tirto.id - Dunia penerbangan di Hindia Belanda dimulai sejak awal abad ke-20. Mulanya, para penerbang mayoritas berasal dari PVA (Proef Vlieg Afdeling) atau Dinas Uji Terbang sebagai cikal bakal Angkatan Udara KNIL yang berpusat di lapangan terbang Kalijati, Subang.
Untuk mendukung aktivitas penerbangan tersebut, pada 1917 dibangun juga lapangan terbang di daerah Rancaekek, sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Bandung. Namun, karena daerah tersebut curah hujannya tinggi yang mengakibatkan landasan terbang kerap becek, maka setahun kemudian lapangan terbang Rancaekek ditutup.
Selanjutnya dibangun lapangan terbang di Sukamiskin, sekitar 7 kilometer dari pusat kota Bandung. Lapangan terbang itu rencananya akan dijadikan sebagai pusat penerbangan tetap, lengkap dengan pelbagai perlengkapan perbengkelan karena jaraknya dekat dengan pusat militer di Bandung.
Kondisi lapangan terbang pada awal perintisan penerbangan di Hindia Belanda memang darurat. Dorongan semangat lebih besar daripada persiapan yang dilakukan. Hal ini dicatat oleh Irna Hanny Hastoeti dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008), bahwa Angkatan Udara KNIL berencana menjadikan semua lapangan sebagai bandara.
“Tahun 1914, Militaire Luchtvaart mengumumkan, setiap lapangan akan dijadikan bandara. Kemudian benar-benar tak diduga bahwa pada suatu hari banyak bertengger [pesawat] di atas padang rumput yang kering. Di padang tandus itulah, pada mulanya digunakan sebagai landasan pesawat udara,” tulisnya.
Kiranya, lapangan-lapangan kering itu sebagian justru menjadi sangat basah di musim hujan seperti yang terjadi di Rancaekek, juga di Sukamiskin, yang kemudian dipindahkan ke lapangan terbang Andir pada 1921, yang sekarang menjadi Bandara Husein Sastranegara.
Sebelum Sukamiskin ditutup, lapangan terbang ini sempat memakan korban jiwa saat pesawat Glenn Martin TT4 yang diawaki Kapten Engelbert, seorang instruktur penerbang beserta rekannya, jatuh menghantam gudang bambu dan terbakar.
Andir berada di sebelah barat pusat Kota Bandung. Daerah ini dulunya menjadi tempat tinggal para pekerja pembuat De Groote Postweg atau Jalan Raya Pos. Saat lapangan terbang dibangun di daerah ini, Andir perlahan menjadi wilayah yang ditata secara baik, salah satunya dengan dibangun kompleks perumahan elite pertama di Bandung yang bernama Fokkerhuis.
Kini, kompleks perumahan tersebut dikenal dengan sebutan daerah Perwayangan, karena nama-nama jalan di kompleks tersebut diambil dari tokoh-tokoh perwayangan, seperti Bima, Arjuna, Baladewa, Pandu, dan lain-lain.
Untuk menggambarkan betapa inginnya orang-orang Bandung tinggal di daerah ini, menurut Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (2014), para siswa HBS Bandung kerap menyanyikan sebuah lagu yang salah satu penggalan liriknya sebagai berikut:
“Bandung di tahun-tahun akhir/Maju berkembang, ajaib mengesankan/Itulah sebabnya orang bisa menyaksikan/Rumah-rumah indah didirikan/Kuingin hidup di sana/Hidup di daerah Andir.”
Dari Amelia Earhartsampai Operasi Gagak
Saat lapangan terbang Andir mulai digunakan, pelbagai peralatan perbengkelan berangsur dipindahkan dari Sukamiskin. Pada tahun yang sama dengan pembangunan lapangan terbang Andir, PVA (Proef Vlieg Afdeling) atau Dinas Uji Terbang berganti nama menjadi Dinas Penerbangan dan akhirnya menjadi Angkatan Udara KNIL.
Selanjutnya lapangan terbang Andir tidak hanya dijadikan sebagai tempat pesawat-pesawat Dinas Penerbangan, tapi juga dijadikan sebagai pusat perawatan mesin pesawat.
Saat dunia penerbangan di Hindia Belanda mulai merambah penerbangan sipil yang ditandai dengan berdirinya KNILM (Koninklijk Nederlansch-Indische Luchtvaart Maatschappij) atau Maskapai Penerbangan Hindia Belanda pada 1 November 1928, lapangan terbang Andir digunakan oleh perusahaan tersebut untuk melayani rute Bandung-Batavia.
Pada 1937, Amelia Earhart penerbang perempuan yang hilang di perairan Pasifik, sempat singgah di lapangan terbang Andir untuk memeriksa kondisi pesawatnya yang telah melakukan penerbangan jauh.
“Ia (Amelia Earhart) sempat singgah di sini (lapangan terbang Andir) dalam penerbangannya mengelilingi dunia,” tulis Dino Fanara dalam Angel of the East Indies: Biography of the Van Dooremolen Family (2006).
Sementara itu, dalam Amelia Earhart: The Mystery Solved (1999) yang ditulis oleh Elgen M. Long dan Marie K. Long, dikisahkan penerbang perempuan tersebut malah sempat singgah juga di Hotel Preanger, Bandung, tempat dia menginap.
Memasuki Perang Dunia II, saat Pasifik bergolak, lapangan terbang Andir diduduki pasukan Jepang yang terus merangsek ke pelbagai wilayah Nusantara, dan akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Subang.
Pasca pendudukan Jepang yang amat pendek, lapangan terbang Andir menjadi rebutan antara para pejuang republik dengan tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, juga Sekutu yang terlibat dalam masa revolusi di Indonesia.
Warsa 1946 saat terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, lapangan terbang Andir dikuasai pasukan Inggris karena para pejuang berpindah ke selatan Bandung setelah sebelumnya diultimatum dan membakar kota.
Lapangan terbang Andir pun dipakai pasukan Belanda saat hendak menyerbu Yogyakarta pada Agresi Militer Belanda II tahun 1948 dengan sandi “Operasi Gagak”. Strategi yang direncanakan Belanda mula-mula adalah menggempur Maguwo lewat serangan udara, setelah itu akan disusul dengan penerjunan pasukan baret merah.
“Di landasan Andir Bandung, [disiapkan] 16 pesawat angkut Dakota C-47, pesawat pengebom Mitchell B-25 bersama empat pesawat pengintai Piper Cub. Dalam rencana Operasi Kraai, setelah serangan udara ke Magoewo berlangsung, akan segera disusul penerjunan pasukan payung baret merah KST (Korps Speciale Troepen) yang diterbangkan dari Andir,” tulis Julius Poor dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Milter (2010).
Setelah pengakuan kedaulatan, lapangan terbang Andir hanya dijadikan pangkalan militer oleh TNI Angkatan Udara sampai tahun 1973. Setelah itu, lapangan terbang ini digunakan juga untuk penerbangan komersil sampai sekarang.
Andir Bukan Penyelamat Orang-Orang Belanda
Meski lapangan terbang Andir sempat identik sebagai pusat operasi Departemen Penerbangan Hindia Belanda, dan dimanfaatkan oleh penerbangan sipil seperti KNILM dan Amelia Earhart, juga dalam pelbagai operasi militer, tapi ia bukan yang menyelamatkan para petinggi Belanda untuk melarikan diri.
Robert P.G.A. Voskuil, dkk dalam Bandung Citra Sebuah Kota (1996) mencatat bahwa justru yang dijadikan tempat meloloskan diri para petinggi sipil dan militer Belanda di Bandung dari sergapan pasukan Jepang adalah Jalan Buahbatu yang sempat menjadi landasan pacu darurat.
Pada tengah malam 6 Maret 1942, mereka antara lain dr. H.J. Van Mook, dr. Ch. O. Van der Plas, dan komandan KNIL Mayor L.H. Van Oyen terbang lewat landasan pacu Buahbatu dengan menggunakan pesawat milik KNILM.
“Penerbangan ini, dengan KNILM-DC3 Wielewaal, seperti pada tengah malam sebelumnya, dilakukan di Jalan Buahbatu yang diperlebar, yang dalam minggu-minggu peperangan terakhir sebelumnya sudah berkali-kali digunakan sebagai lapangan udara pembantu,” tambah Voskuil.
Editor: Suhendra