tirto.id - Di ruang pemeriksaan salah satu markas kepolisian, kedua tangan Humprey Ejike Jefferson diborgol. Ia berdiri dengan mata tertutup. Kakinya dijepit benda tumpul. Setiap menjawab pertanyaan yang tak sesuai keinginan petugas, bagian tertentu dari tubuh Jeff disiksa hingga lebam dan mengucurkan darah. Kejadian ini berlangsung hingga berjam-jam.
Seorang narapidana LP Cipinang berinisial DA menyaksikan penyiksaan itu dan mencatatkannya dalam memori Peninjauan Kembali (PK) sebagai novum alias bukti baru dalam kasus Jeff. Dugaan janggal itu dibenarkan oleh Direktur LBH Masyarakat Ricky gunawan
“Jeff akhirnya terpaksa mengaku karena di bawah penyiksaan,” ujar Ricky kepada reporter Tirto, 29 Agustus lalu.
Selain Jeff, ada Michael Titus, Agus Hadi, Pujo Lestari, dan Eugene Ape, yang mengalami persoalan saat proses penyidikan di kepolisian. Termasuk salah seorang terpidana mati perempuan bernama Merry Utami.
Sementara terpidana mati Zulfiqar Ali dihantam bagian perut saat pemeriksaan. Menjelang hukuman mati gelombang tiga pada Jumat dini hari, 29 Juli, Zulfiqar berada di dalam sel isolasi dengan kursi roda. Ia juga memakai alat bantu pernapasan dari tabung oksigen.
Ricky Gunawan menegaskan kekerasan dalam proses penyidikan terhadap seorang terduga pelaku narkoba memang bukan cerita baru. Ia menduga peradilan di Indonesia menjadi tidak imparsial, kotor, dan tidak independen.
Hal serupa diungkapkan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Imdadun Rahmat. “Karena pengakuan yang dibuat berdasarkan pada pemaksaan apalagi dengan penyiksaan, tindakan-tindakan yang kejam. Proses hukumnya cacat. (Hukuman mati) harus melalui proses hukum yang fair, berkeadilan, dan tidak ada peradilan sesat di situ. Tidak ada terror in persona. Tidak ada rekayasa,” ujar Imdadun, 1 September lalu.
Komnas HAM, kata Imdadun, secara resmi telah meminta kepada pemerintah untuk melakukan moratorium hukuman mati. “Tapi ya faktanya, Anda bisa lihat sendiri pemerintah masih terus melakukan hal itu."
Pada eksekusi mati gelombang pertama, 18 Januari 2015, enam orang dicabut hak hidupnya. Pada gelombang kedua, 29 April 2015, tujuh orang dieksekusi mati, dan satu orang, yakni Mary Jane Veloso, warga Filipina, ditunda eksekusi. Pada gelombang ketiga: 10 terpidana mati lolos dari hadapan regu tembak, empat orang meregang nyawa.
Presiden kelima Susilo Bambang Yudhoyono dalam rentang 10 tahun, antara 2004 hingga 2014, mengeksekusi 21 jiwa. Sedangkan Jokowi, selama 19 bulan sejak berkuasa pada 2014, telah mengeksekusi 17 jiwa.
Rafendi Djamin, direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, mengkritik keputusan pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak segan mencabut nyawa narapidana narkoba.
"Presiden Jokowi seharusnya tidak menjadi algojo paling produktif dalam sejarah Indonesia baru-baru ini," kata Rafendi seperti dikutip dari Amnesty International.
Maladministrasi Hukuman Mati
Eksekusi mati jilid tiga menggerakkan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat melaporkan Kejaksaan Agung ke Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Kejaksaan. Dalam laporan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati, mereka menduga ada proses peradilan yang cacat dan prosedur eksekusi mati yang janggal.
Salah satu praktik maladministrasi alias pelanggaran itu soal pemberitahuan tentang hukuman mati bagi narapidana, yang tidak sesuai undang-undang. Kasusnya menimpa empat narapidana eksekusi mati terakhir: Freddy Budiman, Humprey Ejike Jefferson, Michael Titus Igweh, dan Seck Osmane
Pada Rabu, 27 Juli, atau dua hari sebelum eksekusi, keempat terpidana itu baru saja menuntaskan tanda tangan pelbagai berkas. Salah satunya berkas menolak hukuman mati yang ditandatangani mereka pada pukul tiga sore.
Menurut Ricky Gunawan, seharusnya mereka "baru bisa dieksekusi" setelah 3 hari atau 72 jam sejak menerima pemberitahuan. Ini sesuai dengan pasal 6 ayat (1) dari UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati.
“Makanya, proses hukuman mati tak mematuhi perundang-undangan,” kata Ricky.
Proses eksekusi gelombang ketiga yang tertutup bisa dinilai Kejaksaan Agung yang tutup mulut. Mulai dari Kepala Kejaksaan Agung, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, hingga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Semuanya menolak buka suara.
Sejak awal, mereka sama sekali tidak memberi informasi kapan pelaksanaan eksekusi mati. “Ini janggal, terburu-buru, dan tertutup. Sangat jauh dibandingkan tahun lalu. Tidak ada briefing (jelang H-1 seperti gelombang I dan II),” ujar Ricky.
Selain soal pemberitahuan eksekusi mati, Koalisi Masyarakat Anti Hukuman Mati melaporkan dugaan maladministrasi dalam bentuk grasi. Jika merujuk pada peraturan yang ada, grasi yang diajukan para terpidana seharusnya merujuk Pasal 14 ayat 1 UUD 1945. Kenyataannya, hal itu tidak sama sekali dilakukan. Keempat terpidana mati sama sekali belum menerima penolakan grasi yang diajukan kepada Presiden.
Padahal, berdasarkan undang-undang tentang grasi, diatur bahwa "... pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana”.
Sesuai hukum di Indonesia, sebelum memutuskan memberikan grasi, Jokowi juga harus mendengar dan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, keempat narapidana narkotika itu tetap dieksekusi mati sebelum ada penjelasan Jokowi menyoal grasi diterima atau tidak.
Selain itu, sejak beberapa hari menjelang eksekusi mati, kunjungan baru dimulai sejak pukul 12 sampai pukul 4 sore. Baik keluarga ataupun pengacara kesulitan berbincang dengan wartawan sebab mereka dikawal secara ketat.
Kejaksaan sebagai Eksekutor
M. Rum, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, membantah tudingan maladministrasi. Menurutnya, proses eksekusi mati sudah dilakukan sesuai prosedur perundang-undangan.
“Kita sudah melakukan sesuai aturan. Kalau mereka melaporkan ke Ombudsman ya enggak masalah. Memang kinerja kita harus dinilai. Tapi kita yakin apa yang dilakukan sudah sesuai aturan,” ujarnya saat ditemui di kantornya, 1 September lalu.
Sementara Komisi Kejaksaan yang menerima laporan dugaan maladminstrasi oleh Koalisi Masyarakat Anti Hukuman Mati belum berniat memanggil kembali pihak Kejagung.
“Harus diingat dan perlu dicatat, Kejaksaan dan Jaksa Agung bukan satu-satunya pejabat penentu akhir. Bagaimanapun kejaksaan eksekutor, kan, di atasnya ada presiden,” ujar Komisioner Komisi Kejaksaan Ferdinand Andi Lolo.
Hal berbeda disampaikan Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala. Ia tegas mengatakan pihaknya telah memanggil Jaksa Agung Muda Pidana Umum dan beberapa jaksa eksekutor dari Kejagung.
Menurutnya, ada beberapa hal yang menunjukkan kecerobohan Kejagung terkait maladministrasi.
Ombudsman sudah berancang-ancang membuat surat teguran bahwa Kejagung melakukan kesalahan prosedur terkait hukuman mati.
“Sebab, kalau tidak, akan muncul lagi hal yang sama. Itu makin tidak bagus bagi reputasi kejaksaan sendiri,” katanya.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho