tirto.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima sebanyak 398 permohonan perlindungan korban Tindak Pidana Perlindungan Orang (TPPO) selama periode Januari hingga Juni 2025.
“Pada Januari sampai Juni itu permohonan yang masuk khusus TPPO sementara baru 398 orang. Bisa jadi ini minggu depan ini sudah naik jadi 600,” ujar Wakil Ketua LPSK, Antonius P.S. Wibowo dalam acara Diskusi Publik Peringatan Hari Anti TPPO Sedunia di Kantor LPSK, Jakarta Timur, Kamis (31/7/2025).
“Jadi sampai dengan Juni itu permohonan yang masuk 398 permohonan khusus korban TPPO,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Antonius menyebut sebanyak 294 pemohon sudah terlindung. “Maksudnya adalah memang ada beberapa permohonan yang masih dalam proses penelaahan khususnya yang masuk di akhir bulan Juni misalnya, itu masih dalam tahap penelitian, investigasi,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua LPSK, Achmadi, menyatakan LPSK menerima sebanyak 3.373 permohonan perlindungan korban TPPO dalam 5 tahun terakhir, yakni periode 2020 hingga 2024. Selama itu, dia menyebut permohonan perlindungan terjadi paling tinggi diterima pada tahun 2023.
Ia merinci, LPSK menerima sebanyak 203 permohonan pada 2020, 147 permohonan laporan di 2021, 150 permohonan pada 2022, dan 576 permohonan di 2024.
“Peningkatan yang signifikan, khususnya pada tahun 2023, mencerminkan bahwa semakin banyak korban yang berani bersuara dan mencari perlindungan. Hal ini juga menunjukkan bahwa kesadaran terhadap isu TPPO serta keberadaan LPSK semakin meluas,” ucap Achmadi dalam kesempatan yang sama.
Lanjutnya, dari sejumlah permohonan yang diterima lembaganya, sebagian besar pemohon mengajukan permohonan restitusi. Menurutnya, nilai permohonan restitusi pada 2024 mencapai Rp7,5 miliar.
“Sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 439 permohonan restitusi yang difasilitasi oleh LPSK, dengan total nilai restitusi yang dihitung mencapai Rp7.488.725.925,” sebut Achmadi.
Namun, tidak semua permohonan restitusi itu dikabulkan oleh majelis hakim di pengadilan. Kalaupun dikabulkan, lanjutnya, besaran restitusi sering kali tidak sesuai dengan hasil perhitungan.
“Bahkan, meskipun putusan telah berkekuatan hukum tetap, banyak pelaku yang enggan menjalankan kewajibannya,” ucap Achmadi.
Hal yang disorotinya adalah belum adanya regulasi atau aturan yang mengharuskan pelaku untuk melaksanakan kewajiban mereka untuk membayar restitusi kepada korban.
“Belum adanya mekanisme pemaksaan yang efektif menjadi salah satu tantangan utama dalam pemenuhan hak restitusi bagi korban. Karena itu, perlu dicari solusi atau jalan keluar yang tepat untuk mengatasi hal ini,” ucap Achmadi.
Dengan demikian, dia ingin agar pengetahuan terkait TPPO lebih disebarkan supaya pemulihan korban TPPO dapat dilakukan secara optimal.
Ia pun meminta agar pengetahuan soal TPPO lebih disebarluaskan lagi antar lembaga agar pemulihan korban bisa dilakukan secara maksimal.
“LPSK pun terus memperbarui pendekatannya, baik dalam perlindungan fisik dan hukum, pemulihan psikologis, medis, dan psikososial, maupun dalam proses pemenuhan hak restitusi,” pungkasnya.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































