Menuju konten utama

Membantah Label Perusak Mental yang Melekat pada Musik Metal

Musik metal terus-menerus digerus oleh stigma. Musik keras, lirik banal, dan gaya penampilan eksentrik, kerap diasosiasikan dengan perilaku destruktif.

Membantah Label Perusak Mental yang Melekat pada Musik Metal
Ilustrasi stigma musik metal. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sedari awal kelahirannya hingga sekarang, musik metal tak pernah pernah jauh dari kontroversi dan stigma. Ia selalu dikaitkan dengan gejala-gejala sosial negatif dan peristiwa yang terjadi pada penggemarnya. Musik yang keras dan lirik yang vulgar dianggap menjadi pemicu tindakan kekerasan, baik kepada orang lain, fasilitas umum, ataupun diri sendiri.

Pada Agustus 2024 lalu di Nganjuk, seorang pemuda berusia 21 tahun bunuh diri dengan menenggak kopi yang dicampur potas. Media mengaitkan peristiwa tragis itu dengan depresi akibat mendengarkan musik black metal, subgenre metal yang merupakan gabungan dari trash metal dan death metal. Lirik lagu black metal, yang banyak mengangkat tema kematian, secara banal memang sangat gampang dikait-kaitkan dengan kematian pemuda tersebut.

Berita bunuh diri pemuda Nganjuk tersebut menambah catatan panjang stereotipe negatif pada musik metal.

Jauh sebelum itu, lagu Ozzy Osbourne berjudul "Suicide Solution" pernah dianggap sebagai pemicu bunuh diri John McCollum pada 1984. Ada pula band Judas Priest yang dipersalahkan atas tindakan percobaan bunuh diri Raymond Belknap (18 tahun) dan James Vance (20 tahun) pada 1985. Lima tahun setelahnya, orang tua dari Belknap dan Vance menuntut Judas Priest di persidangan karena menganggap ada pesan tersembunyi untuk mendorong perilaku bunuh diri dalam lagu-lagunya.

Namun, apakah benar kejadian itu semua disebabkan oleh musik metal? Apakah mendengarkan musik metal menyebabkan depresi atau gangguan pada otak? Apakah musik metal memang semerusak itu?

Stereotipe dan Kepanikan Moral

Mempersalahkan musik metal memang sangat mudah. Ambil saja semua ciri-ciri "nyeleneh" yang ada pada musiknya: keras, cepat, bising, dan "tak beraturan". Labeli juga lirik musiknya yang sangat kasar, vulgar, dan terkesan horor. Kalau masih kurang, ambil stereotipe penampilan anggota band maupun para penggemarnya: kaus hitam, celana jin sobek, rantai, tindik, gelang, kalung, dan tak jarang bertato, karakteristik yang renyah untuk menerima stigma sebagai kriminal ataupun orang jahat.

Karakter musik dan penampilan yang sangat eksentrik itu memantik terjadinya kepanikan moral. Perkembangan musik metal yang cenderung cepat di telinga generasi muda di berbagai belahan dunia memantik reaksi dari generasi tua, media, bahkan negara, yang cenderung mendiskreditkan dan menyalahkan mereka atas segala kerusakan moral yang ada.

Fajar Junaedi dalam artikel jurnal "Melacak Ideologi di Balik Gemuruh 'Heavy Metal"' 2008 menyatakan, pada 1985, pemerintah federal AS sampai repot-repot membentuk PMRC (Parents Music Resource Center) sebagai respons atas populernya musik-musik metal dan genre lain yang bertema kekerasan, seks, dan minuman beralkohol. Didukung parlemen, mereka mulai melarang peredaran beberapa karya musik, termasuk grup band Judas Priest.

Di dunia Arab, musik metal bahkan dianggap sesat karena mengandung simbol-simbol yang sarat akan unsur pemujaan terhadap setan. Otterbeck dkk. dalam "'I am Satan', black metal, Islam, and blasphemy in Turkey and Saudi Arabia (2018) menyebut, masyarakat di Turki, Mesir, Lebanon, dan beberapa negara jazirah Arab lainnya, membatasi perkembangan musik metal di kalangan anak muda. Hal itu dipantik oleh media massa dan didukung oleh pemerintah yang dengan kompak melabeli metal sebagai pemicu kriminalitas, anti-agama, dan menyimpang dari moral masyarakat.

Negara-negara di Asia Tenggara juga tak luput dari kepanikan moral ini. Di Indonesia, misalnya, berbagai upaya dilakukan untuk meredam popularitas musik metal di kalangan muda-mudi, mulai dari kriminalisasi anggota grup band, razia rambut gondrong, hingga pembuatan regulasi yang rumit dan menyulitkan untuk penyelenggaraan acara konser.

Menurut Narendra & Soredjoatmodjo dalam bukunya, Heavy Metal Parents (2018), stigma buruk metal di Indonesia lekat dengan keliaran, kebrutalan, dan hal-hal destruktif. Insiden kerusuhan dan kebakaran yang terjadi saat konser Metallica di Stadion Lebak Bulus Jakarta pada 1993 seolah menjustifikasi stigma itu.

Pencinta musik metal di Malaysia juga menghadapi nasib yang sama sialnya. Mereka dianggap anti-Islam. Pada 2001, Menteri Persatuan dan Pembangunan Malaysia, Datuk Dr. Siti Zaharah Sulaiman, menyoroti kelompok yang dianggap menyebarkan filsafat anti-tuhan di kalangan remaja dan melakukan ritual okultisme. Sorotan itu cukup berpengaruh pada kelompok-kelompok penggemar musik metal di Negeri Jiran yang dianggap memunyai ciri khas serupa.

Ilustrasi stigma musik metal

Ilustrasi stigma musik metal. FOTO/iStockphoto

Namun, stigma dan represi yang menimpa tidak menyurutkan mental para pencintanya. Paparan musik metal di Indonesia dan Malaysia justru merebak luas. Hjelm dkk. dalam Heavy Metal as Controversy and Counterculture (2012) menyatakan, dua negara tersebut menjadi rumah berbagai komunitas metal, walaupun ada berbagai upaya membatasi perkembangan musik kesukaan mereka.

Bahkan, seturut catatan Cellini dalam "Some Analytical Consideration on Indonesia Metal Music" (2017), sejak 2015, Indonesia sudah memiliki 1.167 band metal yang masih aktif. Satu dekade berikutnya, pada 2025, jumlah band bergenre metal meningkat hampir dua kali lipat hingga menyentuh angka 2.113. Jumlah itu belum termasuk 599 band metal yang sudah bubar atau hiatus. Bisa dibayangkan efeknya terhadap kepanikan moral di masyarakat.

Kepanikan moral akibat musik metal di berbagai negara terang terlihat dalam film dokumenterGlobal Metal (2008) yang digarap oleh Scot McFadyen dan antropolog Sam Dunn. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga India, China, Jepang, Brazil, dan Palestina.

Kepanikan moral itu tak lepas dari perkembangan dan persebaran musik metal yang begitu cepat. Perkembanganya membawa implikasi perubahan-perubahan budaya tradisional menuju budaya baru yang mempersatukan mereka, yaitu metal. Dalam teriakan vokal yang serak, distorsi gitar yang tebal, juga beat drum yang keras dan cepat, mereka merasa memunyai satu ikatan emosional.

Musik Metal yang Dianggap Miskin Teknik

Tak jarang musik metal dipandang sebelah mata karena dianggap genre musik yang tidak perlu teknik musikal bagus untuk dapat memainkannya. Hal itu jelas tak bisa sepenuhnya dibenarkan.

Memang ada beberapa grup musik metal yang acuh tak acuh terhadap teknik formal musik mereka. Akan tetapi, mayoritas grup musik metal yang terkenal memunyai teknik khas yang tak bisa dilakukan tanpa latihan dan keseriusan. Bahkan, beberapa subgenre metal, misalnya technical death metal, “mewajibkan” semua personelnya memunyai kepekaan terhadap variasi ketukan, bisa bermain cepat sekaligus akurat.

Selain itu, subgenre grindcore dengan kecepatan metronom rata-rata 280 bpm menghasilkan teknik pukulan drum blast beat yang super cepat. Teknik tersebut masih terbagi lagi menjadi beberapa pola, seperti traditional blast, bomb blast, sandoval blast, gravity blast, dan hammer blast. Beberapa drumer metal yang memunyai teknik blast beat yang bagus adalah Joey Jordison (Slipknot), Miles Ratledge (Napalm Death), dan Jayson Sherlock (Mortification).

Permainan gitar musik metal juga memunyai ciri khas kuat. Sebut saja pinch harmonic yang menghasilkan efek “menjerit”, scrap picking yang terdengar seperti bunyi pesawat jet lepas landas, palm muting yang mempertegas beat, serta petikan melodi cepat dengan pola arpeggio ala Yngwie Malmsteen dan tapping ala Eddie Van Halen. Belum lagi teknik-teknik eksperimental seperti Tom Morello yang memainkan gitar layaknya papan disc jockey. Teknik-teknik tersebut tentunya hampir mustahil dimainkan tanpa skill dan ketekunan latihan.

Eksplorasi gitar musik metal tak lepas dari effect khusus yang menghasilkan suara distorsi yang kasar dan berat. Tak hanya berhenti di situ, beberapa gitaris metal juga sering menurunkan penyeteman gitarnya, satu atau dua nada lebih rendah dari tunning gitar standar. Flyleaf, The Haunted, dan Lamb of God, menggunakan tunning drop-D. Bahkan, band Darkest Hour, Chimaira, dan Arch Enemy, menurunkannya hingga ke drop-C untuk menghasilkan distorsi yang lebih berat.

Vokal band metal pun tidak sekadar teriak-teriak tanpa teknik jelas. Setiap subgenre metal melahirkan berbagai teknik vokal unik yang khas, seperti scream, growl, grunt, pig squelas, fry scream, false death, dan death. Teknik-teknik tersebut bisa lebih disederhanakan lagi berdasarkan cara menghasilkan suara, apakah menggetarkan pita suara dengan menarik udara ke dalam (inhale) atau melepaskan udara (exhale).

Musik Metal yang Dicap Merusak Mental

Kembali ke permasalahan awal, musik metal sering dikambinghitamkan dan dipersalahkan atas perilaku negatif yang terjadi di masyarakat. Akan sangat tidak adil jika mengamini tuduhan tersebut tanpa memperhatikan temuan-temuan riset ilmiah tentang musik metal. Mendudukkan musik metal di tempat yang lebih proporsional dan objektif sangat penting sebelum menarik kesimpulan.

Kirk Olsen dan kolega pernah melakukan riset literatur terhadap jurnal-jurnal penelitian yang membahas kekhawatiran dampak buruk musik metal, mulai dari peningkatan risiko agresi, kemarahan, perilaku antisosial, penggunaan zat adiktif, keinginan bunuh diri, kecemasan, hingga depresi. Hasil risetnya kemudian diterbitkan dalam jurnal Current Psychology Volume 42, pages 21133–21150 (2023) dengan judul artikel "Psychososial risks and benefits of exposure to heavy metal music with aggressives themes: Current theory and evidence".

Berdasarkan penelusuran Olsen, tak ada bukti kuat bahwa musik metal berkorelasi positif dengan perilaku-perilaku negatif. Sebaliknya, musik metal malah memberikan manfaat sosial dan emosional, termasuk suasana hati yang lebih baik, pembentukan identitas, dan afiliasi dengan teman sebayanya.

Temuan yang kontradiktif dengan stigma itu diperkuat oleh temuan Kyle J. Messick dan kolega, yang tercatat dalam artikel jurnal "The nontheistic sacred: The psychological functions of metal music and artefacts" (2023). Riset mereka membuktikan bahwa musik death metal justru dianggap mampu meningkatkan afek positif, perilaku prososial, menguatkan ikatan sosial, pemeliharaan suasana hati, dan kesadaran diri bagi para pendengarnya.

Ilustrasi stigma musik metal

Ilustrasi stigma musik metal. FOTO/iStockphoto

Para metal head, sebutan bagi penggemar musik metal, sering dicap sebagai orang yang urakan, suka hura-hura, serta kurang suka dengan aktivitas kognitif yang membutuhkan proses berpikir panjang dan berat. Namun, anggapan itu dibantah oleh Rodney Schmaltz dkk. melalui penelitian bertajuk "The thinking person’s music: Heavy metal and the need for cognition" (2021).

Studi yang terbit di jurnal Psychology of Music tersebut membuktikan, penggemar musik metal justru punya daya berpikir kritis yang cukup baik, tergambarkan dari skor Need for Cognition (NFC) yang lebih tinggi dibanding penggemar musik genre lainnya. NFC adalah konsep psikologis yang merujuk pada sejauh mana seseorang terdorong untuk terlibat dan menikmati aktivitas berpikir yang memerlukan usaha.

Stereotipe bahwa musik metal merusak kesehatan mental juga tak terbukti secara ilmiah. Justru sebaliknya, seturut artikel studi bertajuk "Contextualizing the mental health of metal youth: A community for social protection, identity, and musical empowerment (2018)", komunitas metal mampu menciptakan perlindungan kesehatan mental secara mandiri terhadap sesamanya.

Paula Rowe dan Bernard Guerin, yang menulis artikel jurnal tersebut, melakukan wawancara mendalam kepada 28 pemuda Australia yang mengidentifikasikan dirinya sebagai metal head. Para responden merasa, identitas dan komunitas metal mampu melindungi mereka dari masalah kesehatan mental. Identitas itu membantu mereka bertahan dari tekanan lingkungan, bahkan meringankan masalah kesehatan mental yang dialaminya.

"Para metal head mendengarkan musik saat marah justru agar bisa mengontrol kemarahannya serta meningkatkan emosi positif," demikian catatan kesimpulan penelitian Sharman dan Dingle, yang terbit di jurnal Sec. Cognitive Neuroscience (2015).

Di tengah stigma terhadap musik metal yang masih subur di masyarakat, riset-riset ilmiah tersebut bak memberikan angin segar. Metal bukanlah racun yang merusak otak. Ia justru bisa menjadi alasan untuk tetap hidup.

Dengan menjadi metal head, seseorang justru merasa diterima, dihormati, dan mendapatkan dukungan sosial. Maka itu, sangat kontradiktif apabila narasi sosial justru mengaitkan dan mencapnya sebagai penyebab bunuh diri atau perilaku destruktif lainnya. Justru sebaliknya, metal menjaga kewarasan para pendengarnya.

Terlepas dari pandangan dan tuduhan negatif yang masih ada, kini metal head punya alasan logis mengapa ia memilih musik metal dan tetap bersetia di jalan “kegelapan”. Gelap tak selalu jahat. Justru di sanalah banyak orang menemukan kekuatan, harapan, dan dukungan dalam menghadapi kehidupan yang keras. Seperti teriakan James Hetfield (Metallica) di lagu "Enter Sandman":

Exit light…

Enter night…

Take my hand…

We’re off to never-never land

Baca juga artikel terkait MUSIK METAL atau tulisan lainnya dari Kukuh Basuki Rahmat

tirto.id - Mild report
Kontributor: Kukuh Basuki Rahmat
Penulis: Kukuh Basuki Rahmat
Editor: Fadli Nasrudin