Menuju konten utama
Body Positivity

Tubuh Perempuan dan Bulu-Bulu Rambut yang Dipermasalahkan

Anggapan memalukan pada bulu yang tumbuh di tubuh perempuan bisa ditarik sejak era publikasi Darwin tentang seleksi seksual, juga dipengaruhi industri mode.

Tubuh Perempuan dan Bulu-Bulu Rambut yang Dipermasalahkan
Header Diajeng Bulu Rambut di Tubuh Manusia. tirto.id/Quita

tirto.id - Ada yang berbeda dari Harper's Bazaar Freedom Issue edisi Juni/ Juli 2024 lalu.

Bukan soal tank top dan celana dalam Miu Miu yang dikenakan model sampul Emma Corrin, melainkan bagaimana pemeran serial The Crown ini tampil percaya diri memperlihatkan bulu ketiaknya saat berpose untuk halaman utama pada publikasi mode tertua di dunia tersebut.

Penampilan yang dianggap tidak umum bagi perempuan demikian tentu langsung menuai berbagai komentar.

Emma kelak menegaskan bahwa caranya menampilkan diri—mulai dari riasan muka, bulu tubuh, sampai rambut, akan selalu ditentukan berdasarkan perasaannya sendiri, alih-alih didikte atau dipengaruhi oleh faktor eksternal.

"Mengapa perlu dipikir repot-repot?” begitu ia pernah berujar, “Kuharap praktik tidak mencukur bulu badan bakal jadi hal yang normal dan tidak perlu diributkan lagi.”

Pilihan untuk tidak mencukur bulu pada bagian tubuh perempuan juga dilakukan oleh penyanyi dangdut Iis Dahlia.

Ia menjadi salah satu artis yang hingga kini masih mempertahankan penampilan khasnya: kumis tipis di atas bibirnya. Meski mendapat komentar negatif dari warganet tentang pilihannya tersebut, Iis tidak menggubrisnya dan tetap melangkah penuh percaya diri.

Pada 2021, YouGov melakukan survei tentang body image—citra tubuh—terhadap 1.212 responden AS berusia 16 tahun ke atas.

Terungkap bahwa 57 persen responden berpendapat bahwa perempuan dengan bulu ketiak terlihat tidak menarik.

Selain itu, sebanyak 50 persen responden laki-laki dan 56 persen responden perempuan menyebut perempuan seharusnya menghilangkan bulu ketiaknya.

Sebagian besar responden (59 persen) menganggap perempuan menjadi tidak menarik, atau kurang menarik, apabila memiliki bulu di kakinya.

Pandangan masyarakat terhadap bulu pada tubuh perempuan tidak lahir begitu saja, melainkan terbentuk dari proses perjalanan panjang.

Di masa lalu, praktik menghilangkan bulu badan dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Merujuk pada berbagai peradaban lampau, seperti masyarakat Mesir kuno, langkah tersebut dilakukan dengan memanfaatkan bahan-bahan alam seperti pinset yang terbuat dari kerang, batu apung, atau lilin dari lebah madu atau gula yang dilelehkan.

Sementara pada masyarakat Romawi, kulit mulus tanpa bulu sebagai cerminan kelas sosial tinggi dapat dimiliki dengan memanfaatkan rijang atau batu api, pinset, dan olahan krim.

Pada abad pertengahan, Ratu Elizabeth I di Inggris disebut-sebut memopulerkan tren menghilangkan alis dan rambut di dahi untuk menimbulkan kesan muka lebih luas atau lebar. Caranya menggunakan minyak kenari atau perban yang direndam dalam amonia dan cuka.

Meski terbukti dilakukan oleh nenek moyang kita, bukan berarti praktik penghilangan bulu tubuh ini menjadi lazim.

Bahkan, sampai tahun 1800-an, ketika krim perontok bulu dan pisau cukur modern untuk laki-laki telah berhasil diciptakan, rutinitas menghilangkan bulu belum dianggap penting atau wajib di kalangan publik Eropa dan Amerika Utara.

Barulah memasuki abad ke-20, menghilangkan bulu mulai menjadi bagian penting dari rutinitas kecantikan modern.

Perubahan ini dipengaruhi oleh publikasi Charles Darwin tahun 1871, The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex.

Melansir CNN, dosen kajian gender dan seksualitas Rebecca Herzig dalam bukunya Plucked: A History of Hair Removal (2015) menyampaikan bahwa gagasan modern tentang bulu badan yang tidak feminin dapat ditelusuri sampai ke publikasi Darwin tentang seleksi seksual.

Pandangan Darwin tentang seleksi alamiah yang berkaitan dengan bulu badan mendorong komunitas medis dan ilmiah pada masa itu untuk mengasosiasikan rambut dengan "inversi seksual, patologi penyakit, kegilaan, dan kekerasan kriminal”.

Menariknya, konotasi tersebut kebanyakan melekat pada tubuh perempuan alih-alih laki-laki.

Mengapa begitu? Menurut Herzig, dari beberapa alasan yang ada, salah satunya berkaitan dengan "kontrol sosial gender" terhadap perempuan yang semakin berperan luas di masyarakat.

Memasuki awal tahun 1900-an, seiring perempuan kulit putih Amerika mulai mencukur bulu badan sebagai simbol feminitas dan memandang negatif bulu badan, Herzig menuturkan bahwa praktik tersebut menjadi semacam “cara untuk membedakan diri dari orang-orang yang dianggap kasar, kelas bawah, dan imigran.”

Dimulainya kebiasaan mencukur bulu badan juga mustahil dipisahkan dari perubahan tren berpakaian perempuan.

Sampai awal abad ke-20, pakaian perempuan cenderung tertutup sehingga tidak ada kepentingan untuk memamerkan bagian ketiak, betis, atau kaki.

Melansir Vox, studi bertajuk “Caucasian Female Body Hair and American Culture“ (1982) oleh Christine Hope menunjukkan bahwa majalah-majalah mode di AS sebenarnya sudah memberikan ruang pada iklan produk untuk menghilangkan bulu atau rambut pada bagian wajah, leher, dan lengan bawah.

Namun, hingga saat itu, belum ditemukan iklan yang menyasar bagian bulu kaki atau ketiak.

Sampai tibalah pada 1915, Hope menuturkan, pengiklan di Harper’s Bazaar mulai menargetkan bulu ketiak. Kampanye iklan ini beriringan dengan munculnya tren kreasi gaun tanpa lengan yang menonjolkan kulit.

Tahun itu pula , Gillette meluncurkan pisau cukur khusus perempuan, Milady Décolletée. Dijual seharga lima dolar, produk Milady diiklankan untuk “mengatasi masalah personal yang memalukan”.

Narasi serupa ditemukan pada iklan produk perontok bulu ketiak di Harper’s Bazaar pada 1922—yang menyatakan bahwa “perempuan modern yang teliti harus memiliki ketiak bersih sempurna agar tidak merasa malu”.

Seiring waktu, kulit mulus tanpa bulu atau rambut tidak sekadar merujuk pada bagian tubuh yang umumnya terbuka.

Pada dekade 1990, di sebuah salon kecantikan di New York, tujuh perempuan bersaudara asal Brasil—J Sisters—memperkenalkan layanan khusus untuk menghilangkan bulu di area sekitar alat kelamin, dikenal dengan “Brazilian wax”.

Tak butuh lama, “Brazilian wax” mendulang popularitas di kalangan perempuan. Klien J Sisters meliputi artis papan atas Hollywood, sebut di antaranya Naomi Campbell, Gwyneth Paltrow, Tyra Banks, Kimora Lee, Cameron Diaz.

Begitu populernya “Brazilian wax”, layanan kecantikan ini disematkan ke dalam alur cerita salah satu episode di serial Sex and the City pada tahun 2000.

Ya, proses panjang itu semua akhirnya memperkuat pandangan di masyarakat betapa perempuan terlihat lebih cantik tanpa bulu.

Yang disayangkan, meskipun kampanye body positivity semakin digencarkan, sampai saat ini bulu badan masih saja sulit dipisahkan dari perasaan-perasaan negatif.

Menurut survei tahun 2024 yang dilakukan oleh Smoothskin terhadap 2.000 responden dewasa di AS, mayoritas perempuan (63 persen) merasakan emosi negatif terhadap bulu badannya, seperti perasaan sebal atau tidak nyaman. Persentase tersebut hampir dua kali lipat daripada laki-laki.

Pada survei yang sama, hanya 14 persen responden perempuan yang merasakan “acceptance—penerimaan” terhadap kondisi badannya yang berbulu.

Nyatanya, tidak mencukur bulu di tubuh tentu saja memiliki sisi positif.

Dokter kulit yang berbasis di New York, Dr. Hadley King, menjelaskan bahwa tidak mencukur bulu ketiak sebenarnya membuat perawatan kulit menjadi lebih mudah secara keseluruhan.

Kamu tidak perlu lagi repot mencukur atau menggunakan krim cukur. Artinya, kamu akan terhindar dari masalah seperti kulit terbakar akibat pisau cukur atau luka gores.

Risiko tumbuhnya rambut ke dalam (ingrowth hair) juga akan berkurang.

Selain itu, penting diingat bahwa keberadaan bulu di area ketiak berpotensi mengurangi gesekan antara kulit dengan kulit, sehingga risiko iritasi dan lecet cenderung lebih rendah.

Jadi apa pilihanmu, bercukur atau tidak bercukur?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Me Time
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih