Menuju konten utama

KontraS: Terpidana Mati Dipersulit Bertemu Keluarga & Pengacara

Laporan KontraS menduga sejumlah pihak mempersulit terpidana mati untuk bertemu keluarga dan pengacaranya.

KontraS: Terpidana Mati Dipersulit Bertemu Keluarga & Pengacara
Mantan terpidana mati Yusman Telaumbanua bersama Wakil Koordinator Kontras Putri Kanesia (kanan) dan Peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat mengacungkan tangan bersama seusai konferensi pers di kantor Kontras, Jakarta, Selasa (10/10/2017). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut adanya sejumlah pihak yang mempersulit terpidana hukuman mati di Indonesia untuk bertemu dengan keluarga dan pengacaranya.

Dugaan tersebut diungkap lewat laporan berjudul "Tidak Manusiawi: Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Bagi Terpidana Mati Di Indonesia" yang diluncurkan hari ini (10/10/2019).

"Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap keluarga, kuasa hukum dan terpidana yang batal dalam proses eksekusi gelombang 3, mereka mengeluhkan tidak dapat bertemu, karena aksesnya," kata peneliti KontraS Arif Nur Fikri di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Kamis (10/10/2019).

Salah satunya, lanjut Fikri, salah seorang terpidana mati yang batal dieksekusi pada 2016 lalu. Ketika hendak dieksekusi ia dipindahkan ke Lapas Batam oleh Jaksa eksekutor, tapi ketika eksekusinya dinyatakan batal, terpidana itu tidak dikembalikan ke lapas asalnya.

Hal itu membuat keluarga tidak dapat menjenguknya lagi karena masalah jarak. Padahal seharusnya jaksa berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk mengembalikan terpidana itu ke lapas asalnya.

"Nah ini yang jadi catatan kita bersama bahwa sinergitas tidak dilakukan oleh eksekutor atau JPU [Jaksa Penuntut Umum]," ujar Fikri.

Selain itu, Fikri juga menemukan adanya perbedaan perlakuan antara terpidana mati WNI dan terpidana mati WNA.

Fikri mengungkap keluarga dan kuasa hukum salah satu terpidana mati WNA yang mendekam di Lapas Yogyakarta mengaku kesulitan untuk menjenguk sebab mereka diwajibkan mendapat surat persetujuan dari jaksa.

Nasib berbeda dialami keluarga dan kuasa hukum seorang terpidana mati WNI di Lapas Cilacap. Mereka relatif lebih leluasa untuk menjenguk. "Saya tidak tahu kenapa. Apakah memang karena terpidana asing?" lanjut Fikri.

Nihilnya aturan soal durasi dan intensitas kunjungan juga menjadi kendala bagi keluarga dan penasihat hukum sebab masing-masing lapas jadi punya aturan berbeda.

Laporan KontraS menulis, seorang staf Lapas Batu, Nusakambangan yang diwawancara mengindikasikan kunjungan hanya diperbolehkan sebulan sekali dengan durasi maksimal 30 menit.

Di Lapas Narkotika, Nusakambangan pengunjung diizinkan bertemu sebanyak dua kali seminggu dengan durasi 1 jam. Di Lapas Kembang Kuning pengunjung diizinkan tiga kali seminggu.

Tak cuma itu, laporan KontraS juga mengungkap tindakan tidak menyenangkan yang dialami pengunjung perempuan lapas Nusakambangan, mereka mengaku menjadi sasaran pencarian telanjang.

Salah satu kerabat terpidana mati mengaku kepada KontraS bahwa meteka diminta untuk melepaskan pakaian dalam dan tampon mereka.

"Ketika saya keluar dari kamar, semua orang tertawa [...]. Kita harus membiarkan mereka mempermalukan kita, karena jika tidak, kita tidak dapat mengunjungi keluarga. Kami menerimenerima karena kami tidak punya pilihan," tulis saksi itu di dalam laporan.

Karenanya Fikri meminta pemerintah menjamin setiap terpidana mati dapat menerima kunjungan tanpa hambatan. Durasi dan jumlah intensitas kunjungan pun diminta diperbanyak.

Selain itu, pertemuan antara terpidana dengan penasihat hukum pun diharapkan tidak diawasi sipir.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN MATI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Hendra Friana