu usaha-usaha rintisan tersebut untuk berkembang dan membuka akses kepada jaringan merchant dan konsumen. Awal bulan lalu, MCI bersama dengan Lynx Asia Partners, Beenext dan Midplaza Holding akan berinvestasi antara 2 dan 5 miliar dolar AS untuk Amartha. Selain Amartha ada lagi start up fintech lain yang akan menerima dana yaitu Mitra Transaksi, Moka dan satu perusahaan yang masih belum dapat disebutkan namanya. Selain itu ada lagi tiga perusahaan lain yang sudah masuk dalam pipeline. Tahun ini saja, MCI menyediakan dana sebesar Rp550 miliar. MCI akan fokus pada fintech yang menyediakan jasa pembayaran, pinjaman dan solusi untuk usaha kecil dan menengah.

Bank lain yang lebih banyak memiliki nasabah premium DBS lain lagi pendekatannya. DBS menggandeng Founder Institute dengan 9 lulusan terbaiknya. Mereka pun diajak pergi ke Silicon Valley, kiblat para pengembang start up di Amerika Serikat. Head of Digital Banking DBS Leonardo Koesmanto mengatakan, DBS mendukung perkembangan start up di Indonesia. Dalam mengembangkan layan digital banking untuk nasabah menengah, DBS juga mengandeng dua start up dari Singapura dan AS untuk mengembangkan aplikasinya.

DBS meyakini, para pemain baru itu memiliki berbagai macam solusi dan ada yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang lebih mapan seperti perbankan.

Sementara UOB Bank Indonesia memiliki program FinLab. FinLab didirikan oleh induk perusahannya, United Overseas Bank bekerja sama dengan SGInnovate. Program ini berlangsung selama 100 hari untuk 30 start up. UOB mengundang start up dari Vietnam, Malaysia, Indonesia dan negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Pendiri start up tersebut diminta memasukkan proposal yang kreatif dan dipresentasikan di depan panelis komite. Lalu akan dipilih lagi menjadi 10 disetujui dan akan ikut dalam program akselerasi di Singapura. Kevin Lam Presiden Direktur UOB Indonesia menjelaskan bahwa program ini bertujuan untuk menemukan ide-ide kreatif dari komunitas fintech yang berpotensi menghadirkan layanan perbankan yang sesuai dengan nasabah.

Sebagai hadiahnya, 10 start up yang terpilih dalam program ini akan menerima dana hampir Rp1,4 miliar dalam bentuk tunai sebagai modal kerja, kredit perangkat lunak, serta penyediaan ruang kerja. Selain itu, program ini juga akan mendapakan bimbingan dari institusi keuangan dan wirausahawan termasuk para ahli software, manajer produk, serta bankir senior dari UOB. Setelah selesai, para founder start up yang terpilih akan mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan para investor potensial dan mendapatkan pendanaan untuk memasarkan produknya.

Maybank Indonesia, juga tidak mau ketinggalan dalam mendukung start up ini. Maybank mengandeng Endeavor Indonesia, organisasi dengan jejaring internasional yang mendukung wirausahawan muda untuk berkembang, Maybank mensponsori acara Scale Up Asia, ajang pertemuan para founder start up. Presiden Direktur Maybank Taswin Zakaria mengatakan, Maybank dan Endeavor memiliki tujuan sejalan dengan memberdayakan enterpreneur,” ujar dia.

Bank swasta terbesar di republik, BCA lain lagi caranya. BCA mengakuisisi Central Capital Ventura dengan suntikan modal Rp200 miliar pada akhir Januari lalu. Transaksi ini masih baru, belum ada langkah nyata selanjutnya dari BCA. Dalam pernyataan tertulisnya, BCA hanya menyatakan kolaborasi dengan fintech akan menguntungkan BCA dalam mengembangkan layananya.

Infografik Ramai-Ramai Menggandeng Fintech

Fenomena menggandeng fintech ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di negara lain. COO UBS Wealth Management Dirk Klee di London mengatakan, bank saat ini fokus menjalin kerja sama dengan fintech, ketimbang menganggapnya sebagai pesaing. Ada simbiosis mutualisme dalam kerja sama ini. Bank akan terus dapat mengembangkan teknologinya, juga akan lebih mudah mengatasi isu-isu keamaan siber (cybersecurity). Fintech pun mendapat keuntungan dalam mendapatkan modal, bimbingan dan mentoring.

Namun demikian, di Eropa sudah muncul isu bahwa bank-bank tengah melobi para petinggi Uni Eropa untuk mencegah akses fintech terhadap data nasabahnya. Financial Times menyebutkan, skema second payment service directive (PSD2) dirancang untuk meningkatkan persaingan dengan nama “open banking”. Caranya adalah mendorong bank memungkinkan pihak ketiga seperti fintech untuk dapat mengakses data nasabah. Sebagai imbalan, fintech akan menghadapi regulasi yang lebih ketat, seperti proteksi data. Ide dasarnya adalah untuk meningkatkan legitimasi dan kepercayaan terhadap fintech. Akan tetapi, para founder fintech mengatakan sebenarnya PSD2 memberikan kekuatan lebih besar kepada bank. Banyak fintech Eropa berharap rancangan aturan itu akan berubah.

Bank berkepentingan melindungi data nasabah agar tidak disalahgunakan oleh para penjahat siber. Sementara fintech khawatir bank akan mendapatkan terlalu banyak kontrol.

Di Indonesia, perselisihan itu belum terlihat. Perbankan dan fintech tampaknya masih berbulan madu. Kolaborasi antara dua industri tersebut diharapkan dapat mempermudah nasabah dan meningkatkan akses nasabah terhadap perbankan. Apalagi di negara yang sangat luas seperti Indonesia, masih banyak warga yang belum terjangkau layanan kantor-kantor cabang bank. Kolaborasi antara bank dengan fintech dapat menjadi solusi agar mereka yang belum tersentuh layanan perbankan dapat dilayani juga.

Masih banyak bidang yang dapat digarap oleh perbankan dan fintech dalam memperluas jangkauan dan layanannya. Di sisi lain, regulasi untuk fintech mendesak disusun agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan nasabah, bank maupun fintech sendiri.

Baca juga artikel terkait FINTECH atau tulisan lainnya dari Yan Chandra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Yan Chandra
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti