tirto.id - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sepakat untuk mengubah strategi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya berbasis utang menjadi pendapatan. Melalui perubahan strategi ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah diharapkan bisa mencapai 7-8 persen.
Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah, dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026, mengatakan bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah diminta untuk segera menyusun peta jalan (road map) pengelolaan utang.
Dus, keseimbangan anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dapat segera diwujudkan.
“Kami menyepakati pengubahan strategi pertumbuhan ekonomi berbasis utang menjadi strategi ekonomi berbasis pendapatan dalam jangka menengah,” ujar politikus PDIP tersebut, Selasa (23/9/2025).
Menanggapi permintaan ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa pemerintah akan tetap mengelola utang secara prudent dan menggunakan APBN sebagai instrumen kontrasiklikal. Hal tersebut, menurutnya, lebih penting alih-alih membuat peta jalan seperti diminta oleh parlemen.
Analogi rem dan gas ia gunakan demi menggambarkan tata kelola utang secara hati-hati tersebut. Ketika ekonomi Indonesia melaju kencang, dan penerimaan pajak bisa digenjot, pemerintah otomatis akan menginjak rem pembiayaan melalui penerbitan surat berharga negara (SBN).
Sebaliknya, saat ekonomi lesu dan butuh stimulus via belanja pemerintah, defisit APBN untuk membiayai pengeluaran negara bisa ditopang oleh utang. “Bijak dan kontrasiklikal dalam hal ini penting,” kata Purbaya dalam konferensi pers usai Rapat Paripurna.
Karena itu, Bendahara Negara menilai bahwa batas-batas utang tak seharusnya diurus secara kaku. Sebaliknya, strategi pembiayaan APBN sudah seharusnya terotomatisasi dengan didasarkan pada kondisi perekonomian nasional.
“Tapi kalau saya lihat ke depan, harusnya kita nggak akan terpaksa menambah utang lebih. Karena saya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat, sehingga dengan kondisi yang sama, dengan APBN yang sama, saya akan mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan pendapatan yang lebih tinggi,” tutur Purbaya.
Purbaya juga menggarisbawahi bahwa strategi menggenjot pertumbuhan tanpa utang baru memungkinkan untuk dimulai pada 2207. Sebab, ia perlu memastikan bahwa kinerja perekonomian tahun depan berjalan dengan baik—melalui data perkembangan Produk Domestik Bruto semester I 2026 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Dengan acuan itu lah, Purbaya baru bisa menentukan perlu tidaknya penambahan utang untuk menjalankan APBN 2027. “Jadi harusnya saya tidak akan menambah utang terlalu besar. Mungkin saya pikirkan, ada kemungkinan, tidak akan sebesar yang ada di bagian... nanti kita lihat semester di tahun depan, gimana realisasi pertumbuhan ekonominya,” ujar dia.
Bagaimana pun, strategi mengerem utang dan menjadikan pendapatan negara sebagai basis penggerak ekonomi memang kebutuhan mendesak. Terlebih, ruang fiskal pemerintah kian sempit imbas kenaikan beban bunga utang.
Tahun ini saja, pemerintah telah membayar bunga utang mencapai Rp541,5 triliun per Agustus 2025—berdasarkan laporan APBN KiTA. Pada saat bersamaan, pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp463,7 triliun atau 59,8 persen dari outlook senilai Rp715,5 triliun. Artinya, praktik "gali lubang tutup lubang" diterapkan agar APBN tetap punya ruang mengongkosi pemerintahan.
Sedangkan di tahun depan, melalui Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2026, diketahui bahwa pemerintah berencana menarik utang baru senilai Rp781,87 triliun yang akan dipenuhi melalui penerbitan SBN dan pinjaman.
Secara terperinci, pembiayaan utang dari SBN mencapai Rp749,19 triliun, naik jika dibandingkan outlook 2025. Kemudian, pembiayaan pinjaman (neto) pada 2026 direncanakan sebesar Rp32,67 triliun atau turun 74,9 persen dibandingkan outlook 2025.
"Pinjaman neto tersebut akan dipenuhi melalui pinjaman dalam negeri neto sebesar negatif Rp6.535,5 miliar (Rp6,53 triliun) dan pinjaman luar negeri neto sebesar Rp39.210,6 miliar (Rp39,21 triliun)," tulis pemerintah dalam nota keuangan.
Rencana penarikan utang baru itu terus mengalami kenaikan sejak 2023, di mana kala itu pemerintah menarik utang sebesar Rp404 triliun. Meski begitu, total rencana penarikan utang di tahun depan masih jauh lebih kecil dibanding realisasi penarikan utang yang dilakukan pemerintah pasca pagebluk, tepatnya di 2021 yang senilai Rp870,5 triliun.
Dengan kondisi tersebut, wajar jika Purbaya enggan buru-buru menyetop utang. Yang paling penting, menurutnya, adalah mengurangi ketergantungan dengan mengelola anggaran secara benar. Salah satunya, dengan mengefisienkan kinerja perpajakan. Apalagi, di balik pertumbuhan ekonomi yang tercipta nantinya, akan ada penerimaan pajak yang turut terdongkrak.
“Kalau saya enggak salah hitung, setiap tumbuh tambahan 1 persen ekonomi, saya dapat tambahan income sekitar Rp220 triliun atau lebih. Jadi itu yang kita kejar. Kalau tambah 0,5 persen, income saya tambah Rp110 triliun,” ucapnya.
Meski begitu, jika Indonesia harus menghadapi krisis ekonomi, seperti yang terjadi saat Pandemi Covid-19, melanggar batas utang yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Keuangan Negara sebesar 60 persen terhadap PDB dan defisit tidak lebih tinggi dari 3 persen menjadi tidak masalah. Apalagi, penetapan batas utang dan defisit tersebut hanya didasarkan pada praktik umum dari banyak negara di dunia, tidak ada dasar hitungan ekonomi khusus.
“Kita butuh stabilitas makroekonomi dan sosial politik untuk memiliki pertumbuhan yang lebih cepat. Untuk memiliki ruang bagi ekonomi untuk tumbuh lebih cepat. Kita risiko lebih sedikit sekarang, nggak apa-apa. Tetap masih di bawah 3 persen. Kita jaga di bawah 3 persen. Jadi masih amat prudent,” kata Purbaya yakin.
Reformasi Pos Penerimaan
Kepada Tirto, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menuturkan jika pemerintah bermanuver mengubah strategi ekonomi menjadi berbasis pendapatan, harus ada reformasi penerimaan negara yang signifikan. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah masih cenderung seperti ‘berburu di kebun binantang’ dalam hal pengumpulan penerimaan pajak, dengan lebih banyak mengandalkan pajak konsumsi yang regresif seperti pajak pertambahan nilai (PPN).Kondisi ini lantas membuat rasio pajak (tax ratio) Indonesia terus berada dalam tren penurunan. Pada kuartal I 2025, rasio pajak Indonesia hanya sebesar 7,95 persen, merosot dibandingkan kinerja tahun 2024 yang masih sebesar 10,8 persen. Tidak hanya itu, rasio pajak tersebut bahkan terpaut jauh dari yang ditargetkan pemerintah, sebesar 23 persen.
“Problemnya dirjen pajak masih (bekerja secara) business as usual, mengejar wajib pajak yang sama, (karena itu) tax basis-nya harus diperluas,” kata Bhima, Selasa (23/9/2025).
Mengubah strategi ekonomi menjadi berbasis pendapatan bukan hal yang mustahil. Sebab, berdasarkan hitungan Celios, ada potensi penerimaan pajak sekitar Rp524 triliun per tahun jika pemerintah keluar dari cara-cara konvensional dan memperluas basis pajak.
“Ada potensi per tahun Rp524 triliun identifikasi penerimaan negara dari studi Celios. Artinya tidak perlu tambah utang baru Rp524 triliun per tahun,” tambahnya.
Untuk saat ini, kala kinerja industri masih mengalami moderasi dan bahkan cenderung mengarah pada deindustrialisasi, penerimaan pajak menjadi mesin utama yang bisa diandalkan pemerintah untuk menggeber pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari hitungan Bhima, industri hanya mampu menyumbang 27 persen ke penerimaan pajak. Karena itu, untuk mengoptimalkan pendapatan negara yang di tahun depan di target Rp3.153,58 triliun—berasal dari penerimaan perpajakan senilai Rp2.693,71 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp459,2 triliun dan hibah Rp0,66 triliun, harus ada extra effort atau upaya lebih keras yang dilakukan.
Selain ekstensifikasi, lubang-lubang yang ada di berbagai sektor industri, khususnya yang berbasis sumber daya alam (SDA) juga harus segera ditutup untuk mengerek penerimaan pajak. Lubang yang menyebabkan kebocoran ini kerap muncul melalui praktik under invoicing, dan diprediksi telah menyebabkan kerugian negara hingga ribuan triliun dalam sepuluh tahun terakhir.
Bhima mencontohkan, dalam ekspor cacah kayu, terdapat selisih data ekspor yang sangat signifikan pada perdagangan antara Indonesia dan Jepang dari 2012-2023.
Pada produk wood chips (HS440122), secara volume selisih impor tercatat mencapai 3,04 juta ton. Sementara selisih nilai transaksi mencapai 153,9 juta dolar Amerika Serikat (AS). Pada produk wood pellets (HS440131), terdapat selisih volume sebesar 19.547 ton, dengan selisih nilai sebesar 5,1 juta dolar AS.
“Karena sektor SDA selama ini banyak lubang pajaknya, under invoicing dan underreporting,” tutur Bhima. “Itu semua solusi sisi pendapatan tinggal pemerintah mau jalankan kapan,” tukasnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































