tirto.id - Rumah warna merah bata di kavling A2, Perumahan Griya Mitra Insani 2, tampak sepi. Rumput di halaman tumbuh tak terawat. Dinding dan jendela kaca berdebu. Selembar kertas bertuliskan “Kantor Pemasaran”, terpampang di kaca jendela depan.
Melalui jendela kaca yang transparan, terlihat kondisi di dalam rumah yang juga tak terawat. Seperangkat komputer, telepon kabel, mebel, serta peralatan dapur tampak berdebu. Tidak ada tanda-tanda penghuni di dalamya.
Rumah yang terletak di Kelurahan Jati Ranggon, Jati Sampurna, Kota Bekasi itu adalah rumah yang disewa oleh Dianto Bachriadi, Wakil Ketua Komnas HAM non aktif sebagai rumah dinas. Rumah dinas merupakan fasilitas dari Komnas HAM bagi para Komisioner yang tidak berdomisili di Jakarta. Anehnya, sejak disewa tahun 2013 hingga 2016, rumah tidak pernah ditempatinya.
Mardi, satpam perumahan mengatakan, sejak awal rumah tersebut merupakan kantor pemasaran Perumahan Griya Mitra Insani 2. Dia tidak pernah mendengar nama Dianto Bachriadi sebagai penyewa dan penghuni rumah seluas 60 meter persegi tersebut.
“Nggak ada yang namanya Dianto. Mungkin itu orang baru yang membeli rumah ini, karena katanya memang baru saja laku. Dari dulu, rumah ini menjadi kantor pemasaran,” kata Mardi saat ditemui tirto.id, pada Jumat (7/10/2016).
Penelusuran tirto.id ke rumah dinas Dianto sejalan dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahwa rumah dinas Dianto merupakan rumah dinas fiktif. Berdasarkan pemeriksaan BPK, rumah dinas fiktif itu menjadi modus pencairan uang sewa rumah dinas sebesar Rp330 juta atau Rp11 juta per bulan.
Kongkalikong Sewa Rumah Dinas
Lalu bagaimana asal muasal munculnya rumah dinas fiktif tersebut?
Pada pertengahan tahun 2013, Dianto mengajukan rumah dinas lantaran tidak berdomisili di Jakarta. Dianto lantas mengajukan rumah di Bekasi untuk disewa sebagai rumah dinasnya. Tanpa ada kunjungan dan pengecekan rumah, pihak Komnas HAM menyetujui sewa rumah tersebut.
Dalam akta perikatan perjanjian sewa, diketahui pihak pemberi sewa adalah Zulfi Bachrianov, pegawai pemasaran di Perumahan Griya Mitra Insani 2 yang juga teman Dianto.
Secara bertahap, Komnas HAM pun membayar sewa rumah tersebut dengan mentransfer ke rekening Zulfi. Total uang yang dikeluarkan Komnas HAM untuk sewa rumah dinas sebesar Rp390 juta dengan rincian, biaya sewa Rp330 juta, serta PPN dan PPh masing-masing sebesar Rp30 juta.
Selama pembayaran sewa berlangsung sejak 2013, rumah dinas ternyata tidak pernah ditempati oleh Dianto. Rumah justru tetap menjadi kantor pemasaran Perumahan Griya Mitra Insani 2 tempat Zulfi bekerja. Tentu tidak lazim. Mengapa rumah yang sudah dibayar oleh Komnas HAM untuk rumah dinas Komisioner Dianto tidak pernah ditempati dan justru menjadi kantor pemasaran?
Pertanyaan pun terjawab ketika BPK melakukan pemeriksaan rekening koran Dianto. Berdasarkan catatan rekening Dianto, terlihat Zulfi mentransfer kembali uang yang diterima dari Komnas HAM ke rekening pribadi Dianto. Tranfer kembali uang tersebut dilakukan pada bulan Mei 2015, September 2015 dan Januari 2016 ke rekening Bank Permata milik Dianto. Pada Maret 2016, transfer dari Zulfi kembali dilakukan melalui rekening Dianto di Bank Mandiri.
Transfer kembali uang tersebut, menunjukkan bahwa sejak awal sewa rumah dinas itu hanya akal-akal untuk mencairkan anggaran sewa rumah dinas komisioner. Uang ternyata tidak benar-benar digunakan untuk membayar sewa. Tetapi hanya singgah di rekening Zulfi sebelum akhirnya berpindah ke rekening pribadi Dianto. Sementara rumah dinas tidak pernah ada.
Dugaan Korupsi
Dewan Kehormatan Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron menjelaskan, dugaan penyalahgunaan anggaran untuk rumah dinas itu direspons cepat oleh Komnas HAM. Pada paripurna Komnas HAM bulan September 2016, Dianto resmi dinonaktifkan dari Komisioner Komnas HAM. Namun sebelum dinonaktifkan, Dianto sudah terlebih dahulu mengambil cuti dengan alasan kesehatan.
“Karena sudah cuti duluan dengan alasan kesehatan, lalu kita anggap nonaktif. Per Oktober ini sudah nonaktif. Kita memberikan batas waktu sampai bulan Desember agar Dianto mengundurkan diri,” kata Khoiron pada tirto.id, Jumat (7/10.2016).
Khoiron mengatakan, berdasar laporan BPK, kasus yang melibatkan Dianto itu bukan hanya merugikan negara, tetapi sudah mengarah pada tindak pidana korupsi. “Kita akhirnya memutuskan Pak Dianto untuk mengundurkan diri segera,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat justru berpendapat berbeda. Menurutnya, kasus Dianto tidak perlu dilanjutkan ke ranah pidana. Sebab berdasarkan rekomendasi BPK, Dianto hanya diminta mengembalikan kerugian negara sebesar Rp330 juta.
“Pak Dianto sudah mengembalikan kerugian negara seratus persen. Dalam sistem pertanggungjawaban keuangan negara, kalau rekomendasi sudah dipenuhi, kerugian negara dikembalikan, tidak perlu mengarah kepada pidana,” ungkapnya.
Masih menurut Imdadun, Dianto salah memahami penggunaan anggaran terkait sewa rumah dinas Komisioner. “Jadi ada kesalahan pemahaman bahwa karena ini (anggaran sewa rumah dinas) untuk saya, jadi saya berhak untuk menggunakan demi kepentingan saya,” terang Imdadun.
Saat dikonfirmasi, Dianto enggan menjelaskan kenapa uang pembayaran sewa rumah bisa kembali ke rekening pribadinya. Menurutnya, masalah tersebut sudah selesai dan dia sudah mengembalikan sesuai rekomendasi BPK.
“Baca dilaporan BPK saja. Sudah ada kan di situ? Itu kan sudah ada pemeriksaan BPK. Sudah menggunakan pemeriksaan BPK, itu sudah selesai. Sudah dikembalikan,” kata Dianto kepada tirto.id, pada Jumat (14/10/2016).
Dianto pun menegaskan kapan pengembalian dilakukan. “Dikembalikan bulan apa ya? September atau Agustus, saya tidak ingat persis. Tanggalnya saya tidak ingat. Anda baca laporan di BPK saja deh. Saya tidak mau menimbulkan polemik baru,” katanya.
Sementara soal cuti karena alasan kesehatan yang diajukan, Dianto menjelaskan jika memang sejak bulan Mei sudah sakit dan sudah dua kali menjalani operasi. Namun, Dianto enggan membeberkan sakit yang dideritanya.
“Saya memang sakit-sakitan. Saya baru masuk rumah sakit. Sejak bulan Mei saya itu sudah sakit. Bolak-balik rumah sakit. Operasi dua kali. September mengajukan cuti. Ya lihat perkembangannya saja. Kalau saya sehat, nanti saya bisa kembali,” ujar Dianto.
Ketika ditanya soal Dewan Kehormatan Komnas HAM yang memintanya mengundurkan diri dari Komnas HAM, Dianto enggan menanggapi. “Itu tanya saja ke mereka, karena mereka yang menyatakan itu,” pungkasnya.
Sikap Lembek Komnas HAM
Aktivis Indonesia Corruption Wacht (ICW) Emerson Yuntho menegaskan bahwa tindakan penyalahgunaan anggaran sewa rumah dinas oleh Dianto sudah masuk dalam ranah pidana korupsi. Sebab, syarat-syarat terpenuhinya sebuah tindak pidana korupsi sudah terlihat jelas.
Unsur pertama ada kerugian negara. Apalagi laporan BPK sudah jelas menyatakan bahwa penyalahgunaan anggaran sewa rumah dinas fiktif itu merugikan negara. Unsur kedua, penyalahgunaan wewenang. Dianto sebagai Komisioner menyalahgunakan fasilitas yang diberikan oleh negara. Ketiga adanya niat jahat dan memperkaya diri sendiri, hal itu terlihat dari transfer kembali uang sewa dari rekening Zulfi ke rekening pribadi Dianto.
“Yang jadi pertanyaan, apakah kalau tidak ada temuan BPK uang itu akan tetap dikembalikan ke negara? Kalau melihat polanya, ini untuk kepentingan pribadinya,” kata Emerson.
Emerson menegaskan, dalam sebuah tindak pidana korupsi, meski kerugian negara sudah dikembalikan, proses pidana harus tetap dilakukan. Oleh sebab itu, Emerson mempertanyakan sikap lembek Komnas HAM yang hanya menonaktifkan dan meminta Dianto mengundurkan diri. Seharusnya, lanjut Emerson, Komnas HAM bisa memberikan sanksi dipecat dengan tidak hormat untuk Dianto.
Emerson pun meminta aparat penegak hukum, yakni polisi, kejaksaan atau KPK untuk turun menangani kasus ini. Meski nilainya kecil, namun akan menjadi preseden buruk jika dibiarkan. “Sayang sekali kalau cuma begitu. Ini akan jadi preseden buruk,” jelasnya.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti