tirto.id - Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan, telah mendekam di penjara selama 12 tahun. Ia ditangkap polisi pada 22 November 2004 di Villa Tugu, Cisarua, Bogor. Penangkapannya berbasis pengembangan penyidikan atas pemeriksaan seorang warga negara India bernama Gurdip Singh pada 29 Agustus 2004. Setelah ditangkap, Zulfiqar dibawa ke rumah kontrakan di kawasan Ciampea, Bogor.
Zulfiqar disebut bertanggung jawab atas keberadaan narkotika jenis heroin seberat 300 gram yang ditemukan Kepolisian Resort Bandara Soekarno-Hatta saat dibawa Singh singgah di Indonesia melalui terminal 1B. Usai ditangkap, Singh mengaku membawa heroin menuju Malang atas perintah Zulfiqar. Berbekal pengakuan itu, polisi menangkap Zulfiqar.
Saat penangkapan, polisi tak menemukan satu pun barang bukti narkotika dari kediaman Zulfiqar dan istrinya. Menurut pengacara Zulfiqar, Saut Edward Rajagukguk, wajar jika tak ada narkotika pada kliennya. Pasalnya, Zulfiqar diyakini bukan orang yang menyuruh Singh membawa heroin dari Jakarta menuju Malang.
Zulfiqar memang mengakui telah membeli tiket pesawat untuk Singh menuju Malang. Namun, pembelian itu atas permintaan Singh kepada Zulfiqar. Pada 29 Agustus 2004, Singh ternyata menelepon Zulfiqar dan minta tolong agar dibelikan tiket tujuan Surabaya. Zulfiqar tak mengetahui apa tujuan Singh ke Surabaya. Sebagai teman, Zulfiqar hanya membantu membelikan tiket.
Tiga bulan kemudian, polisi mendatangi rumah kontrakan Zulfiqar di Bogor. Pihak kepolisian datang tanpa memperlihatkan surat penangkapan atau disaksikan pengurus RT dan RW setempat. Proses hukum pun harus dilalui Zulfiqar sesudahnya. Selama menjalani proses hukum itulah Zulfiqar mengalami ketidakadilan berlapis.
Saut mengungkapkan, Zulfiqar kerap mengalami penyiksaan agar mengaku memiliki heroin 300 gram. Selain itu ia tak pernah didampingi penasihat hukum dan penerjemah hingga sidang perdana di PN Tangerang.
Zulfiqar juga dikatakan pernah mendapat tawaran "berdamai" agar bebas dari hukuman pidana. Saut menjelaskan, tawaran damai itu harus lewat mahar uang. Karena tak bersalah, Zulfiqar tak pernah memenuhi tawaran damai. Akibatnya, proses hukumnya tetap berlanjut.
Cabut Keterangan di BAP
Selanjutnya, dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 2253 K/Pid/2005, Singh telah mencabut keterangan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP), menyatakan bahwa heroin 300 gram sebenarnya bukan milik Zulfiqar. Pencabutan ini di bawah tekanan fisik (siksaan), mental, dan dijanjikan pengurangan hukuman kepada Singh.
Selain fakta itu, reporter Tirto menerima salinan dokumen dari Singh yang telah dibubuhi tanda tangan di atas materai dan sidik jari, memuat keterangan Singh. Singh mengungkapkan heroin itu diambil dari Hilary, warga Nigeria. Lalu Ropik Sondri menelepon dan berjanji akan membantu menyelesaikan masalah ini di Kepolisian. Sayang, Singh justru diperintahkan Ropik untuk menyebut heroin yang ia bawa itu milik Zulfiqar.
Bagaimana jika pembuatan BAP dilakukan di bawah tekanan, seperti terjadi dalam kasus Singh dan Zulfiqar?
Menurut pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih, harusnya segala kesaksian dalam BAP tak berlaku karena saat memberikan keterangan, seorang tersangka atau saksi dalam keadaan di bawah tekanan dan disiksa.
"Banyak kejadian seperti itu dalam kasus pidana. Kalau benar itu ditekan, maka hakim meminta keterangan dari penyidik. Benar enggak? Bukti penyiksaannya apa? Jadi orang enggak bisa bermain dengan sumpah dan semuanya pasti ada fakta," kata Yenti, 31 Agustus lalu.
Yenti menjelaskan, proses hukum yang dijalani oleh Zulfiqar tergantung penilaian hakim dan fakta persidangan. Jika kepemilikan heroin menguatkan Zulfiqar, bisa jadi memang ia adalah pelakunya. Meski demikian, Yenti menegaskan, terkait dugaan maladministrasi, ia menyarankan untuk menelusurinya lebih jauh. Sebab, dalam memutuskan perkara, seorang hakim berpegang kepada fakta-fakta yang ada.
“Kalau betul saksi kunci mencabut, harus ditelusuri. Alat keterangan bukti bukan hanya saksi, tapi ada yang lain juga dan hakim bisa mempertimbangkan dengan bukti-bukti lain,” ujar Yenti.
Ia berkata, jika memang bukti bukti di persidangan tak menguatkan fakta keterkaitan Zulfiqar, seharusnya peradilan tidak mengarahkan terdakwa ke pidana maksimum. “Dalam hukum pidana itu semua sudah dijaga-jaga. Tinggal kita bisa membaca enggak di balik semua pengaturan itu,” katanya.
Menanti Eksekusi Mati
Setelah bertahun-tahun hidup di balik jeruji, Zulfiqar Ali mau tak mau segera dieksekusi. Upaya mencari keadilan selama ini sia-sia. Dalam eksekusi terpidana mati gelombang ketiga, namanya masuk dalam daftar narapidana yang bakal dihabisi Tim Regu Tembak Polda Jawa Tengah.
Selain Zulfiqar, ada 13 nama lain: Freddy Budiman, Humprey Ejike Jefferson (Nigeria), Seck Osmane (Afrika Selatan), Zhu Xu Xhiong (China), A Yam (Indonesia), Jun Hao alias A Heng alias Vass Liem (Indonesia), Cheng Hong Xin (China), Gang Chung Yi (China), Jian Yu Xin (China), Suryanto, Agus Hadi, Merry Utami, dan Pujo Lestari.
Menjelang eksekusi pada 29 Juli 2016, sebetulnya Zulfiqar dalam kondisi sakit kronis. Ini dibuktikan melalui surat keterangan dari Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta, 17 Juli 2014.
Surat yang ditandatangani Ketua Lapas Narkotika Jakarta Muhammad Ali Syeh Banna dan dokter Lapas Yusman Akbar T menyimpulkan bahwa penyakit Zulfiqar tergolong berat dan sulit disembuhkan. Prediksi dokter, Zulfiqar tak akan bertahan lama. Dokter menyarankan Zulfiqar tidak boleh stres atau mengalami tekanan fisik maupun mental.
Namun, proses hukum berbicara lain. Meski sudah didiagnosis hidup Zulfiqar tak bakal lama, eksekusi mati tetap akan digelar. Padahal Zulfiqar memiliki dokumen resmi dari Kementerian Hukum dan HAM mengenai riwayat sakit yang ia derita.
Sayang, Kejaksaan Agung tak percaya begitu saja. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum M. Rum, pihaknya memilik opini kedua terkait Zulfiqar.
“Kamu bilang sakit, kami enggak percaya begitu saja. Periksa lagi ternyata sehat. Ya dibawa lagi. Kita punya tim ke sana, mengecek itu semua. Bukan ujuk-ujuk kami eksekusi. Jadi, persiapan eksekusi diverifikasi lagi. Kalau memenuhi syarat maka dieksekusi," katanya kepada reporter Tirto.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpendapat beda mengenai kasus terpidana mati zulfiqar. Menurutnya, hukum Indonesia memang tak mengatur pembatalan eksekusi mati karena sakit. Namun, eksekusi mati tetap tidak boleh dilakukan.
"Orang sakit tidak boleh dieksekusi, bisa dikatakan itu kekosongan hukum," katanya.
Pada akhirnya, Zulfiqar memang batal dieksekusi bersama kesembilan terpidana mati lain. Ia mungkin sejenak bisa bernapas lega. Tapi ia tetap harus menghadapi hukuman mati yang sewaktu-waktu bisa dilaksanakan oleh otoritas Indonesia.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho