tirto.id - Nota fiktif, tiket fiktif, kegiatan fiktif, kuitansi fiktif, juga perjalanan dinas fiktif. Semua yang serba fiktif ini agaknya sudah lazim ditemukan di dalam berbagai laporan keuangan di hampir setiap birokrasi pemerintahan dan lembaga di negeri ini. Mereka yang menganut azas sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukitpun melakukan kecurangan kecil-kecilan. Meski jika diakumulasi nilainya tak lagi kecil.
Gambaran perilaku korup birokrat terlihat dalam laporan pemeriksaan BPK terhadap Komnas HAM. Mulai dari nota fotokopi senilai hanya Rp19.000 hingga jutaan rupiah terdeteksi sebagai nota fiktif. Lagi-lagi, nilai per itemnya memang kecil. Namun, jika diakumulasi, total kerugian negara akibat kecurangan kecil-kecilan itu mencapai sekitar Rp800 juta.
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri mengatakan, kecurangan semacam itu sebenarnya banyak terjadi di hampir semua birokrasi di Indonesia. Modusnya pun hampir sama.
“Soal perjalanan dinas fiktif, ada tiket fiktif, ada yang dilakukan oleh satu orang ke dua kota berbeda, atau dua orang berbeda punya nomor seri tiket yang sama, uang saku yang tidak sesuai ketentuan, kegiatan enam hari dibuat tiga hari. Itu modus yang umum yang terjadi di birokrasi,” kata Hendri kepada tirto.id, pada Selasa (11/10/2016).
Hendri menjelaskan, ICW pernah beberapa kali mendapat laporan terkait korupsi kecil-kecilan semacam itu. Ada pejabat Eselon I dan Eselon II yang tidak datang dalam suatu kegiatan tetapi tetap meminta honor.
“Itu jelas kegiatan fiktif, tapi dia minta uang. Itu pidana korupsi. Masalahnya adalah apakah penegak hukum mau mengusut atau tidak?” ungkapnya.
Selama ini, korupsi kecil-kecilan semacam itu jarang sekali diungkap. Pertama, jumlahnya terlalu kecil. Kedua, terlalu banyak kasus korupsi sejenis yang nantinya harus ditangani penegak hukum. Akibatnya, korupsi kecil-kecilan tidak menjadi prioritas penegak hukum.
Niat dan Kesempatan
Dalam beberapa kasus yang pernah ditemukan oleh ICW, ada sejumlah masalah yang memicu munculnya korupsi kecil-kecilan di birokrasi. Pertama memang karena niat jahat, sejak awal ingin memperkaya diri sendiri. Kedua, ada kesempatan yang disebabkan lemahnya sistem pengawasan internal.
Soal niat jahat, biasanya sejak awal dari perencanaan sudah dilakukan mark up anggaran. Harga barang yang dibeli lebih mahal dari harga standar. Selain itu juga ada belanja yang berlebih. Contohnya membeli kertas puluhan rim untuk satu kegiatan. Namun, yang dipakai hanya beberapa rim, sementara sisa kelebihan kertas dijual kembali.
“Ada yang seperti itu. Kertas itu yang paling banyak kasusnya. Dijual lagi. Nanti kalau ada kegiatan berikutnya, beli lagi. Yang seperti ini memang sudah ada niat jahat sejak awal,” ujar Hendri.
Selain itu, modus lain adalah kongkalikong dengan toko tertentu untuk melakukan belanja fiktif. Nantinya uang yang diberikan ke toko, dikembalikan lagi ke kantong pribadi pagawai yang bertugas. “Ada yang via transfer, ada juga yang cash. Sudah kongkalikong seperti itu,” tambahnya.
Soal lemahnya sistem pengawasan internal memang membuka kesempatan bagi birokrat untuk melakukan korupsi kecil-kecilan. ICW pernah memergoki ada beberapa birokrat yang menyediakan nota kosong dari berbagai jenis toko hingga warung makan. Nota kosong itu siap digunakan kapan saja untuk keperluan pertanggungjawaban kegiatan.
Semula nota kosong itu disiapkan untuk mempermudah membuat pertanggungjawaban. Namun, keberadaan nota kosong itu membuka kesempatan untuk melakukan mark up.
“Ada kegiatan yang terkadang tidak masuk perencanaan, kemudian memakai anggaran dari tempat lain. Yang jelas itu maladministrasi, tidak akuntabel. Tapi sepanjang kegiatan itu ada, menurut saya sih nggak papa. Yang masalah itu kegiatan ada tapi sebagian uang masuk kantong pribadi,” beber Hendri.
Sistem yang Ideal
Masalah korupsi di birokrasi sebenarnya bisa dicegah dengan menggunakan sistem pengawasan yang baik. Mulai dari perencanaan, penganggaran, belanja dan pertanggungjawaban.
Hendri menjelaskan, kendala mendasar adalah saat perencanaan. Jika perencanaan tidak baik, maka dipastikan akan banyak temuan pelanggaran dalam laporan pertanggungjawaban. Karena itu, sejak awal perencanaan harus dibuat matang dan didokumentasikan secara elektronik.
“Perencanaan harus jelas. Setahun ini apa saja, targetnya apa, indikator keberhasilannya apa saja, dan standar biaya harus jelas dan fair tidak ada penggelembungan. Kalau di perencanaan baik, maka selanjutnya tinggal dipantau proses penganggarannya bagaimana,” kata Hendri.
Selain itu, sistem pembayaran dan pertanggungjawaban pun seharusnya dilakukan secara elektronik dan cashless. Dengan demikian, kesempatan untuk melakukan korupsi bisa tertutup.
“Kalau toko itu via transfer, bon tidak boleh bon standar. Kalau melalui transfer kita bisa lacak transaksinya. Bukan berarti nantinya tidak ada korupsi, tapi ini meminimalkan celah kesempatan,” tuturnya.
Dalam kasus laporan pemeriksaan keuangan BPK terhadap Komnas HAM, banyak ditemukan nota fiktif dan palsu. Hal tersebut dikarenakan transaksi masih dilakukan secara manual, sehingga membuka celah untuk melakukan kecurangan.
Lemahnya sistem pengawasan intenal di Komnas HAM pun diakui oleh Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat. Menurutnya, sistem pengawasan internal di Komnas HAM selama ini belum ideal. Ada beberapa Sistem Operasional Prosedur (SOP) yang belum sesuai.
“Ada beberapa rekomendasi dari BPK agar Komnas HAM melengkapai SOP itu, sistem dan juga pembenahan tata kerja. Termasuk bagaimana mempercepat aktual basis. Karena perubahan mendasar dari sistem lama ke sistem baru, teman-teman mengalami kekagetan,” pungkasnya.
Agaknya lebih baik kaget di awal daripada di kemudian hari terakumulasi penyelewengan kecil-kecilan yang secara akumulasi mencapai ratusan juta rupiah.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti