tirto.id - Film dokumenter Global Metal (2008) yang digarap Sam Dunn dan Scott McFadyen, adalah contoh amat baik untuk menceritakan bagaimana subkultur metal menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dalam film itu, mereka mengunjungi komunitas metal di berbagai negara, seperti Brazil, India, Cina, Arab Saudi, dan Indonesia.
Uniknya, gelombang persebaran subkultur metal di berbagai tempat itu ternyata tidak hadir dalam rupa seragam. Fenomena mengglobalnya subkultur metal ini diekspresikan sesuai dengan konteks masyarakat lokal.
“Orang-orang ini tidak hanya menyerap metal dari Barat,” kata Dunn yang seorang lulusan Antropologi. “Mereka mengubahnya, menciptakan jalan baru, yang sebelumnya tidak mereka temukan dalam budaya tradisional mereka.”
Di Norwegia, beberapa personel band metal terlibat dalam aksi pembunuhan dan pembakaran gereja. Di tanah Skandinavia, black metal turut menjadi wadah untuk membangkitkan kebudayaan leluhur orang Skandinavia: tradisi Viking dan ajaran Odinisme yang tak jarang bercampur dengan agenda politik ekstremis sayap kanan.
Subkultur metal Indonesia pun mengembangkan artikulasi lokalnya sendiri. Fenomena ini dapat kita lihat di Bandung, kota pemasok band-band metal masyhur seperti Burgerkill, Jasad, Forgotten, Beside, Undergod juga Disinfected. Jika di Oslo para metalheads meleburkan metal dengan paganisme, di Bandung metal digunakan sebagai medium transmisi kebudayaan Sunda.
Antara Bandung dan Oslo
Menurut Yuka Dian Narendra, peneliti subkultur metal dari Universitas Matana di Tangerang, artikulasi lokalitas memang merupakan gejala umum dalam globalisasi.
Salah satu bentuk artikulasi lokal yang paling khas dapat dilihat pada subkultur black metal di Norwegia. Dalam studi berjudul “Setan Bukan “Satan”: Menginterpretasikan “Satan” Dalam Black Metal Dan Death Metal Indonesia” yang dipublikasikan di The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future (2012), Yuka berpendapat bahwa konteks sosial-politik menjadi faktor yang membedakan subkultur metal di masing-masing tempat.
Sejak awal, musik metal sudah sering diidentikkan dengan tema-tema gelap, mulai dari setan, kematian, sampai anti-Kristus. Namun, seperti yang ditayangkan oleh Sam Dunn dalam Metal: Headbanger’s Journey (2004), banyak musisi pionir metal 1970-an mengakui itu sebagai gimik belaka.
Relasi itu tampil berbeda ketika dipanggungkan oleh para musisi dari kancah black metal Norwegia. Musisi metal di Norwegia mengolah tema satanisme dari gelombang pertama black metal yang dibawa Venom pada 1982 menjadi tema paganisme dalam musik black metal gelombang baru Norwegia pada dekade 90-an. Seperti yang ditelaah Yuka, proses ini tidak terlepas dari konteks sosial dan politik yang ada.
Ryan Bruesnel dalam studinya yang diterbitkan di jurnal Patterns of Prejudice (2004), menjelaskan bahwa black metal di Norwegia dan banyak negara Eropa lain dipupuk sejalan dengan ekspresi ideologi ultra-kanan yang berkutat di seputar sentimen primordial seperti ras dan bangsa. Buntutnya adalah kemunculan gelombang black metal lain di dekade 1990-an yang dikenal dengan National Socialist Black Metal(NSBM). Secara politis, NSBM banyak membicarakan tema-tema khas ekstremis sayap kanan, seperti supremasi ras kulit putih, ultra-nasionalisme dan pengukuhan tradisi.
Satanisme yang mulanya hanya gimik itu diambil lalu digabungkan dengan nilai-nilai lokal yang dipengaruhi konteks politik tadi. Hasilnya: musik black metal yang kawin dengan gagasan supremasi bangsa Arya, semangat anti-Kristus lewat paganisme, pengukuhan tradisi, dan penolakan globalisasi atau modernitas. Artikulasi lokal black metal yang demikian dimungkinkan terjadi karena pengaruh ideologi sayap kanan di Norwegia dan Eropa secara umum.
Bandung punya konteks sosial dan politik yang berbeda. Walhasil, proses dan artikulasi yang hadir juga berbeda dengan yang ada di Norwegia dan negeri Eropa pada umumnya.
“Meskipun ada kesamaan gaya yang mereka miliki dengan praktik di kancah internasional dari genre yang sama, black metal dan death metal di Indonesia telah membangun artikulasi mereka sendiri yang berbeda dari dunia Barat,” tulis Yuka.
Meski berasal dari satu akar, secara kontradiktif kelompok metalheads di Indonesia juga mencoba menerjemahkan tradisi leluhur melalui sesuatu yang modern, yaitu musik metal.
Kendati demikian, mereka memiliki visi yang berbeda dengan para penggerak black metal di Norwegia. Unsur-unsur dalam musik metal tidak digunakan untuk mempromosikan superioritas etnis Sunda, tak seperti sebagian metalheads Eropa mengampanyekan supremasi kulit putih.
Menurut Yuka, di Indonesia tema kegelapan dalam metal diapropriasi untuk menegosiasikan posisi mereka di dalam masyarakat. Tema anti-Kristus, misalnya, diterjemahkan menjadi semangat anti-fundamentalisme agama melalui promosi ragam kebudayaan. Salah satu bentuknya lewat pengenalan ajaran Sunda Wiwitan sebagai keyakinan lokal yang terpinggirkan.
“Artikulasi semangat anti-Kristus sebagai anti-fundamentalisme agama telah membawa mereka kepada sikap pluralis yang membela keragaman kebudayaan,” tulis Yuka.
Berawal Dari Ujungberung
Di tanah Priangan, upaya peleburan kebudayaan Sunda dengan subkultur metal telah terjadi nyaris dua dekade terakhir. Salah satu pelopornya yang paling terkenal adalah band death metal asal Ujungberung, Bandung, yakni Jasad. Sang vokalis, Mohamad Rohman, menuturkan bahwa sejak 2005 dirinya mulai berpikir untuk mengadopsi unsur Sunda ke dalam musik metal.
“Saya orang Sunda, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk tanah kelahiran saya. Pada album Jasad tahun 2005, Annihilate the Enemy, saya memberanikan menulis lagu berbahasa Sunda, judulnya ‘Getih jang Getih’,” tutur vokalis yang akrab disapa Man itu kepada Pikiran Rakyat pada Maret 2019 lalu.
Tahun-tahun berikutnya, corak kasundaan makin merebak di kancah metal Bandung, khususnya di tubuh komunitas Ujungberung Rebels, komunitas pelopor subkultur metal di Jawa Barat sejak 80-an.
Menurut Hinhin Agung Daryana, seorang doktor di bidang cultural studies lulusan Universitas Padjajaran sekaligus mantan gitaris band death metal Beside, ketertarikan komunitas metal terhadap tradisi Sunda memuncak menjelang 2007.
Dalam penelitiannya yang dipublikasikan lewat Modern Heavy Metal Conference (2018) di Aalto University, Finlandia, Hinhin menjelaskan bagaimana unsur Sunda dikawinkan dengan metal melalui kelompok kerja kolektif yang juga dibuat oleh para pentolan Ujungberung Rebels sejak 2006. Kolektif itu bernama Bandung Death Metal Syndicate (BDMS).
BDMS hadir dengan nuansa Sunda yang sangat kental. Logonya menampilkan dua buah kujang dengan sebuah moto berbahasa Sunda “panceg dina galur” yang artinya “teguh dalam pendirian”.
Hinhin menulis kemunculan BDMS semakin melekatkan identitas Sunda dalam kancah musik metal di Bandung, mengawinkan tradisi Sunda dengan musik metal lewat acara-acara musik yang diprakarsainya. Pada 2008, festival metal Bandung Death Fest III menjadi wadah pengenalan berbagai tradisi Sunda seperti kuda renggong, debus dan reak.
Sejak saat itu pula para musisi metal di Bandung mulai menampilkan simbol-simbol identitas Sunda di panggung, seperti iket dan baju pangsi. Dalam beberapa kesempatan, Jasad bahkan melakukan semacam ‘ritual’ membakar dupa sebelum manggung.
Mengakali Keterputusan Tradisi
Kemunculan komunitas-komunitas itu secara langsung dipengaruhi oleh ekosistem metal Ujungberung. Pada 2008, paralel dengan perkembangan musik hibrida Sunda metal, beberapa pentolan Ujungberung Rebels membentuk sebuah unit musik tradisional bernama Karinding Attack. Utamanya, unit ini memainkan alat musik karindingdengan elemen musik Sunda lain, yang pada masa itu jarang sekali dimainkan oleh anak muda.
Tidak tanggung-tanggung, para musisi Ujungberung Rebels menunjukkan keseriusan itu dengan mempelajari karinding langsung dari maestro kesenian Sunda, seperti Abah Olot dari Parakan Muncang.
Berdasarkan catatan Hinhin, sejak Karinding Attack berdiri pada 2008, kelompok musik karinding lain segera merebak di berbagai wilayah, terutama Lembang dan Soreang. Pada 2016 jumlah grup karinding melonjak 400 persen sejak kemunculan Karinding Attack, dari awalnya hanya berjumlah 40 kelompok menjadi 200 kelompok.
“Karinding menjadi pintu gerbang untuk memperkenalkan bentuk-bentuk budaya Sunda lainnya seperti iket, pangsi, sastra Sunda, pusaka dan keyakinan orang Sunda yang bernama Sunda Wiwitan,” tulis Hinhin.
Kasundaan dalam skena metal di Bandung kian melekat ketika pada 2013 Jasad merilis album Rebirth of Jatisunda. Sampul album yang dirilis oleh label Sevare Records asal Amerika Serikat menampilkan beberapa objek yang identik dengan tanah Sunda: gedung sate, kujang danular dan iket. Lirik-liriknya juga kebanyakan bicara soal tema-tema kasundaan. Beberapa judul lagunya juga menggunakan bahasa Sunda, seperti Pasukan Karuhun, Siliwangi, Nagara Ragana Naraga, dan Kujang Rompang.
Dari studi yang dilakukannya Hinhin melihat upaya yang dilakukan oleh metalheads di Ujungberung itu tidak hanya menggerakkan revitalisasi tradisi Sunda, tetapi juga berhasil membangun aktivitas wisata, pendidikan, literasi dan ekonomi yang berkaitan dengan tradisi dan kebudayaan Sunda di Bandung.
Menurut Hinhin, fenomena kasundaan menjadi pemicu bagi proses penemuan kembali kebudayaan Sunda di kalangan generasi muda. Para penggemar tidak lagi hanya datang ke konser favoritnya dengan kaos hitam band idola, mereka juga ramai-ramai memakai iket. Bahkan, komunitas-komunitas kebudayaan Sunda yang berangkat dari lingkaran metal mulai merebak di berbagai penjuru Bandung.
“Para penggemar membentuk kembali komunitas-komunitas kecil di beberapa pinggiran kota Bandung,” tutur pria yang akrab disebut Akew itu dalam artikel penelitiannya. “Kegiatan mereka tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang band idola mereka, tetapi dengan segala keterbatasan mereka berusaha untuk menggali potensi seni tradisional seperti karinding, celempung dan reak.”
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Nuran Wibisono