tirto.id - “Saya mengusulkan sembilan, ketua DPR mengusulkan tujuh, ya sudah,” kata Jimly Asshiddiqie, ketua Panitia Seleksi Komisioner Komnas HAM 2017-2022.
Kesepakatan mengurangi jumlah komisioner Komnas HAM periode mendatang mengemuka saat Pansel berkonsultasi dengan para legislator di Senayan, 20 Februari lalu. Selain Jimly, lima orang lain yang terlibat dalam Pansel—Bambang Widodo Umar, Harkristuti Harkrisnowo, Makarim Wibisono, Siti Musdah Mulia, dan Zoemrotin K. Susilo—bertemu dengan Setya Novanto, Fadli Zon, Bambang Soesatyo, dan Supratman Andi Agtas.
Kesepakatan itu diakui Jimly memang tak sesuai aturan perundang-undangan. Pasal 83 dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan komisioner Komnas HAM berjumlah 35 orang. Namun, sejak undang-undang itu berlaku, jumlah komisioner tak pernah berjumlah 35 orang.
Zoemrotin, yang pernah menjadi komisioner Komnas HAM periode 2002-2007, mengatakan 35 orang sebagaimana tercantum dalam undang-undang itu tidak pernah terlaksana. Sebelum menjadi komisioner, Zoemrotin malang-melintang di dunia aktivisme dan penggiat LSM sejak 1975. Ia memaklumi angka 35 orang muncul dari semangat untuk menampung aspirasi dari pelbagai agama, aktivis, kepolisian, militer, dan sebagainya.
“Kita melihat ternyata jumlah itu tidak ada korelasinya dengan output-nya Komnas HAM,” kata Zoemrotin.
Jimly, yang pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, mengatakan alasan pengurangan itu demi "efektivitas kinerja Komnas HAM" serta meniru Komnas HAM di negara tetangga, yang berjumlah antara 5-7 orang. Malaysia memiliki 8 komisioner, sedangkan Filipina memiliki 5 komisioner.
“Supaya lebih efisien, lebih kuat, dan lebih kompak," ujarnya. "Jadi tidak terlalu banyak mewakili banyak aspirasi yang akhirnya tidak bisa membuat keputusan, tidak kolektif kolegial."
Alasan itu muncul lantaran kondisi Komnas HAM saat ini. Jumlah 13 komisioner periode sekarang dinilai tidak kompak, dan bermasalah.
Perseteruan sesama komisioner muncul hingga ke publik. Contohnya, pernyataan komisioner Natalius Pigai mengenai laporan sekelompok orang, yang menyebut diri "Alumni 212", soal apa yang disebut "kriminalisasi ulama" ke Komnas HAM. Pigai merespons ada "dugaan kriminalisasi ulama," termasuk penetapan tersangka terhadap Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam.
Pernyataan Pigai kemudian dibantah oleh Imadadun Rahmat, ketua Komnas HAM saat itu. “Pernyataan itu pernyataan pribadi Pak Pigai,” katanya.
Baca juga:
- Komnas HAM: Negara Terlibat dalam Dugaan Kriminalisasi Ulama
- Polisi Tepis Tuduhan Kriminalisasi Ulama dari Komnas HAM
Tidak hanya itu. Pergantian Ketua Komnas HAM setahun sekali justru menimbulkan konflik antar-komisioner. Pada 2013, Komisi III DPR pernah memanggil para komisioner karena rebutan mobil dinas Toyota Camry.
Benarkah Sedikit Komisioner akan Lebih Efektif?
Jimly Asshiddiqie juga menjadi Pansel Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017. Saat itu Pansel menyepakati jumlah komisioner Komnas HAM yang akan dipilih sebanyak 15 orang, dari semula 11 orang periode 2007-2012 (ketua Komnas HAM saat itu Ifdhal Kasim). Pansel lantas menyaring 30 nama ke DPR. Namun, DPR hanya memilih 13 orang.
Tafsiran atas jumlah komisioner Komnas HAM ini bikin tak ada ketetapan yang ajeg, meski sudah diatur dalam UU HAM, yang menyebut 35 orang. Lantaran selalu mengedepankan kompromi politik, antara Pansel dan DPR, jumlah komisioner berbeda-beda setiap periode.
Pada periode pertama, 1993-1998, komisioner berjumlah 25 orang (periode almarhum Asmara Nababan). Periode 1998-2002 berjumlah 22 orang (ketua Djoko Soegianto dan wakil ketua Saparinah Sadli). Periode 2002-2007 berjumlah 23 orang (ketua Abdul Hakim Garuda Nusantara dan wakil ketua Zoemrotin Susilo).
Pansel juga berasumsi bahwa terlalu banyak komisioner bakal mempersulit koordinasi. Faktanya tidak selalu begitu. Pada periode 2002-2007, misalnya, 23 komisioner justru lebih banyak menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Saat itu kerja-kerja Komnas HAM cukup bertenaga. Terbukti dari tiga kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil dibawa ke pengadilan, meski para pelaku justru bebas dari jerat hukum. Tiga kasus itu adalah Talangsari, Abepura, dan Timor Timur.
Zoemrotin, yang bekerja pada periode tersebut, mengatakan saat itu ada anggota Komnas HAM dari polisi dan militer. Namun, karena ada pembagian tugas yang jelas, kerja menjadi cepat dan terukur.
Dalam penanganan kasus, misalnya, setiap komisioner diberi batas waktu. Jika tidak selesai sesuai tenggat, laporan perkembangan dan kendala kasus harus dipresentasikan dan mesti mengajukan penambahan waktu secara rasional.
“Misalnya penyelidikan, harus selesai satu bulan atau dua minggu. Kalau dalam waktu dua minggu tidak selesai dan butuh tambahan waktu, kita itu harus presentasi dulu, apa yang belum, butuh waktu berapa lama lagi," cerita Zoemrotin. "Sekarang kan enggak. Mau nambah waktu sesukanya."
Pembagian peran juga lebih tegas. Zoemrotin misalnya hanya berkonsentrasi pada urusan internal organisasi. Ia bertugas memastikan hasil paripurna komisioner difasilitasi oleh Sekjen Komnas HAM dari pegawai negeri sipil.
“Jadi saya membangun hubungan dengan Sekjen, duduk bersama: 'Ini kegiatan anggaran diambilkan dari mana, seperti apa?' Sehingga smooth jalannya,” tambah Zoemrotin.
Dalam wawancara terbuka, calon komisioner Sandrayati Moniaga, komisioner Komnas HAM saat ini, mengeluh minimnya personel pada sub komisi pengkajian yang tanganinya. Para komisioner lebih banyak berkonsentrasi pada sub komisi pemantau yang menangani kasus.
Setidaknya ada 5 komisioner yang ada di sub komisi pemantauan, tetapi tidak satu pun kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diselesaikan, yang menjadi pekerjaan rumah mereka. Kasus pelanggaran HAM itu di antaranya Kasus Trisakti, Tragedi Mei 1998, Semanggi I dan II, penghilangan aktivis 1998-1999, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985.
Perubahan Organisasi tanpa Persiapan Matang?
Pengurangan jumlah komisioner kali ini kemungkinan berdampak pada perubahan di internal Komnas HAM. Sebab, memengaruhi kerja-kerja komisioner yang substansial, yakni menangani dan menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM, termasuk terjun ke lapangan.
Ujung tombak penanganan kasus akan diemban oleh staf serta kantor perwakilan di daerah. Saat ini Komnas HAM memiliki sekitar 350 staf termasuk di kantor perwakilan.
Dalam rapat dengan Komisi hukum, HAM, dan keamanan DPR pada 3 April lalu, Pansel Komisioner Komnas HAM menyampai skenario tujuh komisioner itu. Satu orang sebagai ketua, satu orang wakil ketua, dua orang untuk sub komisi pemantauan, dua orang untuk penyuluhan, dan satu orang mengurusi hubungan internasional.
Dengan skenario itu, sub komisi Komnas HAM juga berubah. Selama ini ada empat sub komisi di Komnas HAM: sub komisi mediasi, penyuluhan, pemantauan, dan pengkajian. Kemungkinan yang terjadi adalah penggabungan sub komisi atau mengisi sub komisi mediasi dan sub komisi pengkajian dengan staf.
Nur Kholis, Ketua Komisioner Komnas HAM, punya versi berbeda dari Pansel. Ia mengalokasikan tujuh komisioner dengan komposisi satu orang sebagai ketua, dua orang wakil ketua, dan empat orang di sub komisi.
“Salah satu yang krusial di sub komisi pemantauan. Saat ini ada ribuan kasus. Yang kita sekarang sedang lakukan adalah penguatan staf. Supaya nanti kalau ini menjadi tujuh (komisioner), staf siap take over pekerjaan komisioner, mulai melakukan investigasi dan lainnya,” kata Nur Kholis. Padahal selama ini konsentrasi kerja staf lebih sebagai sistem pendukung bagi komisioner.
Sayangnya, waktu untuk menyiapkan staf yang mumpuni ini pun mepet.
Nur Kholis dan komisioner lain hanya memiliki tenggang hingga November 2017 saat anggota Komnas HAM periode mendatang mulai bekerja. Padahal, pekerjaan lain masih menumpuk, salah satunya mengemban penyelidikan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu itu. Saat ini komisioner tengah membuat buku lima tahunan kerja Komnas HAM bagi komisioner yang baru.
Selain itu, internal Komnas HAM masih berbenah mengurusi masalah keuangan yang jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2016. BPK menemukan ada penyalahgunaan anggaran Komnas HAM, dari kegiatan fiktif, nota fiktif, pengeluaran uang fiktif, hingga kelebihan honor komisioner. BPK juga merekomendasikan rotasi sejumlah staf yang dianggap bermasalah.
“Laporan BPK itu lebih berat lagi," ujar Nur Kholis. "Kita sekarang hati-hati betul soal penggunaan anggaran. Kemarin sempat menghentikan kegiatan selama dua bulan untuk merespons temuan BPK."
Pendeknya, kita akan melihat kinerja komisioner Komnas HAM dalam sejumlah tantangan: Personel berkurang, beban kasus ribuan, keuangan bermasalah, sistem organisasi berubah, persiapan kapasitas staf yang sedang diburu tenggat.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam