tirto.id - Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan izin usaha pertambangan (IUP) PT Gag Nikel, setelah sempat menghentikan sementara operasinya akibat sorotan media terkait dugaan kerusakan lingkungan di Raja Ampat.
Anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) itu kini menjadi satu-satunya pemburu nikel di gugusan kepulauan sebelah barat Semenanjung Doberai. Empat perusahaan lainnya harus angkat kaki, menyusul keputusan pencabutan IUP mereka oleh Presiden Prabowo Subianto.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, kepatuhan terhadap pengelolaan dampak lingkungan jadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk memberi lampu hijau pada Gag Nikel.
Dalam konferensi pers di Istana Negara pada Selasa (10/6/2025), ia juga menunjukkan bagaimana eksploitasi nikel di Pulau Gag—mulai dari bukaan lahan, kolam penampungan limbah, hingga pelabuhan (jetty)—tak mempengaruhi ekosistem kualitas perairan di sekitarnya. “Ini adalah proses bagaimana melakukan AMDAL yang baik,” ucap Bahlil.
Namun demikian, di balik alasan lingkungan, potensi bisnis dari tambang Gag Nikel tak bisa diabaikan. Mengantongi IUP sejak November 2017, perusahaan ini mengeksploitasi lahan dengan total sumber daya nikel sebesar 319,78 juta ton–terdiri dari 122,44 juta ton saprolite dan 100,05 juta ton limonite dalam dmt (dry metric ton).
Ini menjadikannya satu aset strategis Antam selain wilayah-wilayah lain seperti Konawe Utara, Maluku Utara, dan Pomalaa. Apalagi, cadangan nikel dari lokasi ini memiliki kadar rata-rata nikel yang cukup tinggi, yakni 1,90 persen untuk saprolite dan 1,48 persen untuk limonite.
Plt Presiden Direktur Gag Nikel, Arya Arditya Kurnia, mengatakan bahwa sejak 2018 hingga tahun lalu, perusahaannya telah memproduksi 15,6 juta wmt bijih nikel. Pengerukan di tahun pertama menghasilkan 913 ribu wmt bijih nikel, dan melonjak ke 1,77 juta wmt pada 2019.
Namun demikian, produksi sempat anjlok ke 1,16 juta pada 2020 akibat pembatasan sosial masa pandemi. Barulah pada 2021, eksploitasi di Pulau Gag mencapai titik puncak: 3 juta wmt bijih nikel. Volume ini sedikit menurun menjadi 2,78 juta wmt pada 2022, dan kembali stabil di angka 3 juta wmt pada dua tahun berikutnya.
Adapun dari sisi penjualan, hampir seluruh hasil tambang Gag langsung dijual ke pasar. Dalam periode 2018–2024, penjualan mencapai 15,4 juta wmt—hanya berselisih tipis dari volume produksi total. "Tahun 2018 (penjualan) kami masih 800 ribuan, terus meningkat di tahun 2019 1,7 juta. 2020 kena COVID-19, kita (jual) 1,1 juta kemudian 2021 kita sudah 3 juta sampai dengan sekarang," jelas Arya.
Tren positif dari sisi produksi dan penjualan berbanding lurus dengan peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Ambil contoh pada kurun 2018 hingga 2021, di mana pendapatan perusahaan berturut-turut sebesar Rp376,61 miliar; Rp795,84 miliar; Rp660,53 miliar; dan Rp1,76 triliun.
Jika dibandingkan dengan kinerja grup secara keseluruhan, penjualan dari Pulau Gag berkontribusi lebih dari seperempat pendapatan segmen bijih nikel Antam. Pada 2021, misalnya, penjualan nickel ore dari Pulau Gag menyumbang sekitar 38 persen dari pendapatan segmen bijih nikel Antam yang sebesar Rp4,38 triliun.
Dari sisi profitabilitas, kinerja Gag Nikel juga tak kalah mengkilap—tumbuh hampir delapan kali lipat dalam periode yang sama yakni Rp100,12 miliar (2018), Rp138,08 miliar (2019); Rp280,25 miliar (2020); dan Rp819,77 miliar (2021).
Bagaimana dengan 2025?
Secara keseluruhan, Antam meyakini bahwa perubahan fundamental kinerja operasional di tahun ini akan tetap berlanjut seiring dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap nikel—terutama dalam mendukung ekosistem EV battery.
Kementerian ESDM sendiri telah menargetkan produksi bijih nikel dalam negeri sebesar 220 juta ton. Dari total tersebut, 16,61 juta di antaranya akan berasal dari Antam—termasuk Gag Nikel dengan kontribusi 3 juta wmt—sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disetujui pemerintah.
Hingga kuartal pertama lalu, berdasarkan data keterbukaan informasi, penjualan bijih nikel Antam secara group telah mencapai 3,8 juta wmt. Dengan harga jual rata-rata di angka 45,6 dolar AS per wmt, emiten berkode ANTM tersebut telah mengantongi 169 juta dolar AS atau sekitar Rp2,80 triliun (kurs Rp16.588 per dolar AS) pada tiga bulan pertama 2025.
Artinya, dengan asumsi harga jual rata-rata stabil di angka 45 dolar AS dan penjualan bijih berhasil mencapai 3 juta wmt, Gag Nikel bisa mengantongi pendapatan setidaknya 135 juta dolar AS atau sekitar Rp2,23 triliun di akhir tahun.
Meski demikian, produksi tersebut akan sangat bergantung pada proses evaluasi lingkungan yang saat ini tengah berjalan. Arya menyampaikan, sejak disetop untuk sementara beberapa waktu lalu, Gag Nikel belum dapat memulai kembali aktivitas pertambangan sampai surat resmi atau legalitas dari Menteri Bahlil dan pihak terkait dirilis. Ia berharap penghentian sementara yang dilakukan pemerintah tak berlarut-larut dan mengganggu target produksi.
Apalagi, rencananya tahun ini perusahaan juga hendak mengajukan revisi RKAB untuk mengerek produksi. “Kami lagi proses revisi dari 3 juta naik ke 4 juta. Cuma enggak tahu di situasi ini kan, sekarang, mungkin akan dimulai pengawasan,” jelasnya.
Di sisi lain, Gag Nikel juga masih dalam tahap eksplorasi untuk bisa memperpanjang umur tambang. Sebab, berdasarkan estimasi perusahaan, cadangan yang ada saat ini—sekitar 56 juta wmt—hanya bisa dieksploitasi sampai tahun 2038. Padahal, IUP berumur tiga puluh tahun yang dimiliki Gag Nikel baru akan berakhir pada 2047.
Artinya, perusahaan masih berjibaku untuk mengubah hampir 320 juta sumber daya yang ada di Pulau Gag menjadi cadangan. “Dalam studi kelayakan tahun 2012, cadangan Pulau Gag itu yang baru diverifikasi kurang lebih di 700 sampai 1.000 hektare totalnya,” ungkap Arya, sembari menambahkan bahwa total konsesi Gag Nikel mencapai 13.136 hektare—terdiri atas luas daratan 6.060 hektare dan lautan 7.076 hektare tapi hanya sekitar 3 ribu hektare di daratan yang memiliki potensi nikel dan bisa dieksplorasi.
“Jadi, dari studi kelayakan awal, diraih lah 17 tahun—sampai 2038—umur tambangnya. Tapi kami masih memiliki sumber daya lain yang kami sedang kembangkan untuk bisa dikonversi sebagai cadangan yaitu memang menjadi eksplorasi lanjutan,” jelasnya.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyoroti dinamika eksternal seperti kebijakan tarif yang diberlakukan Presiden AS, Donald Trump, terhadap pergerakan harga nikel di pasar global. Apalagi, tekanan dari kondisi oversupply masih membayangi sejak tahun lalu.
Dengan asumsi tidak ada perubahan besar dalam kebijakan tarif global, Lukman memperkirakan harga nikel masih akan stagnan seperti sekarang. “Nikel masih akan sulit untuk bangkit di tahun ini,” kata Lukman saat dihubungi, Rabu (11/6/2025).
Analis Reliance Securities, Lanjar Nafi Taulat Ibrahimsyah, mengatakan prospek kinerja ANTM dalam jangka pendek 1-2 tahun ke depan akan sangat menantang dan sangat bergantung pada kemampuannya menyeimbangkan pelemahan di segmen nikel dengan kekuatan di segmen emas.
Namun, untuk jangka panjang, prospeknya bergantung sepenuhnya pada keberhasilan eksekusi dua strategi utama yang sejalan dengan kebijakan pemerintah, yakni proyek hilirisasi baterai kendaraan listrik dan perbaikan tata kelola lingkungan. Sebab, belum ada tanda-tanda harga nikel global akan kembali bullish seperti di masa pandemi.
“Saya memang melihat harga nikel global telah mengalami tren penurunan signifikan dari puncaknya pada tahun 2022-2023. Hal ini terutama disebabkan oleh banjir pasokan nikel kelas 2 terutama Nickel Pig Iron/NPI dari Indonesia sendiri yang melebihi permintaan global,” ujarnya saat dihubungi Tirto.
Adapun Direktur Utama Antam, Nico Kanter menegaskan bahwa sebagai pemegang saham, Antam akan melakukan pengawasan dan memastikan pengelolaan operasi dilakukan sesuai dengan good mining practice.
“Kami juga akan melakukan upaya-upaya perbaikan pengelolaan operasi dan lingkungan di seluruh wilayah operasi, termasuk PT Gag Nikel dengan memastikan penerapan standar standar internasional di seluruh lini bisnis,” kata Nico.
Editor: Hendra Friana