tirto.id - Arthur baru berusia 12 tahun saat sang ayah, Tom Hodgkinson, memperkenalkannya pada Red Hot Chili Peppers. Hodgkinson tak menyangka musik rock membuat putranya ketagihan sehingga dia tertarik menjelajahi jenis musik ini lebih jauh.
Usai jatuh cinta pada Red Hot Chili Peppers, pilihan Arthur jatuh pada band legendaris Inggris, The Sex Pistols. Pilihan ini membuat Hodgkinson impresif terhadap selera si anak. Pada BBC dia berkata, “Ah, ya, seleranya bagus. Dia memang anak saya!”
Kendati sama-sama menyukai rock, Hodgkinson juga mengaku Arthur tak suka jika dirinya memutar musik baroque. Bagi bocah itu, baroque tak sekeren rock. Pada usia 12 tahun pula, Arthur telah memilah jenis musik apa yang cocok di telinganya. Meski begitu, Hodgkinson tak mempermasalahkannya. Dia mengerti bahwa selera anak tak akan sepenuhnya mengikuti selera orang tua.
Menurut penelitian yang dilakukan Daniel J. Levitin, manusia membentuk selera musiknya sejak usia 14 tahun dan berhenti bereksplorasi pada usia 24 tahun. Profesor Psikologi di McGill University ini mengungkapkan hormon pertumbuhanlah yang menjadi pemicu keinginan manusia untuk bereksplorasi.
Manusia mengembangkan kesadarannya saat membentuk selera mereka sehingga selera itu pula yang kemudian menjadi identitas mereka. Dalam hal ini, musik menjadi salah satu bagian dari identitas yang tak kalah penting.
Dari penelitian yang dilakukan Cambridge University, tipe kognitif juga mempengaruhi pilihan musik seseorang. Dalam penelitian tersebut, sebanyak 4000 partisipan dinilai dari seberapa empati dan sistematisnya mereka.
David Greenberg selaku pemimpin penelitian tersebut kemudian menjelaskan bahwa semakin tinggi empati seseorang, jenis musik yang disukainya pun cenderung lembut. RnB, folk, country, latin, pop, dan jazz menjadi jenis musik yang dipilih orang-orang tersebut. Sebaliknya, partisipan dengan kecenderungan sistematis lebih menyukai musik keras seperti rock, punk, dan metal.
Hasil penelitian Greenberg juga mengungkap fakta lain tentang karakter Si Empati dan Si Sistematis. Orang dengan empati tinggi cenderung suka mendengarkan musik dengan lirik yang puitis dan membangkitkan emosi negatif.
Sebaliknya, orang yang menghargai keteraturan cenderung lebih menyukai musik yang membangkitkan emosi positif. Ini lantaran musik keras dianggap mampu membangkitkan semangat dan energi mereka.
Kecenderungan ini dimanfaatkan dengan baik oleh penyedia layanan musik daring. Masih menurut Greenberg, perusahaan-perusahaan seperti Spotify dan Apple Music menanamkan investasi yang tak sedikit dalam pengembangan algoritma. Inilah mengapa setelah beberapa kali orang membuka layanan musik daring, mereka akan diarahkan pada lagu-lagu baru yang cenderung menjadi jenis musik favorit mereka.
Sebagaimana dilansir dari Psychology Today, faktor-faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam membentuk selera musik seseorang adalah jenis kelamin, usia, serta status sosial dan ekonomi. Thomas Chamorro-Premuzicen mengatakan dengan mendengarkan musik favorit, ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan orang.
“Musik bisa meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan tugas, menstimulasi rasa ingin tahu, serta memanipulasi atau mempengaruhi emosi manusia dalam mencapai tujuan,” kata Profesor Psikologi Bisnis di University College London ini.
Penulis: Artika Sari
Editor: Yantina Debora