Menuju konten utama

Menakar Efektivitas Tanggul Laut Raksasa Berbiaya Triliunan

Apakah proyek Giant Sea Wall efektif mengatasi turunnya permukaan tanah dan mencegah banjir rob di wilayah pesisir? Simak selengkapnya.

Menakar Efektivitas Tanggul Laut Raksasa Berbiaya Triliunan
Foto udara permukiman nelayan yang dilindungi tanggul laut di Kawasan Kampung Bahari Tambaklorok, Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/11/2025). ANTARA FOTO/Aji Styawan/bar

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto memastikan megaproyek Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa akan mulai terealisasi. Kamis pekan lalu di perhelatan International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di JCC Senayan, Jakarta, Prabowo menegaskan tanggul laut raksasa akan menjadi solusi pencegah abrasi dan banjir rob di wilayah pesisir utara Jawa dan Jakarta. Prabowo memproyeksikan tanggul laut raksasa akan membentang sepanjang 500 kilometer di pantai utara Jawa, dari Banten hingga Gresik, Jawa Timur.

Proyek jumbo ini diperkirakan menghabiskan dana sebesar 80 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.280 triliun. Dalam kesempatan itu, Prabowo mengklaim wacana pembangunan Giant Sea Wall sudah dibahas di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sejak 1995 silam.

Menurut rencana, pembangunan tanggul raksasa ini diperkirakan memerlukan waktu 15-20 tahun. Prabowo juga akan segera membentuk tim khusus yang dinamakan Badan Otorita Tanggul Laut Pantura Jawa.

“Saya tidak tahu Presiden mana yang akan menyelesaikan. Tapi, kita harus mulai,” kata Prabowo di ICI 2025 di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Presiden Prabowo sampaikan paparan pada ICI 2025

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan paparannya pada International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di JICC, Senayan, Jakarta, Kamis (12/6/2025). Presiden Prabowo selain menyampikan paparannya juga sekaligus menutup secara resmi acara tersebut. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.

Selain menyasar pesisir utara Jawa, Prabowo juga menembak Pemprov Jakarta untuk mulai berpartisipasi dalam megaproyek tanggul laut. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyebut pemerintah Jakarta perlu mengeluarkan anggaran minimal sebesar Rp5 triliun setiap tahunnya untuk pembangunan proyek tanggul laut raksasa. Diperkirakan, untuk tanggul di sekitar Teluk Jakarta saja, biayanya mencapai 8 miliar dolar AS atau Rp128 triliun.

Rencana Pramono, salah satu dana pembangunannya akan menggunakan sebagian dari revenue atau pendapatan yang diperoleh dari hasil mengolah sampah menjadi plastik atau melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

“Jakarta sebelumnya, di era pemerintahan sebelumnya dapat bagian 12 kilometer. Kemarin mendapat tambahan 7 kilometer, sehingga total adalah 19 kilometer,” tutur Pramono di Graha Bhakti Budaya,Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (15/6/2025).

Rencana proyek pembangunan tanggul laut raksasa di wilayah pesisir Pantura sebetulnya sudah menguat sejak era Presiden Joko Widodo. Hal itu sempat disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, awal Januari 2024. Menurut Airlangga, pembangunan tanggul laut raksasa akan menjadi jawaban atas ancaman banjir rob dan penurunan muka tanah atau land subsidence di wilayah utara Pulau Jawa.

Banjir rob di pesisir utara Jawa diprediksi berdampak pada 70 kawasan industri, 5 kawasan ekonomi khusus (KEK), 28 kawasan peruntukan industri, 5 wilayah pusat pertumbuhan industri, dan mengancam 50 juta penduduk Pantura Jawa. Pada saat itu, tanggul laut raksasa masuk menjadi salah satu proyek strategis nasional (PSN).

Efektifkah Giant Sea Wall?

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, meragukan efektivitas pembangunan proyek tanggul laut raksasa. Menurut Susan, wacana pendirian proyek tanggul laut raksasa dari Banten hingga Gresik terkesan sangat dipaksakan. Alasan pembangunan tanggul laut juga dianggap tidak tepat sasaran menjawab masalah yang ingin diselesaikan.

“Kita harus melihat bahwa penurunan permukaan tanah bukan soal air laut yang semakin tinggi. Tetapi konversi lahan di darat yang dulunya misalkan persawahan ata RTH dia beralih berubah menjadi mall atau apartemen,” ucap Susan kepada wartawan Tirto, Selasa (17/6/2025).

Menurutnya, penting digarisbawahi bahwa penurunan muka tanah terjadi bukan cuma imbas dari krisis iklim, tetapi juga dampak dari kesalahan tata kelola ruang hidup. Selain itu, Susan melihat pembangunan tanggul laut raksasa dari Banten hingga Gresik malah dipukul rata tanpa kajian mendalam.

Khawatirnya, megaproyek dengan dana jumbo ini cuma menjadi siasat untuk menjaring dana untuk ‘bancakan’ sejumlah pihak. Apalagi, efektivitas tanggul laut raksasa di pesisir Pantura semakin dipertanyakan dengan dibentuknya banda otorita sendiri. Tentu selain akan menambah porsi anggaran, pengelolaan badan otorita khusus proyek tanggul laut ini rawan menjadi sekadar bagi-bagi jabatan.

MEMANCING DI TANGGUL LAUT MUARA BARU

Warga menyiapkan peralatan pancing di atas Tanggul Laut di kawasan Muara Baru, Jakarta, Jumat (22/6/2018). Tanggul Laut di kawasan pesisir Jakarta selain berfungsi melindungi pesisir Jakarta dari Abrasi juga sering dimanfaatkan warga untuk memancing. tirto.id/Arimacs Wilander

Dampak bagi lingkungan dan sosial-ekonomi warga pesisir yang berprofesi sebagai nelayan juga serius. Susan menilai, tanggul laut raksasa sepanjang lebih dari 500 kilometer itu akan membatasi ruang gerak nelayan dalam mencari ikan. Selain itu, pembangunan proyek jumbo itu juga akan membutuhkan pasir laut dalam jumlah besar.

“Artinya perusakannya akan berganda, baik di daerah yang ditimbun maupun yang diambil materialnya untuk kegiatan penimbunan. Jadi kerusakannya di dua tempat,” tutur Susan.

Sementara itu, Armen Zulham dalam artikel ilmiah bertajuk “Pembangunan Giant Sea Wall: Bermanfaatkah bagi Masyarakat Perikanan?” (2014) menyatakan proyek pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta diprediksi akan memberi dampak negatif kepada pelaku usaha perikanan, karena mereka kehilangan akses terhadap sumberdaya, perairan, lahan pesisir dan perdagangan.

Selain itu, pembangunan Giant Sea Wall mendorong terjadinya perubahan relasi pada aspek sosial dan kelembagaan pada berbagai pelaku usaha. Perubahan terjadi juga dari aspek ekonomi, terkait dengan struktur dan sumber pendapatan, input dan output produksi, struktur pasar dan tenaga kerja, penguasaan aset produksi, modal dan investasi.

Pada aspek budaya, tulis Armen, juga terjadi pergeseran relasi dalam masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya, akses terhadap sumber modal, dan strategi menembus pasar.

Dalam keterang pers WALHI tahun lalu, mereka menilai bahwa pembangunan Giant Sea Wall tidak bisa menjadi solusi dari penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa. Sebaliknya, proyek ambisius tanggul laut raksasa akan mempercepat kepunahan dari keanekaragaman hayati yang ada di perairan pulau Jawa bagian utara.

Pasalnya, proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pada 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengestimasi kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk Jakarta sebanyak 388,2 juta meter kubik. Apalagi jika diperlukan untuk kebutuhan sepanjang pesisir utara Jawa. Proyek ini juga dikhawatirkan mempercepat kehancuran ekosistem mangrove yang terus terjadi di pesisir Pantura.

Proyek tanggul laut raksasa juga mendapatkan penolakan dari masyarakat. Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW-I) pada April 2025 lalu merilis survei persepsi masyarakat Jakarta terkait rencana pembangunan Giant Sea Wall di Jakarta. Hasilnya, mayoritas responden atau sebanyak 56,2 persen tidak setuju pembangunan Giant Sea Wall.

Penolakan tersebut didasarkan pada kekhawatiran akan dampak ekologis, seperti rusaknya ekosistem pesisir, terganggunya penghidupan nelayan, dan potensi penggusuran pemukiman. Sementara, 43,8 persen responden mendukung proyek itu dengan alasan perlindungan dari banjir rob dan penguatan ketahanan wilayah pesisir.

Human Rights Manager DFW-I, Luthfian Haekal, menyatakan bahwa tanggul laut raksasa tak tepat menjadi jawaban atas penurunan muka tanah. Pasalnya, fenomena tersebut muncul imbas eksploitasi air yang terus terjadi. Menyitir survei DFW-I, menurut Luthfian solusi yang diharapkan masyarakat atas permasalahan tersebut justru pemerintah berani untuk melakukan moratorium pembangunan.

Terhadap nelayan, Luthfian memandang proyek ini menambah kerentanan mereka karena akan semakin membuat wilayah tangkapan ikan semakin jauh dari bibir pantai. Termasuk potensi relokasi warga yang terdampak pembangunan tanggul laut raksasa.

Giant Sea Wall dengan uang segitu itu mending dialihkan ke program-program kesejahteraan yang seperti tadi entah di sektor pendidikan atau sektor-sektor yang menambah lapangan kerja. Karena lapangan kerja di Indonesia untuk tahun ini memang sulit,” ujar Luthfian kepada wartawan Tirto, Selasa (17/6/2025).

Renang di Pantai Cilincing

Anak-anak bermain air di sekitar proyek tanggul raksasa di kawasan Cilincing, Jakarta, Senin (20/11/2017). tirto.id/Andrey Gromico

Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim sekaligus dosen dari Universitas Trilogi Jakarta, Muhamad Karim, menyatakan bahwa proyek Giant Sea Wall belum tentu efektif mengatasi turunnya permukaan tanah dan mencegah banjir rob di pesisir Jakarta serta pesisir utara Jawa. Pasalnya proyek ini menyebabkan dampak yang kompleks.

Pembangunan tembok raksasa menyebabkan perubahan muka oseanografi perairan pesisir Jakarta dan Pantai utara Jawa. Kelak terjadi perubahan pola arus, pasang surut dan gelombang di wilayah pesisir.

Terlebih, pesisir Jakarta dan Pantura juga bermuara pada sungai-sungai besar sehingga terjadinya perubahan dinamika oseanografi akan menimbulkan sedimentasi dan merubah batimetri di wilayah pesisir Jakarta dan Pantai utara Jawa.

“Oleh karena itu tidak ada jaminan bagi perlindungan wilayah pesisir Jakarta dan Pantai utara Jawa dengan pembangunan infrastruktur fisik semacam ini,” kata dia kepada wartawan Tirto, Selasa.

Secara ekologi pembangunan Giant Sea Wall dipastikan akan mempengaruhi “metabolisme alam” di wilayah pesisir Jakarta dan Pantai utara Jawa. Karena di Teluk Jakarta terdapat pulau-pulau kecil yang juga memiliki ekosistem khas wilayah pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan padang lamun.

Giant Sea Wall jelas akan menyebabkan ekosistem khas wilayah pesisir seperti mangrove, dan lamun terganggu karena perubahan pola arus, gelombang dan pasang surut,” tambah dia.

Baca juga artikel terkait GIANT SEA WALL atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang