tirto.id - Akses terhadap makanan sehat di Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan standar gizi seimbang sehari-hari, bisa dibilang masih sulit. Firda (26), karyawan swasta di Bojonegoro, bercerita dia pernah mempertimbangkan katering makanan sehat, tapi urung lantaran merasa harganya membuat kantong bolong.
Setelah dihitung dengan penghasilan dan upah minimum daerahnya, harga katering makanan sehat seperti itu dianggap Firda terlalu mahal. Sebagai upaya hidup sehat, ia akhirnya menyiasati dengan sesekali memesan salad sayur dengan kisaran harga 10 - 15 ribu.
Meski sadar membuat makanan bergizi secara mandiri bisa jadi lebih murah, Firda sebagai anak kos merasa kesulitan lantaran faktor lingkungan, seperti kondisi kulkas di kosnya yang kurang mumpuni. Kalaupun harus memasak, Firda mengaku ia hanya memanfaatkan sumber protein yang murah.
“Jujur sih aku paling menu yang mudah dan murah yaitu telur. Kalau yang daging ayam bener-bener protein yang banyak, itu juga cukup menguras uang. Baru ayam lho ya belum daging sliced beef atau yang lain. Paling yang murah, telur, tahu, tempe. Muter gitu [menunya],” kisah Firda, ketika dihubungi Tirto, Kamis (17/10/2024).
Ia juga kerap menyisipkan sayuran dalam menu makanannya dan sesekali membeli buah untuk melengkapi. Namun, katanya, tak setiap menu makan terdapat buah. Firda biasanya juga memilih buah-buahan dengan harga terjangkau, seperti pepaya dan semangka.
Firda mengakui asupan makanannya kini belum memenuhi standar gizi seimbang, lantaran ia terkadang masih mengonsumsi lebih banyak karbohidrat dibanding protein dan serat, serta masih mengonsumsi minuman manis.
“Kadang sebagai anak kos kan kita pengennya yang cepet ya, kadang nggak ada proteinnya, nggak ada seratnya. Jadi ya udah yang cepat kan tinggal goreng telur kan, goreng telur, nasi, itu yang paling cepet. Kalau lagi sadar dan nggak males, sesekali belanja sayuran di supermarket atau di pasar,” katanya.
Masalahnya kurangnya asupan makanan sehat bisa berdampak buruk terhadap kesehatan. Efek ini salah satunya dirasakan oleh Gio (26). Karyawan swasta yang bekerja di daerah Tangerang Selatan, Banten, itu bercerita pernah menderita kadar kolesterol tinggi setelah seringkali sarapan dengan gorengan.
Ia mengaku sebelumnya sempat rutin makan makanan sehat, tapi memang butuh alokasi waktu dan pengeluaran yang lebih besar. Gio bilang dengan pekerjaannya yang kini lebih sibuk, maka sulit untuk menerapkan pola makan demikian.
“[Waktu itu] lebih mahalnya karena perhatian sama gizinya, jadi mencoba memenuhi kebutuhan sayur, buah gitu-gitu,” kisahnya kepada Tirto, Kamis (17/10/2024).
Padahal, hak atas pangan jadi aspek mendasar dan krusial bagi setiap individu untuk bisa hidup sehat. Hal itu bahkan digaungkan dalam peringatan Hari Pangan Sedunia, yang dirayakan 16 Oktober 2024 lalu.
Lewat tema “Right to Foods, For a better Life and a Better Future”, atau yang berarti “Hak Atas Pangan untuk Kehidupan dan Masa Depan yang Lebih Baik”, Food and Agriculture Organization (FAO) mempromosikan bahwa akses terhadap makanan yang cukup dan bergizi merupakan hak asasi manusia yang mendasar, bukan hak istimewa.
Hal yang sama juga diungkap Kepala Badan Pangan Nasional RI, Arief Prasetyo Adi. Memperingati hari pangan sedunia, ia menyatakan, pemenuhan hak atas pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara.
“Hak atas pangan tidak hanya mencakup ketersediaan bahan pangan, tetapi juga aksesibilitas, keberlanjutan, dan pemerataan dalam distribusi pangan. Masyarakat juga harus mendapatkan pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk hidup yang lebih baik, sehingga bisa sehat aktif dan produktif secara berkelanjutan,” kata Arif, mengutip siaran pers Badan Pangan Nasional, Rabu (16/10/2024).
Mengapa Konsumsi Makanan Sehat Masih Rendah?
Lagi-lagi, gizi seimbang menjadi salah satu kunci dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Mengutip Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 gizi seimbang adalah susunan asupan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Di Indonesia, panduan gizi seimbang dikenal dengan istilah empat sehat lima sempurna, yang dicetuskan oleh Bapak Gizi Indonesia, Prof. DR. Poorwo Sudarmo pada tahun 1950. Empat sehat lima sempurna terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah, serta susu sebagai penyempurna.
Namun, seiring dengan perkembangan ilmu serta adanya penyempurnaan oleh para ahli gizi, konsep 4 sehat 5 sempurna tidak lagi digunakan. Kemenkes sendiri pada tahun 2022 meluncurkan program pedoman gizi seimbang “Isi Piringku” yang berisi panduan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi sekali makan dan porsi makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi dalam satu hari.
Dalam pedoman ini disebutkan dalam satu piring setiap kali makan, idealnya setengah piring diisi dengan sayur dan buah. Sedangkan, setengah lainnya diisi dengan makanan pokok dan lauk pauk.
Sayangnya, perilaku masyarakat Indonesia untuk mengonsumsi makanan bergizi masih rendah. Laporan FAO pada 2021 menunjukkan bahwa ada sekira 70,8 persen penduduk Indonesia atau sekitar 193,7 juta yang tidak mampu membeli pangan bergizi.
Laporan lembaga yang sama juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki harga pangan bergizi tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, apabila memperhitungkan daya beli masyarakatnya.
Dengan memperhitungkan faktor paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), harga pangan bergizi di Indonesia mencapai angka 4,7 dolar AS atau sekitar Rp72.967 per orang per hari. Angka ini lebih tinggi ketimbang negara lain seperti Malaysia (3,6 dolar AS), Filipina (4,3 dolar AS), Vietnam (4,2 dolar AS), dan Thailand (4,4 dolar AS).
Konsumsi makanan bergizi masyarakat yang rendah juga tercermin dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, yang mengungkap sebanyak 67,5 persen penduduk berusia ≥ 5 tahun hanya mengonsumsi buah segar dan sayur sebanyak 1-2 porsi per hari selama seminggu.
Padahal, merujuk pada panduan dari World Health Organization (WHO), penduduk dikategorikan “cukup” konsumsi sayur dan buah apabila mengonsumsi sayur dan/atau buah (kombinasi sayur dan buah) minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ‟kurang‟ apabila konsumsi sayur dan buah kurang dari ketentuan di atas.
Data yang sama juga mengungkap sebanyak 96,7 persen penduduk berusia ≥ 5 tahun kurang mengonsumsi sayur dan buah. Celakanya lagi, ada 11,8 persen masyarakat yang mengatakan sama sekali tidak mengonsumsi sayur dan/atau buah sama sekali dalam seminggu.
Alasan ketersediaan akses buah dan sayur dan rendahnya daya beli masyarakat menjadi faktor dominan yang menyebabkan rendahnya jangkauan masyarakat terhadap salah satu komponen makanan bergizi ini.
Tercatat, 61,8 persen penduduk mengungkap alasan mereka tidak makan buah adalah karena tidak ada buah (stok, harga). Disusul sebanyak 28,6 persen lainnya yang mengaku tidak mampu membeli buah dan 25,4 persen sisanya bilang mereka tidak suka buah.
Sementara itu, 81,4 persen responden mengaku tidak makan sayur karena alasan tidak suka. Menyusul kemudian alasan tidak biasa (23,8 persen) dan 13,3 persen beralasan tidak ada sayur (stok, harga).
Peneliti Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Wahyu Ridwan Nanta, turut mengamini temuan FAO yang mengungkap bahwa Indonesia memiliki harga pangan bergizi tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Menurut Wahyu, tingginya harga pangan di Indonesia berbanding lurus dengan biaya ongkos produksi pangan di Indonesia yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh sejumlah hal, seperti minimnya akses lahan pertanian pangan, kurangnya dukungan pemerintah terhadap komponen pertanian, seperti pupuk dan pestisida, hingga soal konversi lahan pertanian yang tinggi.
“Penguasaan lahan di Indonesia itu rendah sehingga produksinya tidak efisien. Biaya ongkos produksi pangan kita itu dua setengah kali lebih tinggi dari pada di biaya produksi di Vietnam dan dua kali lipatnya Thailand kasarnya segitu,” katanya saat dihubungi Tirto, Kamis (17/10/2024).
Lebih lanjut, ia mengungkap rendahnya akses masyarakat terhadap panganan bergizi juga disebabkan oleh kebijakan pangan pemerintah yang dinilai masih sentralistik dan cenderung ke arah penyeragaman pangan.
Ia menyoroti program “berasisasi”, alias fokus terhadap konsumsi beras, yang masif dilakukan oleh pemerintah orde baru, serta program upaya khusus peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai (Upsus Pajale) di masa pemerintahan Presiden Jokowi, yang dinilai memicu perubahan pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia yang pada dasarnya memiliki keragaman pangan.
“Misalnya daerah Indonesia Timur itu memiliki keragaman sumber panganan bergizi. Karbohidratnya bisa mereka dapatkan misalnya itu dari hutan ada sagu kalau tidak ada sagu mereka makan ubi dan sorgum. Sekarang pola konsumsi nya berubah jadi konsumsi beras tinggi,” katanya,
Ia mengungkap, sebenarnya sumber pangan bergizi yang dimiliki oleh Indonesia sangat melimpah, namun masyarakat saat ini hanya terfokus pada mono-consumption terhadap satu atau dua komoditas pangan.
“Generasi [Indonesia Timur] sekarang ini bahkan sudah tidak tahu bagaimana mengolah ubi, mengolah sagu untuk jadi pangan. Karena sudah terlanjur konsumsi pangan pokok mereka itu adalah beras. Sedangkan mereka tidak memiliki kultur menanam yang kuat, akhirnya untuk pemenuhan pangan malah bergantung ke wilayah lain,” ujarnya.
Menurutnya, ketergantungan pada satu jenis pangan tertentu dapat menyebabkan permasalahan sistem distribusi rantai pasok yang juga berdampak pada ketersediaan bahan pangan dan fluktuasi harga. Padahal, Indonesia terkenal kaya akan keragaman pangan dan tiap wilayah memiliki sumber pangan lokal bergizi yang melimpah.
“Kalau pulau-pulau kecil kita bisa menemukan pangan lokal di situ kita tidak harus ngambil dari Jawa dan tidak harus ngambil dari Sumatera. Kira-kira itu yang harus didorong adalah perubahan pola konsumsi masyarakat yang mengutamakan sistem pangan lokal bergizi,” katanya.
Menurut Wahyu, masalah keterbatasan akses jangkauan masyarakat dan disparitas harga tinggi terhadap pangan bergizi tidak akan terjadi jika masing-masing wilayah bisa menggali potensi sumber panganan lokal bergizi yang dimiliki. Sehingga, kebutuhan masyarakat akan pangan bergizi tidak bergantung pada impor dan pasokan dari wilayah lain.
Makanan Jadi Sumbang Proporsi Pengeluaran Terbesar
Konsumsi buah dan sayur tampaknya memang kurang menjadi prioritas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 memperlihatkan kalau persentase pengeluaran per kapita dalam sebulan untuk sayuran dan buah-buahan masing-masing hanya di level 3,93 persen dan 2,24 persen, di kalangan masyarakat perkotaan dan pedesaan.
Persentase itu tak lebih besar dari alokasi pengeluaran makanan dan minuman jadi (15,68 persen), serta rokok dan tembakau (6,27 persen). Menyusul di belakang dua komoditas itu, proporsi pengeluaran paling besar juga mencakup padi-padian (beras/jagung/tepung terigu) dan ikan/udang/cumi/kerang.
Adapun rerata pengeluaran sebulan per kapita untuk kelompok makanan dan minuman jadi mencapai Rp227.581, sementara untuk buah dan sayur berturut-turut sebesar Rp32.510 dan Rp57.104.
Makanan dan minuman jadi yang dimaksud mencakup roti tawar, kue basah, gorengan, mie instan, nasi putih, dan olahan lauk matang. Sementara beberapa produk yang tergolong minuman jadi di antaranya air kemasan galon, air teh kemasan, minuman jadi seperti kopi, kopi susu dan teh, sari buah kemasan, es krim, dan minuman beralkohol.
Jika menilik tren secara umum, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok makanan menyentuh angka Rp711.282, dengan perbandingan yang cukup signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Tercatat masing-masing sebesar Rp769.122 dan Rp630.962.
Apabila menengok data BPS lebih jauh, rerata pengeluaran per kapita di beberapa wilayah terlihat melampaui rata-rata nasional, seperti terlihat dalam data pengeluaran di Papua, Papua Barat, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Kenyataan itu tak mengejutkan mengingat harga beberapa komoditas makanan diketahui lebih mahal di luar Pulau Jawa. Merujuk data Badan Pangan Nasional per Kamis (17/10/2024), harga daging ayam ras di Papua Barat dibanderol Rp51.680 per kilogram (kg), berbeda dengan harga daging ayam ras di Jawa Timur yang berada di rentang Rp33.150 per kg.
Begitu pula telur ayam ras yang dihargai Rp31.480 per kg di Kepulauan Riau, sementara di DKI Jakarta hanya berkisar Rp27.790 per kg.
Wahyu dari KRKP menyebut ada sejumlah hal yang menyebabkan terjadinya disparitas harga pangan yang tinggi antar wilayah di Indonesia khususnya Jawa dan luar Jawa. Ia menyoroti soal rantai distribusi dan tata kelola distribusi pangan dari pemerintah yang belum efektif.
“Terus kemudian itu ada di rantai distribusinya. Rantai distribusi kita itu kurang efektif. Tata kelola di logistik, tata kelola distribusi kita itu juga belum efektif masih terlalu sentralistik padahal kita tahu sendiri bahwa Indonesia terdiri atas pulau-pulau dan itu pulau-pulau kecil. Jadi infrastruktur distribusinya itu harus diperbaiki,” katanya
Kembali berbicara soal proporsi pengeluaran per kapita, dari segi perkotaan dan perdesaan, masyarakat di perkotaan yang mengalokasikan uang untuk makanan dan minuman jadi tampak lebih besar dibanding pedesaan, persentasenya menyentuh 16,07 persen dibanding 14,84 persen.
Masyarakat di pedesaan juga terlihat mengalokasikan pengeluaran lebih besar untuk kelompok protein seperti ikan, cumi, udang, dan kerang, serta buah-buahan dan sayur-mayur. Untuk sayuran misalnya, rumah tangga di pedesaan mengalokasikan sekitar 5,03 persen, sementara rumah tangga di wilayah perkotaan hanya menyentuh 3,41 persen.
Salah satu hal menarik dari laporan BPS yakni adanya kenaikan pola konsumsi protein hewani dalam lima tahun terakhir, alias selama 2019 - 2023. Menurut BPS, pola konsumsi per kapita sebulan untuk ikan dan udang segar, tampak mengalami peningkatan, dari hanya berkisar 1,44 kg pada 2019 menjadi 1,51 kg pada 2023.
Hal yang sama juga terjadi pada pola konsumsi daging ayam ras/kampung, di mana rata-rata konsumsi per kapita dalam satu bulan merangkak naik menjadi 0,68 kg, dari sebelumnya pada 2019 berada di level 0,53 kg. Sementara itu, rerata konsumsi bulanan per kapita protein nabati seperti tahu dan tempe juga mengalami kenaikan tipis dalam 5 tahun belakangan.
“Hal ini terlihat bahwa terjadi peralihan konsumsi makanan yang mengandung protein nabati ke protein hewani, karena selain kemudahan membeli komoditas tersebut, juga adanya pengetahuan mengenai protein hewani lebih baik daripada protein nabati,” tulis BPS, dalam laporan berjudul "Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia".
Sulit Mendapat Makanan Sehat Berujung pada Penyakit
Merespons data mahalnya pangan bergizi di Indonesia, Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Iqbal Mochtar, berpendapat, bahwa hal itu bikin masyarakat sulit mendapat makanan sehat. Akhirnya, mereka akan menderita penyakit kronis dan serius.
Sebuah studi di Inggris Raya yang dipublikasikan Jurnal Nature pada tahun 2023 juga membuktikan kalau penerapan pola makan sehat yang berkelanjutan bisa mencegah perkembangan penyakit tidak menular dan meningkatkan angka harapan hidup.
Peningkatan terbesar diperoleh dari mengonsumsi lebih banyak biji-bijian utuh, kacang-kacangan, buah-buahan, dan lebih sedikit minuman manis dan daging olahan.
Menyoal makanan sehat, dr. Iqbal bilang, terdapat dua aspek utama yang perlu diperhatikan, pertama yakni jumlah kalori dan kedua ketercukupan zat gizi. Jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh sendiri bervariasi, bergantung pada usia, jenis kelamin, dan pekerjaan.
“Jadi jumlah kalori yang diperlukan oleh seorang remaja itu berbeda dengan orang tua. Antara laki-laki dengan perempuan itu beda. Orang yang bekerja sedentary lifestyle, misalnya bekerja di kantor, itu beda kalorinya dengan buruh kasar misalnya,” terangnya saat berbincang lewat Zoom, Kamis (17/10/2024).
Dokter Iqbal mencontohkan, untuk kasus orang berusia 40 tahun yang bekerja penuh di kantor dengan sedikit pergerakan, maka, kalori harian yang dibutuhkan bervariasi antara 2.100 - 2.400 kalori. Berbeda dengan buruh kasar yang membutuhkan kalori lebih, yakni sekitar 2.600 - 2.700 kalori.
Kelebihan kalori dalam tubuh yang menumpuk disebut dr. Iqbal bisa menyebabkan kegemukan dan obesitas. Sebaliknya, kekurangan kalori bisa bikin seseorang mengalami kekurangan berat badan, atau pada level ekstrem, mengalami stunting.
“Kemudian kelebihan kalori itu berhubungan secara signifikan dengan penyakit-penyakit yang sangat kronis, seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan itu sudah dibuktikan bukan oleh satu atau dua penelitian, tetapi lewat meta-analisis atau systematic review,” kata dr. Iqbal.
Sementara stunting sendiri merujuk pada kondisi pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Hal itu terjadi lantaran kondisi irreversible akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang/kronis yang terjadi dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Seperti yang sudah disebut dr. Iqbal, pemenuhan kalori pun mesti dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan elemen dalam tubuh, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan serat. Sebab, sama halnya dengan kelebihan atau kekurangan kalori, tidak tercukupinya zat gizi juga bisa menimbulkan penyakit.
“Misalnya, saya berikan contoh, katakan kecukupan kalorinya baik, tetapi kemudian elemen vitamin B12-nya itu tidak ada atau kurang. Timbullah penyakit beri-beri. Beri-beri itu pembengkakan pada kaki dan sebagainya. Timbullah gangguan saraf. Jadi elemen ini semua itu harus terpenuhi, bukan hanya dari kuantitas, tetapi juga dengan kualitas,” sambung dr. Iqbal.
Menukil artikel Hello Sehat yang sudah ditinjau oleh dr. Andreas Wilson Setiawan, vitamin B12 adalah zat gizi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi-fungsi vital tubuh, seperti pembentukan sel darah merah, penghantaran impuls oleh sel-sel saraf, hingga sintesis asam deoksiribonukleat/DNA.
Vitamin ini bisa dijumpai di sejumlah makanan, antara lain hati ayam atau sapi, tiram, ikan sarden, daging sapi, ikan tuna, kacang kedelai, susu rendah lemak, telur, dan dada ayam.
Seperti diungkap oleh sebuah penelitian di Inggris Raya, Dokter Iqbal juga berujar kalau makanan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam meningkatkan angka harapan hidup.
“Dan faktor yang paling berperan bagi terjadinya peningkatan angka harapan hidup itu salah satunya makanan. Makanan, kemudian faktor-faktor lain. Tetapi saya kira makanan ini yang menjadi elemen yang sangat penting,” terangnya.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email [email protected].
Editor: Farida Susanty