tirto.id - Hukuman mati memang selalu kontroversial: yang pro menilai hal itu bisa bikin efek jera; sebaliknya bagi yang kontra eksekusi mati tak pernah efektif meredam kejahatan. Salah satu buktinya angka pengguna narkoba yang tak jua surut.
Berdasarkan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, jumlah pengguna narkoba terus meningkat: 4.022.228 jiwa pada 2014 menjadi 4.098.029 jiwa pada 2015, atau meningkat 0,02 persen.
Selain itu, anggaran eksekusi mati menjadi sorotan. Hal ini dilontarkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Forum Indonesia untuk Transparansi (FITRA). Keduanya mengkritis dualisme pengajuan anggaran, yaitu dari Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung. Karena dualisme ini, kedua lembaga nonpemerintah ini menduga "ada potensi penyelewengan" anggaran.
Menurut investigasi mereka, kejaksaan mengajukan anggaran hingga Rp200 juta, dan kepolisian Rp 247 juta, untuk sekali eksekusi. YLBHI dan FITRA menduga ada "politisasi" soal hukuman mati. Bujet yang besar ini diyakini bukan bertujuan untuk keadilan hukum dan masyarakat.
Anggaran Rp200 juta dari kejaksaan ini untuk membayar rapat koordinasi, pengamanan, konsumsi, transportasi tim, sewa mobil, penginapan tim, regu tembak, penginapan pihak yang mewakili terpidana, penerjemah, kerohanian, petugas kesehatan, pemakaman, dan terakhir untuk mengantar jenazah.
Dari kepolisian, anggaran Rp247 juta dipakai untuk rapat koordinasi dan sewa kendaraan (tahap persiapan), regu tembak dan pengamanan (tahap pengorganisiran), serta pengantaran dan pemakaman jenazah (tahap pelaksanaan). Totalnya, menurut YLBHI dan FITRA, satu terpidana mati menghabiskan Rp247.112.000.
Jadi, untuk ke-14 napi yang akan dieksekusi mati dalam gelombang ketiga, pemerintah harus mengucurkan duit hingga Rp2.800.000.000 (bujet dari Kejagung) dan Rp3.460.968.000 (bujet kepolisian).
Untuk itu, salah satu rekomendasi YLBHI dan FITRA adalah mendorong moratorium eksekusi terpidana mati. Alasannya, selain melanggar hak asasi manusia, anggaran gede untuk menerapkan hukuman mati sangat mungkin menyimpang dari komitmen pemberantasan korupsi.
Menurut M. Rum, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, pemakaian anggaran itu "sudah sesuai" Undang-Undang Keuangan Negara. Menurutnya, anggaran yang diajukan Kejaksaan Agung berlaku mulai 1 Januari hingga 31 Desember ketika eksekusi itu dilakukan.
“Apabila ada penyimpangan anggaran, maka setiap tahun anggaran negara itu diaudit oleh BPK. Jadi, jangan khawatir soal anggaran. Pemakaian anggaran pada prinsipnya sesuai peruntukannya,” ujarnya, 1 September lalu.
M. Rum menjelaskan, total perkara yang divonis menjalani hukuman mati berjumlah 152 orang. Rinciannya, 92 orang divonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan, 58 orang dalam kasus narkoba, dan 2 orang dalam kasus pidana terorisme.
Merujuk penjelasan itu, jika dikalikan dengan anggaran per orang sebesar Rp200 juta, total anggaran yang menguras uang negara untuk eksekusi mati berjumlah Rp30,4 miliar. Jumlah ini masih berpotensi naik jika ada terpidana baru yang yang divonis mati oleh hakim di pengadilan.
Menurut Gulfino Che Ghuevaratto, staf advokasi FITRA, Kejagung harus mengembalikan anggaran itu ketika dana sudah tak lagi digunakan. Apalagi, menurutnya, dalam eksekusi terdapat 10 terpidana yang batal dieksekusi.
“Jika lebih pagu anggarannya, ya dikembalikan lagi pada negara. Urusan ke depannya akan ada eksekusi itu lain soal,” ujarnya kepada Tirto.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho