tirto.id - Sampai hari ini, masih cukup kuat pandangan miring di masyarakat terhadap perempuan yang memutuskan untuk membiarkan bulu-bulu rambut tumbuh apa adanya di badan, seperti area wajah, bulu kaki, ketiak, atau sekitar bikini.
Selama sekian dekade, anggapan bahwa tubuh berbulu sama saja dengan badan yang “tidak bersih” atau karakter yang tidak feminin dan memalukan telah dilanggengkan oleh iklan produk-produk alat cukur atau krim perontok bulu yang menyasar perempuan.
Mau tak mau, perempuan dari generasi ke generasi mencukur bulu badannya.
Perawatan ini lazim dilakukan sendiri di rumah dengan alat cukur dan krim yang dijual bebas di toko, bisa juga dilakukan oleh tenaga ahli di salon-salon kecantikan yang menawarkan teknologi penghilang bulu dengan laser tercanggih.
Namun demikian, selama beberapa tahun terakhir, seiring gencarnya kampanye body positivitydan tumbuhnya kesadaran untuk tampil natural serta menghargai tubuh, praktik menghilangkan bulu badan perlahan tidak menjadi keharusan.
Ya, perempuan zaman sekarang cenderung lebih berani untuk membuat pilihan tersebut.
Beberapa selebritas pun mulai nyaman memperlihatkan pilihannya untuk menormalisasi bulu badan dengan tidak mencukur atau menghilangkannya.
Sebut saja bintang serial The Crown Emma Corrin, aktris Rachel McAdams, model Emily Ratajkowski, dan penyanyi Lourdes Leon yang pada berbagai kesempatan terlihat percaya diri memperlihatkan bulu di tubuh mereka.
Pergeseran sikap tentang bulu badan ini pernah ditangkap satu dekade silam oleh lembaga riset Mintel di Inggris.
Pada tahun itu pula, penjualan produk pencukur dan perontok bulu mengalami penurunan sebesar 5 persen.
Persentase responden perempuan yang mencukur bulu ketiaknya pun dilaporkan menurun dari 84 persen pada 2014 menjadi 77 persen pada 2016. Sepanjang periode yang sama, penurunan persentase ditemukan pada mereka yang mencukur bulu-bulu kaki—dari 91 persen menjadi 85 persen.
Menariknya lagi, kesadaran untuk lebih menghargai tubuh ini juga mendapat dukungan dari industri penghilang bulu.
Merangkum dari artikel CNN, sejumlah produsen turut berupaya memopulerkan narasi positif seputar topik bulu badan perempuan.
Start-up pisau cukur Billie asal AS, misalnya. Didirikan pada 2017, Billie memasarkan produknya berdasarkan gagasan pilihan.
"Kami ingin benar-benar mengakui bahwa perempuan memiliki bulu badan, menunjukkannya, dan berkata bahwa bercukur adalah pilihan. Kalau kamu ingin mempertahankan bulu badan, kami merayakannya. Dan kalau kamu mau menghilangkannya, itu juga tidak masalah," kata Georgina Gooley, salah satu pendiri Billie.
Ada pula merek pisau cukur Flamingo, dirilis oleh lini produk perawatan tubuh populer asal AS pada 2018 Harry's.
Dalam situs resminya, Flamingo menegaskan komitmen untuk “memperjuangkan perempuan, tubuh mereka, dan pilihan mereka”.
Lima tahun silam, mereka ikut menyemarakkan suasana pemilu AS dengan kampanye “The Bush 2020” yang menyerukan slogan dengan kata-kata menggelitik seperti "No Waxation Without Representation", "We Are Grow Choice", “This is A Pubic Service Announcement”.
Seiring itu, gerakan untuk menormalisasi dan menghargai bulu di badan perempuan pun bermunculan.
Sebut salah satunya "Januhairy" sebuah inisiatif yang mendorong perempuan untuk menanggalkan pisau cukur mereka selama sebulan.
Akun Instagram resmi kampanye Januhairy mengunggah ulang foto-foto perempuan yang merayakan bulu badan mereka dalam upaya untuk menormalisasikannya.
Demikian pernah disampaikan oleh pendiri Januhairy, Laura Jackson, kepada media Inggris Metropada 2021 silam.
“Sedari lama, kami menduga perempuan mencukur bulunya demi orang lain, alih-alih diri mereka sendiri—ini terbukti selama lockdown pandemi,” tutur Jackson, mengaitkan kecenderungan perempuan di banyak tempat untuk tidak mencukur bulu badan selama harus mendekam di rumah karena COVID-19.
"Mungkin sebentar lagi kita sampai pada titik di mana orang-orang bisa melakukan apa saja yang diinginkan terkait bulu badan dan kita bahkan tidak perlu membicarakannya lagi. Ini kelak bagus sekali," ujarnya lagi.
Pernyataan senada diungkapkan aktivis bulu badan dan seniman visual Esther Calixte-Bea.
Kepada Huffington Post, Calixte-Bea menegaskan bahwa gerakan seperti Januhairy menjadi semacam ruang bagi perempuan untuk mempertanyakan standar bulu badan, mengapa perempuan mengikuti norma sosial yang membuatnya tidak diterima maupun merasa tidak cantik dan tidak feminin dengan bulu badan.
"Gerakan ini juga menantang perasaan yang menganggap bulu badan menjijikkan, padahal itu cuma rambut," katanya.
Terlepas dari itu, memiliki bulu badan merupakan hal yang normal.
Menurut dr. Susan Massick, dokter kulit bersertifikat sekaligus dosen dari Wexner Medical Center, Ohio State University, memilih untuk tidak mencukur bulu tidak perlu diperkarakan.
“Tidak mencukur dan membiarkan rambut tumbuh di tempat-tempat seperti ketiak, area bikini, dan kaki bukanlah hal yang tidak higienis. Percaya atau tidak, rambut kemaluan misalnya, memiliki fungsi perlindungan, khususnya untuk kesehatan vagina. Namun, jika orang memilih atau lebih suka mencukur, itu pun tidak masalah," jelas dr. Massick.
Pada waktu sama, penting diingat bahwa aktivitas mencukur bulu badan, bagi sebagian orang, berpotensi mengiritasi kulit dan menyebabkan jerawat atau ruam.
Nah, bagaimana denganmu? Apa pilihanmu, bercukur atau tidak bercukur?
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































