Menuju konten utama

Api Konflik Israel-Iran Kian Membara, Dunia Menanti Kedamaian

Saling balas-membalas serangan Iran dan Israel terus berlangsung hingga akhir pekan dan awal pekan ini. Simak selengkapnya.

Api Konflik Israel-Iran Kian Membara, Dunia Menanti Kedamaian
Petugas tanggap darurat bekerja di samping bangunan yang rusak setelah serangan rudal Iran di kota Bat Yam, Israel, sebelah selatan Tel Aviv, pada dini hari tanggal 15 Juni 2025. Sirene dan ledakan serangan udara terdengar di Yerusalem dan Tel Aviv pada dini hari tanggal 15 Juni, kata wartawan AFP, saat Israel dan Iran saling tembak untuk hari ketiga. (Foto oleh Jack GUEZ / AFP)

tirto.id - Baku serang antara Israel dan Iran masih terus berlangsung secara intensif hingga Senin (16/6/2025). Empat hari sejak serangan kejutan Israel di jantung kota Iran, Teheran, dan lokasi lainnya pada Jumat (13/6/2025), jalan keluar konflik kedua negara bersenjata canggih ini masih teramat buram. Alhasil, dunia bakal menyaksikan peperangan yang akan memakan banyak korban jiwa dari warga sipil.

Seruan dan upaya diplomasi yang digaungkan negara-negara di dunia turut diabaikan. Hal ini semakin diperparah apabila sekutu dan proksi kedua negara terlibat langsung dalam pusaran konflik. Sebagaimana Amerika Serikat (AS), sebagai sekutu kental Israel, saat ini masih terlihat menahan diri untuk tidak terlibat secara langsung.

Serangan Israel pada Jumat pekan lalu yang dinamai “Operasi Singa Bangkit” mengarah ke 100 target di seluruh Iran. Serangan itu mengerahkan lebih dari 200 pesawat tempur yang menjatuhkan sedikitnya 330 amunisi. Israel menyebut serangan kejutan ini sebagai bentuk preemptive strike atau metode pencegahan karena Iran mengembangkan senjata nuklir.

Tindakan Israel tersebut memang mengincar sejumlah ilmuwan nuklir ternama dan petinggi pemerintahan. Beberapa orang penting Iran tewas. Seperti Komandan Garda Revolusi Iran (IRGC), Hossein Salami dan Mohammad Bagheri, hingga ilmuwan nuklir ternama Fereydoon Abbasi dan Mohammad Mehdi Tehranchi.

Serangan Isarel ke Iran

Foto selebaran yang dirilis oleh saluran Telegram resmi Korps Garda Revolusi (IRGC) Iran, Sepah News, pada 13 Juni 2025 dilaporkan menunjukkan asap mengepul dari lokasi yang menjadi sasaran serangan Israel di ibu kota Iran, Teheran, pada dini hari. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam sebuah pernyataan video pada dini hari tanggal 13 Juni bahwa Israel melakukan serangan terhadap Iran dan operasi militer terhadap republik Islam itu akan 'berlanjut selama beberapa hari yang diperlukan'. (Foto oleh SEPAH NEWS / AFP)

Tak berselang lama, Jumat malam pekan lalu, Iran meluncurkan serangan balasan besar-besaran ke Israel. Terdiri dari 150 rudal balistik dan 100 drone ke berbagai wilayah Israel. Target utama serangan ini adalah instalasi militer dan fasilitas intelijen Israel. Namun sebagaimana serangan Israel, beberapa rudal Iran juga menimpa pemukiman sipil. Upaya Israel menangkis dengan kecanggihan Iron Dome tampak belum maksimal karena beberapa rudal Iran berhasil menembus dalam kecepatan kilat.

Saling balas-membalas serangan itu terus berlangsung hingga akhir pekan dan awal pekan ini. Menurut catatan Al Jazeera, serangan Israel ke Iran menewaskan 224 orang sejauh ini, dengan 1.200 orang terluka. Dari sisi Israel, serangan dari Iran menewaskan setidaknya 18 orang dengan ratusan warga mengalami luka-luka.

Menurut konsultan di Chatham House, Yossi Mekelberg, sebagaimana dilansir Al Jazeera, dalam konflik ini Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengejar sejumlah tujuan. Utamanya adalah menargetkan kemampuan nuklir dan mengurangi pengaruh regional Iran.

Di sisi lain, meskipun Menteri Luar Negeri, Israel Gideon Saar, membantah bahwa perubahan rezim atau penggulingan pemerintah Iran bukanlah salah satu tujuan Israel kali ini. Konflik saat ini membantu Netanyahu menunda persidangan dugaan korupsinya untuk waktu yang tidak terbatas.

"Dalam beberapa minggu terakhir, dia memberikan bukti dalam persidangan korupsinya dan diperiksa ulang oleh jaksa," kata analis tersebut.

Netanyahu mengatakan pada sebuah konferensi pers pada Senin (16/6/2025) malam, meskipun Israel tidak berusaha menggulingkan rezim Iran, ia tidak akan terkejut jika hal itu terjadi. Dia menambahkan bahwa Israel sedang menyingkirkan kepemimpinan militer Iran satu demi satu.

Ia juga memamerkan bahwa, aksi Israel setidaknya tampak diketahui Amerika Serikat. Hal ini terlihat saat Netanyahu turut berkata bahwa Israel sudah terkoordinasi dengan baik dengan AS sejak memulai kampanye melawan Iran. Ia menambahkan bahwa setiap hari rajin bertukar kontak dengan Presiden AS, Donald Trump.

Netanyahu juga mengatakan bahwa serangan Israel telah memundurkan program nuklir Iran untuk waktu yang sangat lama. Namun, ia tidak memberikan rincian untuk mendukung klaim tersebut.

"Kami sedang mengubah wajah Timur Tengah," katanya sebagaimana dilansir DW.

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, justru mengingatkan Donald Trump kemarin lewat postingan di media sosial X. Ia menyatakan bahwa hanya perlu satu panggilan telepon dari Washington untuk menghentikan pertempuran Israel-Iran. Jika Israel tak berhenti, ia menegaskan bahwa agresi Iran juga akan terus berlanjut.

"Jika Presiden Trump tulus tentang diplomasi dan tertarik untuk menghentikan perang ini, langkah selanjutnya adalah konsekuensi," kata Araghchi di X.

Berbicara kepada Tirto, Senin (16/6/2025), praktisi dan pengajar hubungan internasional sekaligus pendiri Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, menilai konflik Israel-Iran akan membuat suasana geopolitik dan ekonomi global ikut memanas. Ia menilai tindakan Israel membuat kawasan Timur Tengah menjadi tidak stabil.

Serangan Israel ke Iran

Kebakaran terjadi di depot minyak Shahran, sebelah barat laut Teheran, pada tanggal 15 Juni 2025. Israel dan Iran saling tembak pada tanggal 14 Juni, sehari setelah Israel melancarkan serangan udara yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menurut Iran telah menghantam fasilitas nuklirnya, 'menewaskan' komandan tinggi, dan menewaskan puluhan warga sipil. (Foto oleh ATTA KENARE / AFP)

Operasi militer Israel kali ini juga dinilai berkaitan erat dengan popularitas Netanyahu yang merosot di negerinya. Padahal, Oktober 2025 mendatang, Israel akan melaksanakan pemilihan umum dan Netanyahu diproyeksikan akan kembali berpartisipasi.

“Itu adalah satu cara untuk menunjukkan bahwa dengan eksistensinya Netanyahu di kebijakan luar negeri, Israel semakin luas pengaruhnya di kawasan, minimal itu,” ucap Dinna kepada wartawan Tirto.

Dari sisi geopolitik, tindakan Israel tampaknya semakin berani mengambil keputusan tanpa persetujuan atau komunikasi dengan AS. Meskipun AS sendiri amat diragukan, menurut Dinna, tidak tahu-menahu terkait operasi militer Israel di Iran saat ini.

Namun, apabila benar Israel mengambil keputusan sendiri, dari segi otonomi mereka dapat mengambil langkah yang sangat destruktif untuk kepentingannya. Dengan begitu, AS hanya tinggal bilang mereka tidak terlibat dan tidak tahu-menahu langkah Israel.

“Itu sangat buruk untuk stabilitas dunia,” ucap Dinna.

Donald Trump dalam cuitan di X pribadinya, mendorong Iran untuk melunak menanggapi serangan Israel. Sementara dalam postingan pribadi Trump di platform Truth Social pada hari Minggu, Trump menyampaikan bahwa: "Iran dan Israel harus membuat kesepakatan, dan akan membuat kesepakatan, seperti yang saya lakukan dengan India dan Pakistan.”

Peta Konflik yang Mungkin Terjadi

Sementara itu, Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai Israel memulai serangan ke Iran sebagai bentuk preemptive strike yang selama ini menjadi doktrin keamanan utama mereka. Doktrin itu berarti upaya mencegah ancaman sebelum menjadi kenyataan.

“Bagi Israel, Iran yang memiliki senjata nuklir bukan hanya risiko keamanan nasional, tapi juga ancaman eksistensial,” ucap Fahmi kepada Tirto, Senin.

Laporan intelijen Israel menyebut Iran memiliki cadangan uranium yang diperkaya pada level mendekati 90 persen atau setara ambang batas senjata nuklir. Jika dibiarkan dari sisi Israel, kata Fahmi, dalam hitungan minggu atau bulan Iran dapat membuat senjata nuklir pertama.

Tindakan Israel ini yang disebut sebagai point of no return, saat diplomasi tidak lagi bisa mencegah konsekuensi militer strategis. Bagi Israel yang sejak lama menolak kemungkinan senjata nuklir Iran, ini menjadi momentum terakhir bagi mereka untuk mengambil tindakan secara sepihak (unilaterally).

Kekhawatiran konflik semakin meluas dan menyeret negara sekutu dipandang beralasan. Sebab perseteruan Iran-Israel bukan konflik dua negara terisolasi, melainkan konflik yang berdampak sistemik karena melibatkan jaringan aliansi, milisi proksi, dan kepentingan negara-negara besar.

Iran punya arsenal proksi yang tersebar luas: Hizbullah di Lebanon, milisi Hashd al-Shaabi di Irak, Houthi di Yaman, serta pengaruh kuat di Suriah. Sementara Israel, meskipun bertindak sendiri dalam operasi ini, didukung secara teknologi dan logistik oleh Amerika Serikat.

“Jika Iran membalas dengan menyerang pangkalan militer AS atau sekutu-sekutunya, maka Amerika bisa masuk langsung ke medan konflik,” ucap Fahmi.

Apabila Iran menggunakan jalur proksi menyerang Israel dari banyak front: utara (Lebanon), timur (Irak), dan selatan (Yaman), maka Israel kemungkinan merespons dengan menyerang negara-negara tempat milisi itu beroperasi. Hal ini bisa menjadikan perang terbuka yang melibatkan lebih dari lima negara di kawasan.

Selain itu, dampaknya bisa melebar secara ekonomi dan logistik. Selat Hormuz adalah jalur 20 persen ekspor minyak dunia. Jika Iran mengganggu pelayaran di sana, harga minyak akan melonjak tajam yang membuat inflasi global memburuk, dan negara-negara pengimpor seperti Indonesia bisa terdampak langsung.

“Artinya, konflik ini punya potensi besar menjadi perang regional berskala besar yang bisa menyeret negara-negara Teluk, AS, bahkan NATO, jika tidak dikendalikan cepat,” lanjut Fahmi.

Ada ironi lain dalam konflik ini, Fahmi menilai semakin canggih taktik dan persenjataan yang digunakan, semakin tinggi pula potensi kerusakan tidak langsung dan eksposur warga sipil terhadap bahaya akibat konflik.

Israel selama ini mengandalkan superioritas intelijen dan teknologi serangan presisi. Mulai dari operasi Mossad, serangan siber, hingga drone pengintai. Mereka menyerang titik-titik yang diklaim “bersih”, seperti fasilitas militer, pusat nuklir, dan rumah-rumah petinggi IRGC.

Tapi dalam realitas urban seperti Teheran, perbedaan antara target militer dan sipil sangat tipis. Misalnya, banyak juga pejabat militer tinggal di kompleks pemukiman padat sehingga ledakan merembet ke rumah warga sipil.

Sebaliknya, Iran mengandalkan rudal balistik, drone kamikaze, dan sistem proksi, yang tidak selalu punya akurasi tinggi. Balasan Iran berpotensi menghantam wilayah sipil di Israel atau bahkan negara tetangga yang dianggap bersekutu dengan Israel. Apalagi ketika intersepsi gagal mencegat sepenuhnya, kerusakan sipil tentu terjadi dalam skala besar.

Adu taktik ini tak menutup kemungkinan meluas ke ranah perang informasi dan siber, yang dampaknya dirasakan langsung warga. Gangguan jaringan listrik, sistem perbankan, hingga transportasi sipil adalah target empuk.

“Belum lagi trauma psikologis akibat serangan udara mendadak dan kekhawatiran terus-menerus yang menyelimuti masyarakat. Jadi dalam konflik terbuka Israel-Iran ini, warga sipil bukan lagi korban samping, tapi justru berada di tengah-tengah medan tempur,” tegas Fahmi.

Namun, ini bukan pertama kalinya Israel bergumul dalam konflik tanpa strategi jalan keluar yang jelas. Perang yang sedang berlangsung di Gaza, yang diluncurkan Israel 2023 usai serangan 7 Oktober, mulanya bertujuan menghancurkan Hamas dan mengutamakan pembebasan semua sandera yang ditahan. Belakangan, gempuran Israel ke Palestina justru menjadi lapangan pembantaian terhadap 17 ribu lebih anak-anak dari total korban jiwa mencapai 55.432 orang sampai 9 Juni 2025.

Konflik Israel-Iran kali ini berpeluang bernasib sama karena sampai saat ini tak ada rencana yang jelas atas tujuan dan langkah selanjutnya dari Israel. Sebaliknya, warga sipil di kedua negara dihadapkan potensi perang yang berbahaya dan tanpa batas waktu serta ujung yang jelas.

Baca juga artikel terkait ISRAEL VS IRAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang