tirto.id - Sepuluh tahun menjabat sebagai presiden, pidato dan pernyataan publik Joko Widodo sering kali tak selaras dengan yang dilakukan di lapangan. Masyarakat Indonesia melalui media sosial banyak menemukan fakta bahwa omongan Jokowi tak sama dengan kelakuannya saat bekerja.
Salah satu contoh adalah pernyataan Jokowi di awal masa menjabatnya pada periode kedua. Dia menyatakan perang terhadap Covid-19, namun tak berselang lama Jokowi meminta masyarakat untuk berdamai dengan penyakit pandemi tersebut.
Saat itu pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat berdamai dengan Covid-19 ditentang oleh banyak pihak, salah satunya oleh Muhammadiyah karena berimbas pada pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sikap mencla-mencle Jokowi dalam memberikan pernyataan publik ironisnya konsisten hingga di penghujung masa jabatannya. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dulu tak ditulis dalam janji kampanyenya kini diwujudkan.
Jokowi di awal mengeklaim akan membangun IKN tanpa bantuan atau intervensi APBN, namun pada 2023 dia mengubah pernyataannya bahwa IKN harus menggunakan dana APBN dengan alasan untuk pembangunan fasilitas negara seperti istana dan sejumlah gedung kementerian.
Pada Desember 2019, Jokowi sempat melakukan inspeksi di wilayah IKN yang baru digunduli. Dia mengumbar janji pembangunan IKN akan mendatangkan investor dari berbagai negara. Namun hingga kiwari anggaran untuk pembangunan IKN terkatung-katung karena tak ada kepastian nominal dalam Rancangan APBN 2025.
Sikap Jokowi yang sering tak selaras antara ucapan dan perbuatan diamini oleh mantan rekannya di Balai Kota DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Sosok yang akrab disapa Ahok ini mengungkapkan bahwa sejak 2012 Jokowi kerap melontarkan ucapan yang tak sesuai. Namun dia enggan memberikan detail seperti apa sikap Jokowi yang tak sesuai tersebut. Alasannya sudah banyak pakar yang memberikan pendapat mengenai tindakan Jokowi itu.
"Saya kira sudah banyak dibahas para ahli," kata Ahok saat dihubungi Tirto, Jumat (9/8/2024).
Sejumlah aktivis masyarakat sipil memberikan catatan soal pernyataan Jokowi yang dinilai kerap berbeda dengan realita. Pengajar Hukum Tata Negara dan Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyoroti omongan Jokowi yang melarang para menterinya untuk rangkap jabatan.
Saat itu, pernyataan Jokowi tersebut mendapat pujian dari masyarakat luas dan para aktivis demokrasi. Namun belakangan, kebijakan Jokowi yang diomongkan ternyata tak dijalankan. Nyatanya banyak menteri Jokowi yang rangkap jabatan di berbagai struktur, seperti Erick Thohir yang menjadi Menteri BUMN dan Ketua Umum PSSI secara bersamaan.
Selain rangkap jabatan para menteri, Jokowi juga mengangkat para relawannya untuk mengisi sejumlah kursi BUMN. Menurut Menteri BUMN, Erick Thohir, para relawan diangkat karena asas kompetensi.
"Ternyata ketika membentuk kabinet, baik periode pertama maupun kedua, menteri Jokowi malah rangkap jabatan dengan jabatan struktural di politik," kata Titi.
Kedua, Jokowi memiliki janji kampanye yang disatupadukan dalam Nawa Cita yang banyak diplesetkan oleh publik sebagai Nawa Dosa. Salah satu pasal dalam Nawa Cita adalah penguatan institusi KPK, justru yang terjadi adalah kebalikannya.
Korupsi semakin merajalela. Hal itu terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi 2024 yaitu 3,85. Mengutip Transparency International Indonesia, angka indeks korupsi Indonesia menurun karena di 2023 menjadi 3,92.
"Selain itu, soal janji penguatan KPK yang disebut dalam Nawa Cita, pada kenyataannya justru UU KPK direvisi dan pemilihan Pimpinan KPK sangat kontroversial. Di era Jokowi bahkan Ketua KPK menjadi tersangka kasus korupsi. Banyak pihak menyebut KPK saat ini justru paling buruk kinerjanya dalam pemberantasan korupsi," kata dia.
Kemudian, Jokowi mengatakan tak akan melibatkan anak-anaknya dalam dunia politik. Saat itu dia beralasan anak dan menantunya tak tertarik di dunia politik.
Ucapan itu kembali berkebalikan dengan fakta bahwa Gibran Rakabuming Raka kemudian maju di Pemilihan Wali Kota Solo dan berlanjut di 2024 menjadi calon wakil presiden hingga akhir terpilih dan siap dilantik pada Oktober mendatang.
"Termasuk juga mengatakan bahwa anak-anaknya tidak ada yang tertarik di politik, namun faktanya justru anak-anak Jokowi sangat aktif dalam perpolitikan Indonesia. Dimulai dari pencalonan Gibran di Solo, pencapresan Gibran di Pilpres 2024, dan penempatan Kaesang sebagai Ketum PSI meskipun baru dua hari bergabung. Sungguh nampak inkonsistensi sikap Jokowi soal politik keluarga yang dipraktikkannya," kata Titi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M Isnur, juga menyoroti Jokowi yang sempat mengumbar janji akan mengungkap kasus HAM di masa lalu.
Sama seperti omongan Jokowi lainnya, ia justru bersahabat karib dengan para terduga pelanggar HAM, salah satunya Prabowo Subianto—menteri sekaligus presiden terpilih yang didukung Jokowi pada Pilpres 2024. Jokowi juga memberikan penghargaan bintang empat kepada pecatan Dewan Kehormatan Perwira itu akibat persitiwa 1998.
"Jelas sekali di Nawa Cita Jokowi menjanjikan pengungkapan korban HAM masa lalu, sampai 10 tahun tak ada satupun kasus yang diselesaikan oleh dia," kata Isnur.
Prestasi Jokowi soal HAM hanyalah Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang berakhir Desember 2023 dan tidak diperpanjang lagi masa jabatannya.
Relawan Pendukung Jokowi: Dia Seorang Politikus
Pernyataan Jokowi yang kerap tak sinkron dengan perbuatannya adalah bentuk nyata implementasi dari kehidupan seorang politikus.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Bara JP (Barisan Relawan Jokowi Presiden), Utje Gustav. Dia menilai, Jokowi banyak menghadapi pilihan-pilihan sulit yang harus disikapi dengan cepat. Maka itu, dia menilai sikap Jokowi tersebut adalah cara bagaimana politikus bekerja.
"Kalau Pak Jokowi saya rasa seorang politikus," katanya.
Utje beranggapan orang-orang yang menilai Jokowi kerap tak sejalan dengan apa yang disampaikan adalah orang yang kalah dalam dunia politik dan tak suka dengan apa yang telah dilakukan oleh Jokowi.
Utje juga mengeklaim bahwa dengan kondisi Jokowi saat ini tingkat elektabilitas Jokowi di masyarakat masih tinggi hingga 75 persen.
"Masa kita harus mendengarkan pendapat masyarakat yang 25 persen, padahal ada 75 persen rakyat yang mencintai Pak Jokowi," kata dia.
Tirto sudah mencoba menghubungi Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, dan Koordinator Staf Khusus Kepresidenan, Ari Dwipayana. Namun hingga tulisan ini diunggah ketiganya tidak memberikan jawaban.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Irfan Teguh Pribadi