Menuju konten utama
Zoemrotin K. Susilo

"Anggota Komnas HAM ke Depan Harus Mementingkan Organisasi"

Komisioner Komnas HAM mendatang harus bisa mengembalikan kepercayaan publik.

Header Avatar Zoemrotin K Susilo. tirto.id/Sabit

tirto.id - Panitia Seleksi (Pansel) Komnas HAM sudah memilih 14 nama calon Komisioner untuk diserahkan kepada komisi hukum, HAM, dan keamanan DPR RI. Dari 14 nama itu DPR akan memilih 7 orang sebagai komisioner Komnas HAM 2017-2022. Perubahan jumlah komisioner ini sempat ditanyakan oleh Komisi II DPR RI. Sebab, dalam Undang-Undang 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, jumlah Komisioner ada 35 orang.

Anggota Pansel Zoemrotin K. Susilo mengatakan perubahan itu demi efektifitas kerja para komisioner. Jumlah 13 komisioner periode sekarang dinilai terlalu banyak sehingga tidak efektif. Selain itu, berkaca dari negara tetangga, jumlah komisioner Komnas HAM hanya sekitar 5-7 orang.

“Kita melihat ternyata jumlah itu tidak ada korelasinya dengan output-nya Komnas HAM,” kata Zoemrotin saat wawancara dengan Mawa Kresna dari Tirto di kantor Komnas HAM, beberapa hari lalu.

Ia berharap, pengurangan jumlah komisioner ini bisa membawa perubahan bagi Komnas HAM secara kelembagaan. Zoemrotin mengatakan Pansel memilih dengan cermat nama-nama yang memang memiliki kompetensi dan bisa mengembalikan kepercayaan publik kepada Komnas HAM.

Bagaimana nasib penyelesaian kasus pelanggaran HAM dengan format baru komisioner Komnas HAM? Akankah hasil seleksi Pansel akan berbuah komisioner yang moncer atau justru sama bahkan buruk seperti komisioner sekarang?

Berikut wawancara dengan Zoemrotin Susilo yang pernah bekerja sebagai wakil ketua Komnas HAM periode 2002-2007.

Pansel merekomendasikan jumlah komisioner Komnas HAM menjadi 7 orang saja, bagaimana itu mulanya?

Sebetulnya dalam undang-undang itu jumlahnya 35, tidak ada minimal dan maksimal, hanya 35, titik. Mungkin saat menyusun Undang-Undang itu euforianya Komnas akan diisi dari berbagai macam pihak, mulai semua agama, ada macam-macam, polisi, militer, sehingga angka itu [jadi] 35. Tapi, sejak angka itu diundangkan, kita tidak pernah [mencapai] 35 [orang], paling banyak zaman saya, 23 komisioner periode 2002-2007.

Kita melihat ternyata jumlah itu tidak ada korelasinya dengan output-nya Komnas HAM. Di berbagai negara umumnya komisioner itu 5 atau 7. Jadi enggak ada yang sampai 13 atau sampai 23.

Atas dasar itu kita menghubungi DPR, diterima Setyo Novanto dan Fadli Zon. Kita mengajukan kalau tujuh bagaimana? Mereka sepakat. Kita juga melakukan hearing ke komisi III DPR: Bagaimana kalau tujuh saja komisioner komnas HAM? Saat itu, ya mungkin okelah. Daripada banyak, enggak jelas juga. Mungkin dengan tujuh lebih mudah koordinasi.

Komisi III DPR sempat mempertanyakan itu?

Jadi menurut mereka, tujuh itu belum final. Nanti pada dasarnya Pansel menyerahkan 14, nanti terserah, mau dipilih berapa.

Artinya Pansel membatasi hanya 14 saja?

Iya, kita kirim 14, supaya nanti dipilih 7. Dan itu gagasan sudah disampaikan. Tidak ditolak. Tapi kita enggak tahu. Politik, kan, berubah-ubah.

Tidak ada patokan yang jelas?

Ya.

Kenapa tujuh komisioner, apa rasionalisasinya?

Komnas HAM itu, kan, punya empat fungsi, yang kemudian disebut sub komisi. Kajian, Mediasi, Pemantauan, Pendidikan, pimpinan satu, wakil pimpinan satu. Dan satu [orang] yang kira-kira mengurus internal.

Untuk kasus nanti bagaimana?

Yang mengerjakan nanti harus staf. Staf fungsional diperkuat kualitasnya. Seperti sekarang itu, di [sub komisi] pamantauan, komisionernya banyak sekali, ada empat. Jadi akhirnya semuanya pergi.

Sekarang itu kalau komisioner sebaiknya seperti negara lain, komisioner itu membuat kebijakan dan pengambil keputusannya. Jadi yang kerja di lapangan itu staf. Sebetulnya komisioner, kan, juga belum tentu punya kemampuan fungsional, tapi punya pemahaman dan wisdom tentang HAM.

Kalau kemarin wawancara Sandrayati Moniaga, di sub komisi pengkajian, hanya ada satu orang. Itu bagaimana?

Nah itu problemnya. Kan, memang dulu enggak bagus, dulu setahunan (ganti pimpinan). Siapa memilih apa, bukan berpikir memajukan organisasi. Untuk memajukan Komnas HAM harus ada yang bisa kajian, bisa rata [jumlah personelnya per sub komisi]. Sehingga jumlah komisioner dibagi. Tidak seenaknya, karena aku senang di kajian, aku senang di pemantauan, ya sudah di situ saja. Itu menurut saya kurang pas. Harusnya menaruh [perhatian], kebutuhan organisasi lembaga ini apa? Sehingga untuk memenuhi visi institusi dibutuhkan orang di komisi seperti apa. Tidak menurut kesukaan.

Anda, kan, satu-satunya Pansel yang pernah bekerja di Komnas HAM. Bagaimana melihat ini?

Dulu waktu saya jadi wakil ketua, dan Pak Hakim [Garuda Nusantara] sebagai ketua, saya benar-benar mengurusi di dalam. Kerjaan saya itu memastikan keputusan paripurna difasilitasi Sekjen. Jadi, saya membangun hubungan dengan Sekjen, duduk bersama: 'Ini kegiatan anggaran diambilkan dari mana, seperti apa?' Sehingga smooth jalannya. Nah, sekarang ini, kan, tidak. Komunikasi dengan Sekjen itu tidak terjadi dengan baik.

Kondisi Komnas HAM di masa Anda seperti apa? Catatan saya, ada tiga kasus yang selesai di periode itu.

Sebetulnya begini, zaman saya itu masih ada militer dan polisi. Memang banyak pihak agak resisten dengan militer dan polisi, tapi saya melihat positifnya. Kalau semua komisioner itu LSM, permisif. Saya merasakan di dalam bekerja, ada polisi dan militer yang punya disiplin tinggi. Kita sebagai LSM itu harus perform kerjanya. Misalnya, penyelidikan, harus selesai satu bulan, atau dua minggu. Kalau dalam waktu dua minggu tidak selesai dan harus butuh tambahan waktu, kita itu harus presentasi dulu, apa yang belum, butuh waktu berapa lama lagi. Sekarang, kan, enggak, mau nambahin waktu berapa saja sesukanya.

Tapi personel pengaruh?

Individu? Sangat pengaruh. Saya sebetulnya ke depan ini yang jadi komisioner melepaskan ego pribadi, harus mementingkan organisasi. Misalnya, ada mosi tidak percaya. Mosi tidak percaya itu di dalam boleh berantem keras, tapi ya jangan kemudian keluar mosi tidak percaya. Itu, kan, egonya bertentangan. Itu artinya tidak memperhatikan, tidak mengutamakan, kepentingan organisasi. Ini, kan, masyarakat melihat jadi tertawa saja. Itu boleh diperdebatkan di dalam, tapi keluar hanya satu. Saya melihat yang sekarang ini, kan, semuanya boleh ngomong sesuai dengan persepsi HAM-nya masing-masing.

Harus ada juru bicaranya?

Idealnya seperti itu. Tapi ya seandainya tidak, apa yang menjadi keputusan paripurna harus confirmed. Jadi, misalnya pandangan soal hukuman mati, zaman saya banyak yang tidak setuju, tapi ada juga yang setuju. Tapi kalau stand point-nya Komnas HAM sudah tidak setuju, maka keluar semua tidak setuju. Misalnya, ada yang setuju, dia harus ngomong bahwa ini pendapat pribadi. [Sekarang] ini, kan, tidak. Mau pendapat pribadi atau organisasi sudah gado-gado semua.

Tapi catatan saya, tiga berhasil diselesaikan, meski putusannya mengecewakan?

Talangsari, yang pimpin saya, lupa saya.

Tapi sesudah itu tidak ada kasus yang selesai.

Ya sebetulnya tidak selesainya itu, kan, di Kejaksaan. Masalahnya, pelanggaran HAM berat itu tidak ada kemauan politik dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Makanya saya berharap Jokowi yang tidak punya beban politik pelanggaran HAM berat mestinya harus berani.

Tapi merekrut menteri orang-orang yang dituduh melanggar HAM?

Jadi itu susah, deh.

Pansel ini dibentuk oleh komisioner, sementara banyak komisioner yang maju mencalonkan diri. Ini bagaimana?

Idealnya Pansel itu harusnya tidak dipilih komisioner. Karena apabila ada yang running lagi, mereka bisa memilih yang kira-kira bisa menjadi back up saya: “Back up saya siapa nih?” Ini, kan, bisa jadi kompromi. Harusnya, seandainya diputuskan paripurna, tapi yang running tidak boleh ada di rapat itu. Jadi, misalnya itu ada 7 orang, enam saja yang memutuskan.

Mekanisme yang menentukan Pansel harus dari Komnas HAM sendiri atau bisa lembaga lain?

Memang komisioner-komisioner kita itu beda-beda. Ombudsman, KPK, Komisi Yudisial, itu Setneg yang menentukan Pansel. Di sini (Komnas HAM) [lewat] paripurna, kemudian ke DPR.

Komnas Perempuan memang basisnya Kepres (Keputusan Presiden). [Lewat] paripurna juga, tapi hasil Pansel yang memutuskan itu paripurna lagi. Ini semakin jelek. Akhirnya diseleksi oleh paripurna, jadi jeruk makan jeruk.

Mekanisme anggota Komnas HAM juga hampir mirip?

Cuma ini ada di DPR. Nah, [komisioner Komnas HAM] boleh menentukan Pansel, tapi prosesnya di DPR.

Bagaimana jika DPR memutuskan 14 komisioner, artinya semua?

Ya, silakan saja. DPR, kan, lembaga politik.

Tiga kasus pelanggaran HAM zaman Anda, itu selesainya bagaimana? Ada Timor Timur...

Timor Timur agak beda. Timor Timur itu pelaku dari Indonesia semua bebas, yang kena orang Timor Leste. Itu karena ada tekanan dari internasional [sehingga kasus selesai]. Jadi pengadilan [di Indonesia] dibikin saja, akhirnya bebas-bebas.

Kalau Abepura?

Kasus itu, kan, tidak masa lalu, diadili di pengadilan Makassar, meski keputusannya juga seperti itu.

Tanjung Priok?

Itu juga diselesaikan meski keputusannya mengecewakan. Memang agak beda, ya. Keputusan mengecewakan dengan proses hukum yang berjalan itu, kan, hal yang berbeda. Otak [pelaku] Tanjung Priok tidak kena.

Kenapa Komnas HAM sekarang tidak ada yang selesai mengusut kasus HAM?

Sebetulnya begini, menurut saya yang Talangsari itu sudah disetujui oleh DPR. Pada saat disetujui mereka, kurang satu bulan berakhir masa periode. Itu tidak berarti yang menlanjutkan tidak hand over, itu bisa delete lagi. Itu, kan, Hendropriyono yang paling keras.

Sampai sekarang banyak kasus yang bolak-balik dari kejaksaan. Bagaimana solusinya?

Kalau aturannya, habis dari Komnas HAM kirim ke kejaksaan, ada batas waktu. Kejaksaan itu kalau kita kirim dalam waktu beberapa bulan harus direspons, dengan menuliskan yang kurang ini, yang kurang itu. Sehingga Komnas HAM tinggal melengkapi yang kurang. Kalau cuma diberi dengan alasan belum bisa diterima doang, ini, kan, susah. Atau komnas HAM harus [mengajukan] tersangka, itu [sudah] bukan ranahnya Komnas HAM.

Kasus HAM bakal sampai begitu terus?

Menurut saya, tergantung Presiden. Kalau presiden bilang kejaksaan menindaklanjuti, kejaksaan pasti menindaklanjuti. Kalau zaman saya, kalau mentok di kejaksaan, kami ke DPR. Nah, sekarang dengan DPR juga tidak akur. Dengan komisi III sudah menyebut satu-satu orang Komnas HAM yang begini, begitu. Tidak ada kerja sama [yang] baik.

Baca juga artikel terkait KOMNAS HAM atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Indepth
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam