Menuju konten utama

Menilik Rekam Jejak 14 Calon Komisioner Komnas HAM

Komisi III DPR akan memilih 7 nama dari 14 calon yang diajukan panitia seleksi sebagai calon komisioner mendatang. Siapa saja mereka?

Menilik Rekam Jejak 14 Calon Komisioner Komnas HAM
Payung hitam berisi protes terhadap penuntasan kasus Tragedi 98 pada Aksi Kamisan, Jakarta, Kamis (3/8). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - “Saya tidak pernah menerima satu peser pun uang, Pak!”

Kalimat itu diucapkan Sandrayati Moniaga, komisioner Komnas HAM 2012-2017, saat wawancara terbuka dalam seleksi di Gedung Mahkamah Konstitusi, 21 Juli lalu. Ia memberikan tekanan pada kata “saya” dan “satu peser pun uang” dengan melambatkan tempo tetapi lugas.

Bantahan itu terlontar dari mulut Sandra setelah Panitia Seleksi Komisioner Komnas HAM 2017-2022 mencecarnya dengan pertanyaan terkait kegiatan Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Kegiatan itu diselenggarakan oleh Komnas HAM di 7 kota (Medan, Pontianak, Rangkasbitung, Mataram, Palu, Ambon, dan Abepura) sepanjang Mei - Desember 2014 bersama lembaga lain, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, Kementerian Kehutanan, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat.

Makarim Wibisono, anggota Pansel, memulai pertanyaan terkait dana dari donatur untuk menerbitkan empat serial buku Inkuiri Nasional pada Maret 2016. Namun, tuduhan mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB itu, dana tersebut ditahan sendiri oleh Sandra dan proyek dikerjakan dengan melibatkan suami Sandra. Selain itu, dalam upaya memperoleh pendanaan, Sandra dituding tak pernah mengonsultasikan kepada Ketua Komnas HAM saat itu, Hafid Abas.

Hafid Abas secara terpisah mengatakan jika bantuan itu diberikan kepada Komnas HAM tapi melalui Sandra. Besaran dana, menurut Hafid, sekitar Rp2,6 miliar. Namun, ia mengaku lupa lembaga donor yang memberikan dana tersebut.

“Pokoknya, yang paling tahu itu Sandra, dari mana dana itu. Cukup besar, dan itu baru satu. Yang lain-lain, kan, juga banyak. Kalau tidak salah waktu itu 200 ribu dolar, jadi Rp2,6 miliar,” kata Hafid kepada reporter Tirto, 5 Agustus lalu.

Sandra segera membantah tudingan-tudingan itu. Menurutnya, tidak ada sepeser pun dana untuk kegiatan tersebut diberikan ke Komnas HAM melalui dirinya. Bantuan dana itu diberikan secara langsung ke beberapa lembaga yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

“Misalnya, Komnas Perempuan, dapat dari UNDP untuk kegiatan inkuiri, ya itu dananya ke Komnas Perempuan, tidak ke saya atau Komnas HAM,” katanya, menyebut Badan Program Pembangunan PBB yang turut membiayai kegiatan soal penyelidikan hak masyarakat hukum adat tersebut. Begitu pula dengan lembaga lain.

Soal dana Rp2,6 miliar, Sandra berkata "tidak tahu" dana apa yang dimaksud Hafid. Sebab, dalam pelaksanaan Inkuiri Nasional, Komnas HAM tidak menerima dana dari pihak manapun kecuali anggaran dari APBN.

“Semua kegiatan itu saya laporkan ke Paripurna Komnas HAM. Jadi seharusnya sudah jelas, tidak mungkin kalau Pak Hafid tidak tahu,” ujar Sandra kepada reporter Tirto.

Meski muncul polemik soal dugaan penyalahgunaan dana itu, Pansel Komnas HAM memutuskan Sandra terpilih ke dalam 14 calon komisioner Komnas HAM 2017-2022. Dalam waktu dekat, 14 nama itu akan disetor ke komisi III DPR, yang mengurusi isu hukum, HAM, dan keamanan, untuk kemudian memilih tujuh orang menjadi komisioner.

Selain Sandra, beberapa nama calon komisioner yang lolos seleksi terakhir dari tangan Pansel juga sempat disorot. Ahmad Taufan Damanik, misalnya, dosen politik di Universitas Sumatera Utara, diminta penjelasan soal tudingannya menjadi tim sukses Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Gatot kini ditangkap KPK karena kasus suap.

Taufan tak menampik kedekatannya dengan Gatot. Menurutnya, Gatot adalah koleganya sesama dosen di USU. Sehingga saat Gatot maju sebagai gubernur, Taufan "membantu" Gatot menyusun strategi kampanye.

“Karena dia tahu saya ahli politik, dia minta saya untuk membantu. Jadi hubungan saya dengan dia itu membantu mendesain kampanye, menyusun visi-misi, kemudian waktu itu menghubungkan dengan aktivis-aktivis,” kata Taufan saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Taufan juga membantah kedekatannya dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selama ini ia hanya diminta sebagai pembicara dalam acara-acara dua organisasi itu.

“Saya pernah jadi pembicara di acara HTI. Ada yang bertanya, apakah demokrasi punya kelemahan? Saya jawab, ya. Karena hasil penelitian saya begitu. Kita tahu ada politik uang dan lain-lain. Itu kelemahan. Tapi, kalau saya ditanya, pilih demokrasi atau khilafah, saya tentu pilih demokrasi,” tegas Taufan.

Selain sebagai dosen, Taufan aktif dalam kegiatan perlindungan terhadap hak anak. Taufan pernah menjabat sebagai perwakilan Indonesia untuk Komisi Hak Anak di Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC) tahun 2013–2016.

Calon komisioner yang juga akademisi adalah Judhariksawan, dosen hukum di Universitas Hassanuddin, Makassar. Ia pernah menjabat Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) periode 2013-2016. Saat menjabat sebagai ketua, Judha pernah mengeluarkan surat edaran yang isinya diskriminatif terhadap kelompok LGBT.

Pada 23 Februari 2016, ia menerbitkan surat tersebut. Isinya, "melarang muatan acara yang menampilkan host pria, talent maupun pengisi acara dengan tampilan gaya berpakaian kewanitaan, riasan kewanitaan, bahasa tubuh kewanitaan, gaya bicara kewanitaan, menampilkan promosi seorang pria berlaku kewanitaan, menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita, dan menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering digunakan kalangan pria kewanitaan."

Alasannya, apa yang disebut "kewanitaan" itu "tidak sesuai dengan ketentuan penghormatan norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat serta perlindungan anak-anak dan remaja."

Isi edaran itu sulit dinalar, sebab tak ada acuan yang jelas apa yang dimaksud dengan gaya, gerak, atau bicara kewanitaan. Ada bias gender yang tercermin dalam surat edaran itu.

Terkait hal itu, Judha menolak menjawab pertanyaan reporter Tirto. “Saya tidak mau komentar dulu, nanti setelah selesai prosesnya," katanya, "kemarin saya juga sudah jelaskan ke Pansel."

Calon lain adalah Muhammad Choirul Anam, seorang advokat dan penggiat HAM di HRWG. Dalam sesi wawancara, Pansel meminta klarifikasi dari Anam soal keterlibatannya dalam kasus Aiptu Labora Sitorus, seorang polisi, terdakwa kasus pembalakan ilegal di Papua.

Anam membantah, “Saya bukan pengacara Labora Sitorus. Kalau memang ada buktinya, kita bisa cek buktinya."

Dari informasi yang himpun redaksi Tirto, Anam pernah diutus oleh salah seorang komisioner Komnas HAM untuk melindungi hak asasi dalam kasus itu. Namun, anggota Pansel Harkristuti Harkrisnowo punya informasi berbeda.

“Informasi dari staf Komnas HAM menyatakan tidak benar bahwa keterlibatan adalah bagian dari penugasan Komnas HAM," ujarnya.

Calon Komisioner dari Perempuan

Selain Sandrayati Moniaga, ada empat calon lain dari kalangan perempuan yang lolos seleksi. Mereka adalah Arimbi Heroepoetri, Roichatul Aswidah, Sondang Frishka Simanjuntak, dan Sri Lestari Wahyuningroem.

Roichatul Aswidah saat ini komisioner Komnas HAM 2012-2017. Ia mengurusi sub komisi mediasi. Pada periode ini, Komnas HAM mendapat sorotan dari publik terkait kinerja yang buruk dan konflik internal berebut jabatan ketua yang berganti tiap tahun.

Badan Pemeriksa Keuangan bahkan dua kali berturut-turut menyatakan disclaimer—menolak memberikan opini—kepada Komnas HAM. Artinya, menurut BPK, ada indikasi bahwa manajemen keuangan Komnas HAM macet dalam transparansi dan akuntabilitas.

Dianto Bachriadi, Salah satu komisioner, dinonaktifkan lantaran penyalahgunaan dana sewa rumah dinas. Sayangnya, para komisioner lain memilih diam dan terkesan menutupi kasus tersebut.

Baca laporan khusus kami pada Oktober 2016: Mengendus Kejanggalan Keuangan Komnas HAM

Nama lain, Sondang Frishka Simajuntak, adalah aktivis yang pernah bergabung di LBH Jakarta dan Solidaritas Nusa Bangsa. Sondang pernah terlibat mendorong pembentukan Undang-Undang No. 40/ 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada 2008 Sondang bergabung di Komnas Perempuan sebagai staf dan hingga saat ini masih tercatat sebagai badan pekerja Komnas Perempuan.

Arimbi Horoepoetri bukan pendatang baru di dunia HAM. Arimbi pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan 2010-2014. Ia banyak terlibat di sub komisi pemantauan yang langsung berhadapan dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Saat ini Arimibi bekerja sebagai konsultan.

Sri Lestari Wahyuningroem juga punya rekam jejak yang panjang di bidang HAM. Sejak kuliah di Universitas Indonesia, Wahyuningroem punya perhatian dalam penelitian pelanggaran HAM. Ia juga aktif dalam advokasi serta pernah terlibat sebagai salah satu organisator Pengadilan Rakyat Internasional 1965 (IPT 65). Saat ini ia masih aktif sebagai peneliti dan dosen ilmu politik di Universitas Indonesia.

Infografik HL Indepth Komnas HAM

Aktivis LSM hingga Mantan Dubes

Tahap seleksi calon komisioner Komnas HAM semula didominasi oleh penggiat LSM dan akademisi. Namun, setelah 14 nama terpilih oleh Pansel pda Rabu (2/8) pekan lalu, hanya segelintir penggiat LSM yang lolos. Tiga nama yang tersisa adalah Amiruddin Al Rahab, Antonio Pradjasto Hardojo, dan Beka Ulung Hapsara.

Amiruddin punya konsentrasi isu yang lebih spesifik, yakni isu masalah HAM di Papua lewat Papua Resource Center. Ia pernah bekerja di Elsam, sebuah organisasi HAM berbasis di Jakarta, dan anggota Tim Peneliti Papua di Pusat Penelitian Politik LIPI.

Antonio pernah aktif di beberapa LSM, di antaranya di Institut Sosial Jakarta, Tifa, dan Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos). Saat ini, ia bekerja di Dewan Pers. Antonio pernah menjadi staf dan koordinator bidang pengkajian di Komnas HAM pada masa kepimpinan Marzuki Darusman (1998-2003).

Beka Ulung Hapsara adalah penggiat LSM termuda yang lolos dalam 14 calon komisioner Komnas HAM. Ia lahir pada April 1975 dan kini aktif di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), sebuah organisasi nonpemerintah yang berkonsentrasi pada isu demokratisasi Indonesia. Sebelum di INFID, Beka pernah menjadi fasilitator dan konsultan di Friedrich Naumann Foundation, sebuah yayasan Jerman.

Calon lain di luar aktivis LSM ada Munafrizal Manan, dosen hubungan internasional di Universitas Al Azhar Indonesia, Nama lain adalah Hairansyah, anggota KPU Provinsi Kalimantan Selatan, dan Bunyan Saptomo, mantan duta besar Indonesia untuk Bulgaria.

Dari tiga nama ini, Bunyan Saptomo sempat menjadi perhatian saat dialog terbuka pada tahap seleksi. Bunyan mengatakan bahwa hak asasi manusia bukan prinsip dan landasan universal dan kasus pembantaian massal 1965 bukan pelanggaran HAM.

Penilaian dari Koalisi Selamatkan Komnas HAM

Koalisi Selamatkan Komnas HAM mencatat masih ada beberapa nama dari ke-14 calon komisioner yang dianggap belum memenuhi kriteria, meski tidak menyebutkan siapa saja nama-nama tersebut.

Dari aspek kompetensi dan pemahaman HAM, misalnya, Koalisi mencatat ada dua calon yang bermasalah. Seorang calon memiliki pemahaman yang mengabaikan prinsip universal HAM. Ada satu calon yang lemah dalam memahami pelibatan TNI di ranah sipil.

Dari aspek integritas, ada tiga calon yang bermasalah. Satu orang diduga menjadi tim sukses dan dekat dengan kepala daerah yang terlibat korupsi; satu orang diduga menjadi pendamping hukum seorang terdakwa kasus TPPU dan perusakan hutan serta menyampaikan keterangan yang tidak benar, dan satu orang lagi diduga terlibat konspirasi dengan perusahaan saat menjabat posisi di sebuah lembaga negara.

Soal independensi, ada dua calon yang bermasalah. Satu orang diduga berafilisasi dengan parpol, organisasi intoleran, dan menjabat posisi di sebuah badan usaha milik daerah. Satu orang lain diduga terlibat konspirasi dengan perusahaan dengan memanfaatkan posisinya di sebuah lembaga.

Dari segi kapasitas, menurut Koalisi, ada 3 calon yang punya catatan negatif. Dua orang bermasalah di antaranya dalam hal komunikasi, kerjasama, kinerja, dan kemampuan menjalankan prinsip manajerial. Satu orang bermasalah dalam hal komunikasi karena dinilai rekan kerja hanya mengedepankan pencitraan di depan publik saja.

Baca juga artikel terkait KOMNAS HAM atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam