tirto.id - Indonesia menjadi salah satu negara yang masih memasukkan pidana hukuman mati dalam kebijakan legislasinya. Di tengah tren negara-negara lain yang mulai meninggalkan pidana mati, Indonesia masih tampak setengah hati menghapus aturan ini.
Hukuman mati termaktub dalam UU Nomor 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Nasional. Dalam KUHP Nasional yang menggeser KUHP lama (Wetboek Van Strafrecht), terdapat ketentuan yang lebih ketat dan dinilai sebagai jalan tengah dalam pelaksanaan hukuman mati.
Hukuman mati khas Indonesia (Indonesian Ways) itu seolah jadii cara kilat mendudukan pandangan pro-kontra dari kelompok retensionis dan abolisionis hukuman mati. Pengaturan hukuman mati dalam KUHP Nasional dinilai sudah cukup membawa kemajuan. Hal ini menjadi argumen utama Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, yang menegaskan bahwa pidana mati tidak dihapuskan.
Yusril menyatakan hal tersebut usai Presiden Prabowo Subianto dalam sesi wawancara beberapa waktu lalu menunjukan ketidaksetujuannya pada praktik hukuman mati. Pernyataan Yusril seakan menegaskan posisi Indonesia yang serba tanggung dalam upaya menghapuskan hukuman mati.
Argumen bahwa hukuman mati bakal membawa efek jera selama ini juga tidak tampak hasilnya. Sebab pada kenyataannya, hukuman mati di Indonesia justru banyak menimpa terpidana kasus narkotika, dan kerap diwarnai proses peradilan yang sesat (rechterlijke dwaling).
Peneliti dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Annisa Azzahra, menilai sikap pemerintah Indonesia–setidaknya ditunjukan Yusril–mencerminkan posisi Indonesia pada forum-forum internasional yang berada di tengah-tengah dalam pro-kontra hukuman mati. Hal itu tidak menunjukan ketegasan Indonesia melakukan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang paling utama, yakni hak untuk hidup.
“Balik lagi hukuman mati itu memang sebetulnya sangat politis, menghapus hukuman mati berarti bisa jadi menghapus juga dukungan dari kelompok populis di Indonesia,” kata Annisa kepada wartawan Tirto, Kamis (10/4/2025).
Annisa menegaskan hak hidup seseorang sejatinya tidak bisa dirampas orang lain, baik lewat hukum negara, agama, dan justifikasi moral. Mempertahankan hukuman mati di dalam kerangka hukum, menunjukan sebuah negara yang tidak konsisten dan berkomitmen lemah dalam melindungi hak hidup warga negaranya.
Hukuman mati juga menunjukkan paradigma hukum yang mengedepankan balas dendam. Ini menjadi semakin absurd sebab terpidana narkotika menjadi kategori yang sering dieksekusi mati di Indonesia. Menurut Annisa, hukuman mati menebalkan logika kekuasaan yang represif dan koersif atau disebutnya sebagai bentuk “pembunuhan oleh negara.”
Dengan masih eksisnya hukuman mati di Indonesia, kata Annisa, selemah-lemahnya iman adalah mendorong komutasi dan pembekuan hukuman mati. Upaya tersebut yang saat ini tengah didorong PBHI serta elemen masyarakat sipil lewat rancangan peraturan pemerintah (RPP) Komutasi Hukuman Mati.
Komutasi merupakan bentuk peralihan hukuman. Skema komutasi hukuman mati memang terakomodir di dalam KUHP Nasional yang mulai tahun depan resmi berlaku. Jika dibedah, KUHP Nasional telah merevisi hukuman mati dari pidana pokok menjadi pidana khusus yang bersifat alternatif sebagai upaya terakhir. Dalam pelaksanaannya, diperlukan jaminan rigid aturan komutasi hukuman mati yang ada di Pasal 100 dan 101 dalam KUHP Nasional.
Komutasi itu berupa peralihan pidana mati menjadi pidana seumur hidup. Maka diatur masa percobaan 10 tahun yang secara otomatis melekat pada putusan pengadilan atas terpidana yang dijatuhi pidana mati. Terpidana hukuman mati akan dievaluasi untuk mendapatkan hak komutasi lewat keputusan presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
KUHP Nasional juga mengamanatkan dibentuknya undang-undang khusus mengenai tata cara pelaksanaan hukuman mati. Aturan tersebut seharusnya mengedepankan standar hak asasi manusia terkait penjatuhan pidana mati dan mematuhi prinsip non-diskriminasi.
“Hukuman mati itu selalu mayoritas menimpa kelompok miskin, minoritas, dan juga mereka yang tidak punya akses keadilan. Mereka pada dasarnya terjebak dalam sistem paradilan itu sendiri. Dan namanya hukuman mati, ketika ada kesalahan, ya tidak bisa diperbaiki,” tegas Annisa.
Sebelumnya, Menko Yusril menyatakan pidana mati tidak serta merta dilaksanakan setelah putusan pengadilan. KUHP Nasional mengatur bahwa pidana mati hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh Presiden. Oleh karena itu, menurut Yusril, memohon grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan baik oleh terpidana, keluarga, atau penasihat hukumnya sesuai ketentuan KUHAP.
Yusril menilai pendekatan kehati-hatian ini berangkat dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Katanya, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan berat dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan mendalam.
"Bagaimanapun juga, hakim dan pemerintah adalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan [peradilan]," tutur Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (9/4/2025).
Sebelumnya Yusril menyampaikan, pemerintah saat ini sedang merencanakan pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelaksanaan Hukuman Mati. RUU Itu menjadi turunan dari KUHP Nasional yang mulai berlaku 2 Januari 2026.
Dalam kesempatan itu, Yusril menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto sebetulnya tidak ingin ada terpidana yang divonis hukuman mati. Bukan hanya narapidana korupsi, kata dia, melainkan seluruh narapidana kasus apa pun.
Prabowo dalam sesi wawancara dengan Pemimpin Redaksi media di kediamannya, Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4) lalu, mengatakan bahwa hukuman mati kalau bisa tidak diterapkan karena tak membuka ruang koreksi.
“Hukuman mati itu final dan kita tidak bisa hidupkan dia kembali. Meski kita yakin dia 99,9 persen bersalah, mungkin saja ada satu masalah ternyata dia korban atau di-frame [dijebak],” ucap Prabowo saat itu.
Banjir Vonis Mati di Indonesia
Harapan Prabowo sayangnya belum seirama dengan realitas peradilan di Indonesia. Vonis pidana mati seolah diobral di ruang pengadilan. Indonesia memang terakhir melakukan eksekusi mati pada 2016 terhadap terpidana narkoba, namun vonis mati baru terus dijatuhkan setiap tahun kepada para terdakwa.
Amnesty International mencatat, pada 2024 saja pengadilan di Indonesia memvonis mati 85 pelaku pidana yang kebanyakan terlibat kasus narkotika. Angka ini membuat jumlah total orang yang sedang menanti hukuman mati (death row) di seluruh dunia menjadi 28.085 individu hingga akhir 2024.
Secara global, mengacu laporan Amnesty International bertajuk Death Sentences and Executions 2024, terjadi sebanyak 1.518 eksekusi mati di tahun 2024 atau meningkat sebesar 32 persen dari jumlah 1.153 pada 2023. Ada 15 negara yang melaksanakan eksekusi mati pada 2024, didominasi negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Tahun 2024 menjadi periode tertinggi eksekusi mati terjadi. Rekor sebelumnya di tahun 2015 dengan total 1.634 eksekusi mati.
Kembali ke Indonesia, Amnesty International mencatat bahwa 85 orang dari total 75 kasus divonis hukuman mati oleh pengadilan Indonesia pada 2024. Sebagian besar merupakan kasus narkotika (57 kasus dengan 64 terdakwa) dan sisanya berkategori kasus pembunuhan (18 kasus dengan 21 terdakwa). Sementara dari Januari hingga Maret 2025 ini, majelis hakim menjatuhkan hukuman mati kepada 21 terdakwa dari 21 kasus.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melihat vonis hukuman mati tidak membawa keadilan. Sebaliknya, hanya menciptakan lebih banyak korban. Usman menyatakan pemerintah Indonesia melakukan semacam komitmen ganda.
Di satu sisi pemerintah tidak melakukan eksekusi sejak 2016. Di sisi lainnya, pengadilan dari berbagai daerah terus mengikuti tren global menjatuhkan vonis mati, terutama di kasus-kasus narkotika. Sementara di Malaysia, kata Usman, negara tetangga itu saja sudah berani menghapus pidana mati wajib untuk kejahatan serius. Otoritas setempat melakukan komutasi dengan mengubah hukuman mati ke bentuk hukuman lain kepada lebih dari seribu terpidana.
“Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati,” kata Usman ketika dikonfirmasi Tirto, Kamis.
Selain KUHP, pidana mati sebetulnya tercecer di berbagai aturan undang-undang lain. Misalnya pada UU Nomor 12 Drt 1951 tentang Senjata Api, Amunisi, dan Bahan Peledak; UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi; UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pidana mati tercantum secara formil lewat ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut. Namun, ketentuan pidana mati diatur secara materiil dalam KUHP dan Peraturan Kapolri.
Catatan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), total ada 78 orang yang dieksekusi regu tembak sepanjang periode 1979-2016. Jenis terpidana yang dieksekusi mati yakni kejahatan politik, narkoba, dan pembunuhan.
Jumlah terbesar disumbang dari terpidana politik di era Orde Baru dengan total 25 terpidana yang dieksekusi. Selanjutnya, 24 terpidana kasus narkoba yang dieksekusi dan terpidana kasus pembunuhan sebanyak 23 orang. Paling sedikit disumbang terpidana kasus terorisme, dengan jumlah 6 orang.
Sementara berdasarkan PBHI, terdapat 518 vonis hukuman mati yang dijatuhkan sepanjang dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (2014-2024). Sebanyak 260 pidana mati dijatuhkan untuk terdakwa kasus narkoba. Jika ditotal, ada 18 eksekusi mati di era Jokowi.
Staf Divisi Hukum KontraS, Azlia Amira Putri, menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang mempertahankan hukuman mati. Pernyataan Menko Yusril baru-baru ini dilihat sebagai keengganan pemerintah dalam menghapus hukuman mati di Indonesia. Hal ini dinilai Azlia berbanding terbalik dengan langkah Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Dalam Pasal 6 ICCPR, kata dia, dinyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak fundamental yang melekat pada setiap individu dan wajib dilindungi. Selain itu, Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, secara tegas mengakui hak untuk hidup sebagai Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights).
Hadirnya KUHP Nasional seharusnya mampu melahirkan perubahan paradigma bagi aparat penegak hukum, agar tak memakai pidana mati sebagai pendekatan utama penuntutan dan penjatuhan vonis. Namun, usai KUHP Nasional disahkan, pantauan KontraS menemukan sejumlah kasus yang masih dituntut dan divonis mati.
Sepanjang rentan waktu Oktober 2023 sampai dengan September 2024 misalnya, terdapat 35 tuntutan mati oleh kejaksaan, 28 vonis mati di tingkat pengadilan negeri, dan 4 vonis mati di tingkat pengadilan tinggi.
KontraS menilai masifnya penjatuhan vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri disebabkan beberapa faktor: pendekatan hukum yang formalistik, imbas tekanan publik, hingga minimnya pemahaman akan hak asasi manusia.
“Meskipun KUHP baru membuka peluang untuk dilakukan assessment terhadap terpidana mati, termasuk kemungkinan perubahan hukuman melalui mekanisme yang lebih humanis, ketidakpastian masih menyelimuti penyusunan peraturan pelaksananya,” kata Azlia kepada wartawan Tirto, Kamis.
Berdasarkan catatan Amnesty International yang mengacu data Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, per 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati dalam deret tunggu (death row), 11 orang di antaranya perempuan.
“Fenomena deret tunggu memengaruhi narapidana hukuman mati, tidak adanya jaminan jelas dalam proses deret tunggu yang terlampau lama bakal berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis yang luar biasa akibat penundaan yang berkepanjangan,” tutur Azlia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Rina Nurjanah