Menuju konten utama

"Pengembalian Uang ke Negara Tidak Menghapus Pidananya"

Hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan BPK terhadap Komnas HAM mengindikasikan adanya dugaan penyelewengan yang dilakukan oleh birokrat di Komnas HAM, juga oleh salah seorang Komisioner. Dugaan penyelewengan terlihat dengan adanya nota fiktif yang nilainya sekitar Rp800 juta.

Aktivis Indonesia Corruption Watch ICW Emerson Yuntho. Doc. Pribadi

tirto.id - Apakah dugaan penyelewengan sesuai hasil pemeriksaan BPK tersebut sekedar maladministrasi? Menurut Koordinator Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, adanya dugaan korupsi tidak bisa semata-mata ditentukan dengan melihat dokumen hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan BPK.

Sementara soal sewa fiktif rumah dinas senilai Rp330 juta yang dilakukan Dianto Bachriadi (DB), Wakil Ketua Komnas HAM nonaktif, Emerson memiliki pandangan yang menarik disimak. “Sebenarnya kita harus melihat apakah yang bersangkutan mendapatkan kuntungan atau tidak,” katanya kepada Mawa Kresna dari tirto.id, saat ditemui di Kantor ICW, pada Senin (10/10/2016).

Bahkan sejatinya dalam persoalan sewa rumah dinas fiktif tersebut, menurut Emeson, bisa terindikasi sebagai tindak korupsi. Mengapa? Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Anda menilai soal rumah dinas fiktif terkait komisoner Komnas HAM?

Sebenarnya kita harus melihat apakah yang bersangkutan mendapatkan keuntungan atau tidak. Selain itu juga harus dilihat perbuatan jahatnya. Juga harus dilihat, kenapa memilih lokasi di Bekasi? Kenapa nggak memilih di Jakarta yang lebih dekat? Ini yang harus dilihat lagi.

Jadi kemungkinan hanya maladministrasi meski BPK menyebut ada kerugian negara?

Sekarang agak tipis bedanya, ini maladministrasi atau korupsi? Konteks kerugian negara itu belum tentu korupsi, kalau dia tidak memiliki niat jahat. Misalnya dalam kasus payment gateway Deny Indrayana. Niatnya kan proses inovasi, tapi memang ada beberapa aturan yang dilanggar. Tapi sebenarnya tidak ada kick back untuk Deny. Niat untuk memperkaya diri kan tidak ada. Memperkaya orang lain kan juga tidak ada.

Dalam kasus rumah dinas, uang sewa itu dikembalikan ke rekening pribadi DB. Dari Komnas HAM ditransfer ke Zulfi yang punya rumah, lalu ditransfer lagi ke DB. Bagaimana ini? Kalau memang seperti itu, menurut saya Rp330 juta yang masuk lagi ke DB itu sudah korupsi. Menurut saya, mentransfer balik ke rekening DB sudah kelihatan motifnya.

Pertanyaannya kemudian, apakah dia mengembalikan uang itu ke negara kalau tidak ada hasil audit? Kalau tidak, ya seharusnya bisa diproses. Kalau terjadi kekeliruan, sebut saja dia tidak jadi pindah dan kemudian uangnya dikembalikan lagi ke Komnas HAM, itu tidak ada masalah. Tapi kan tidak dilakukan. Menurut saya, ada indikasi niat memperkaya diri. Ada kick back di situ. Ini sekadar muter saja. Dia bahkan dapat uang sewa full Rp330 juta.

Tapi kini uangnya memang sudah dikembalikan ke negara?

Di undang-udang korupsi jelas mengatakan, pengembalian uang ke negara tidak menghapus pidananya.

Dewan Kehormatan Komnas HAM memberikan sanksi nonaktif dan meminta Dianto untuk mengundurkan diri sebagai komisioner?

Nonaktifkan sampai bulan Desember? Sanksinya harusnya bukan nonaktif, tapi diberhentikan dengan tidak hormat. Menurut kita, sanksinya juga terlalu lembek.

Maksud Anda kalau nonaktif artinya masih memungkinkan aktif lagi?

Betul, karena itu perlu dikritisi mekanisme etiknya ini bagaimana? Masih terlalu lembek hukumannya. Kalau kejadiannya seperti ini yang diberhentikan tidak hormat.

Dalam rekomendasi BPK, hanya diminta mengembalikan kerugian negara. Apakah artinya hanya mal administrasi?

Kalau masalahnya administratif ya memang seperti itu. Tapi penegak hukum tidak terikat dengan rekomendasi BPK. Misalnya ada indikasi menguntungkan diri sendiri, bisa diproses secara hukum. Pengembalian termasuk enak. Contohnya mencuri, kalau tidak ketahuan tidak dibalikin. Kalau ketahuan baru dibalikin.

Menurut saya, harus ada proses hukum dalam kasus ini. Tujuannya untuk memberikan shock therapy kepada komisioner atau pegawai Komnas HAM lainnya. Kalau tidak, ke depan mereka akan melakukan hal yang sama. Mereka bisa berasumsi bahwa pelanggaran semacam itu hanya sekadar maladministrasi.

Selain temuan rumah dinas fiktif, juga ada nota fiktif yang nilainya sampai ratusan juta. Kalau untuk temuan seperti ini apa proses yang seharusnya dilakukan?

Ini kan ada temuan. Bisa saja dilakukan audit investigasi karena khawatir bukan soal administrasi. Ada indikasi praktek menyimpang yang dilakukan pegawai di Komnas HAM. Seharusnya proses penegakan hukum jalan di situ. Kalau mau, seharusnya sederhana saja, majelis kehormatan bisa menindaklanjuti dengan menyampaikan laporan ini ke kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK. Tujuannya untuk menelusuri indikasi kerugian-kerugian negara.

Secara umum, apakah pelanggaran yang terjadi sudah memenuhi syarat sebuah tindak pidana korupsi?

Kalau yang Komisioner itu (sewa rumah dinas fiktif), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bisa ditelisik kemungkinan adanya pelanggaran pasal 2 dan pasal 3. Sebab unsur yang harus terpenuhi pada pasal 2 dan 3 mirip, yakni soal melawan hukum, merugikan keuangan negara, menyalahgunakan wewenang, memperkaya diri sendiri dan orang lain, ditambah menyalahgunakan wewenang dan sarana.

Apa yang harus dilakukan penegak hukum setelah ada hasil pemeriksaan BPK?

Polisi atau kejaksaan bisa menindaklanjuti. Kata kuncinya adalah proses penyelidikan.

Baca juga artikel terkait KOMNAS HAM atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Indepth
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti