Menuju konten utama

Sejarah Heavy Metal: dari Perlawanan Hingga Lirik yang Penuh Amarah

Vokalis .Feast, Baskara Putra sempat mengeluarkan pernyataan kontroversi yang menyebut lagu “Peradaban”, lebih keras daripada lagu metal mana pun yang pernah mereka dengar. 

Sejarah Heavy Metal: dari Perlawanan Hingga Lirik yang Penuh Amarah
Konser Black Sabbath di Los Angeles, Amerika Serikat. FOTO/LA Times

tirto.id - Kancah musik nasional kembali ramai dengan pernyataan vokalis grup .Feast, Baskara Putra yang dianggap kontroversial dan memicu berbagai komentar setelahnya. Sebenarnya, pernyataan itu disampaikan Baskara sudah setahun lalu, namun baru ramai akhir-akhir ini.

Dalam sebuah video wawancara di Youtube, Baskara mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa lagu .Feast berjudul “Peradaban”, lebih keras daripada lagu metal mana pun yang pernah mereka dengar. Sontak, pernyataan itu langsung dibanjiri banyak komentar, yang kebanyakan bernada negatif.

Akhirnya, beberapa musisi yang menjadi punggawa grup-grup musik metal Indonesia angkat bicara. Dan .Feast langsung memberikan klarifikasi.

Melalui video di Instagram unggahan hai.online, Baskara bersama .Feast menyatakan permintaan maaf mereka atas pernyataan di video wawancara yang sebenarnya telah diunggah setahun yang lalu itu.

Pernyataan Baskara, oleh berbagai pihak, dianggap terlalu mengglorifikasi, serta menginferiorkan semangat musik metal. Lantas, jika kita berbicara dalam perspektif sejarah, sudah tepatkah klaim dari Baskara itu?

Semangat Musik Metal

Semua berawal dari Inggris, tepatnya pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Saat itu, ledakan ekonomi di negeri Elizabeth pasca-perang dunia kedua mulai berakhir.

Periode penurunan ekonomi ini berlanjut hingga awal 1980-an, yang ditandai dengan kenaikan pengangguran, inflasi, dan pemogokan buruh.

Selama masa ini, pilihan bagi kaum muda kelas pekerja di Inggris begitu terbatas, terutama di kota industri kerah biru, Birmingham.

Namun, dari kota inilah lahir sekumpulan anak muda, yang nantinya akan dihormati sebagai pionir dari genre musik paling berpengaruh hingga saat ini.

David Cope, dalam bukunya New Direction of Music (1978) menuliskan, “prospek kerja yang buntu dan sekolah yang membosankan sepertinya menginspirasi gaya musik yang penuh amarah.”

“Musik penuh amarah” yang dimaksud Cope adalah heavy metal, di mana ia menempatkan Black Sabbath, sebagai sekumpulan pemuda pekerja “yang marah”.

Ozzy Osbourne dan kolega itu, menjadi band pertama yang memperkenalkan genre musik dengan suara gitar yang terdengar lebih berat tersebut.

Suara gitar yang terdengar “lebih gelap”, memang menjadi ciri khas dari genre musik heavy metal. Hal ini sebenarnya tak lepas dari pengalaman sang gitaris, Tomy Iommi.

Saat bekerja di pabrik, ia kehilangan ujung jari-jarinya kerena kecelakaan kerja. Iommi pun melonggarkan senar pada gitarnya agar lebih mudah memainkannya, dan menyebabkan suara gitar terdengar lebih berat.

Namun, yang perlu menjadi dicatat, bukan hanya suara berat dari gitar saja yang mencirikan musik heavy metal. Lirik penuh amarah, anti-kemapanan, dan perlawanan, juga mendominasi genre ini secara khas.

Lirik Penuh Amarah

Setelah Black Sabbath memperkenalkan genre baru ini, kemudian muncul band-band yang mulai memodifikasi gaya bermusik mereka.

Dari sana, muncul Deep Purple yang memadukan gaya musik berat dengan sentuhan jaz. Atau, Judast Priest yang memainkan musik ini dengan tempo yang lebih cepat dan distorsi yang lebih panjang.

Bahkan setelah itu, bermunculan band-band hardrock yang secara musikalisasi, mereka mengadopsi gaya bermain Black Sabbath.

Hingga kini, tercatat ada banyak modifikasi dari musik heavy metal yang menghasilkan berbagai sub-genre dengan ciri khas masing-masing. Seperti thrash metal, death metal, black metal, dan sebagainya.

Namun, kendati lahir sub-genre baru, ada satu yang tak berubah dari musik metal: “semangat perlawanan dan penuh kemarahan”.

Hal ini didasari, karena heavy metal telah menjadi lebih dari sekadar sub-genre dari musik rock atau metal. Ia bertransformasi menjadi subkultur yang membuat para penggemarnya tidak hanya mendengarkan musik mereka, tetapi juga merangkul fesyen, cara berpikir, perilaku, bahasa hingga simbolisme mereka.

Dalam bukunya Heavy Metal: The Music And Its Culture (2009), Deena Weinstein berpendapat bahwa para penggemar heavy metal membentuk "komunitas pemuda eksklusif" yang menjadi sangat khas dan terpinggirkan dari masyarakat arus utama.

Komunitas heavy metal mengembangkan norma, nilai, dan perilaku mereka sendiri. "Kode keaslian," tulisnya, harus diikuti oleh grup musik lain yang mengklaim diri sebagai band heavy metal, dengan menunjukkan sikap "tidak tertarik pada daya pikat komersialisme" dan “penolakan untuk menjual".

Hal lain yang ada dalam musik metal adalah "oposisi terhadap kemapanan dan mengalineasi dari masyarakat".

Figur heavy metal menjadi citra ideal musik dan subkultur – yang meminjam istlah Weinstein – mereka “dipaksa untuk menunjukkan pengabdian total pada musik”. Seorang musisi harus menjadi "wakil yang diidealkan dari subkultur".

Lebih jauh, Weinstein berpendapat bahwa musik metal dapat dikategorikan dalam dua tema: dionysian, yang merayakan kenikmatan hidup seperti 'seks, narkoba, dan rock n' roll ', dan tema chaotic yang melibatkan banyak subjek yang lebih gelap, seperti kekacauan, ketidakadilan, dan kematian.

Loudwire bahkan pernah merilis sepuluh lagu yang menjadi simbol perlawanan dalam tajuk “Greatest Hardrock & Metal Protest Anthem”. Dua yang menarik adalah lagu "Refuse/Resist" dari Sepultura dan "Killing in the Name" dari Rage Against Mechine (RATM).

Lagu "Refuse/Resist" merepresentasikan perlawanan terhadap rezim yang sewenang-wenang. Sementara RATM, dalam karya-karyanya, selalu konsisten menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Amerika. Dari rasisme, kapitalisme, kesenjangan sosial, sampai aksi kekerasan terhadap minoritas.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MUSIK atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Musik
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto