tirto.id - Di Hindia Belanda, dunia penerbangan dirintis sejak 1914. Perintisannya memakan korban. Dalam kurun waktu sejak penerbangan mulai dibuka hingga Belanda angkat kaki dari tanah Hindia (1914-1942), tak tanggung-tanggung, dua panglima tentara kolonial KNIL tewas dalam kecelakaan pesawat.
Pertama, Letnan Jenderal Johan Pieter Michielsen (1862-1916), yang gugur dalam penerbangan Glenn Martin TA pada 14 Februari 1916 di Kalijati. Pesawat itu dipiloti Letnan (Artileri) Hein Ter Poorten. Sang pilot selamat dan pada 1941 sempat naik jabatan jadi Panglima KNIL.
Kedua, seorang letnan jenderal indo bernama Gerardus Johannes Berenschot (1887-1941), yang mengalami kecelakaan pada 13 Oktober 1941 di Kemayoran.
Ada pula orang pribumi yang mengalami kecelakaan pesawat. Buku Jejak Langkah Penerbangan di Nusantara (2005: 6-9), yang diterjemahkan dari 25 Jaar Militaire Luchtvaart in Nederlandsche Indie 1914-1939, menyebut Prajurit Kelas Satu Mertosurono (95820) dan Prajurit Kelas Satu Amat Kasirun (4794). Dua serdadu KNIL itu gugur karena kecelakaan pesawat Fokker FC-IV 417T, yang dipiloti Letnan Penerbang Infanteri P. van Livieren, pada 14 April 1936 di Cililin, Jawa Barat.
Dalam kurun waktu 1914-1939 itu, setidaknya 35 personel KNIL terbunuh dalam kecelakaan pesawat. Mereka yang gugur adalah bagian dari perintisan penerbangan KNIL.
"Para perintis penerbangan kita sejak dahulu telah menunjukkan keyakinannya terhadap masa depan penerbangan. [Itu semacam] Propaganda tanpa henti yang dilakukan Penerbangan Militer di Hindia Belanda," tulis Mayor Penerbang KNIL bernama E.T. Kengen dalam Jejak Langkah Penerbangan di Nusantara (hlm. 73).
Lebih lanjut, kata Kengen, efek dari propaganda itu adalah hasrat orang-orang sipil untuk naik pesawat, atau setidaknya memakai jasa pesawat untuk keperluan bisnis.
Dimulainya Penerbangan Sipil
Banyak lapangan terbang mulai dibangun di awal abad ke-20. Di Nusa Tenggara, beberapa lapangan terbang dibangun sejak 1919. Ini belum termasuk di sekitar kota-kota besar di Jawa. Lapangan Kalijati, Subang, menurut Nana Nurliana Suyono dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008: 267), sudah ada pada 1916.
Lapangan terbang Sukamiskin di tahun 1919 juga mulai dibangun. Belakangan Bandung punya lapangan terbang di Andir (sekarang menjadi Bandara Husein Sastranegara). Menurut catatan Kengen, di Palembang dan Lahat lapangan terbang terbangun berkat bantuan pengusaha.
Mengenai penerbangan sipil, sejak Februari 1919, Gubernur Jenderal Hindia Belanda telah memerintahkan pembentukan Komisi Dinas Lalu Lintas Udara. Pada November 1919, komisi ini mengajukan agar mulai 1 Maret 1920 diadakan suatu Dinas Pos oleh pesawat KNIL atau Angkatan Laut. Pemerintah setuju meski tak sanggup melaksanakan dengan baik Dinas Pos itu karena kurang pesawat.
Namun, antara Juni hingga September 1927, diselenggarakan pos udara antara Jakarta-Surabaya. Dinas Teknik di bagian penerbangan KNIL yang mengurusi pesawat sipil bahkan dibentuk pada 1920.
Di tahun 1928, seperti dicatat Kengen dalam Jejak Langkah Penerbangan di Nusantara (hlm. 80), muncul niatan dari para pelaku bisnis di Hindia Belanda untuk mengadakan penerbangan sipil yang dijalankan sebuah maskapai. Maka berdirilah maskapai penerbangan sipil di Hindia Belanda, Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM).
Albert Plessman, pendiri dan direktur Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), ditunjuk menjadi direktur KNILM. Plessman, seperti ditulis Kengen, mencoba rute Jakarta-Surabaya. Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff (1872-1957) meresmikan rute tersebut pada 1 November 1928. Rute awal KNILM hanya melayani beberapa kota di Jawa.
Penerbang-penerbang KNIL pun dikerahkan untuk mengoperasikan 4 pesawat Fokker F-VIII-B yang bermesin tiga. Kala itu, menemukan penerbang sipil adalah hal yang sulit di Hindia Belanda.
Beberapa tahun kemudian, penerbangan KNILM tak hanya di kota-kota Hindia Belanda. Penerbangan ke Australia dan Singapura pun diadakan juga. Kantor pusat KNILM berada di Spiegelstraat nomor 5, Amsterdam. Di Jakarta, kantornya berada di Pintu Air (sekarang masuk wilayah Jakarta Pusat). Sementara pesawatnya berada di Lapangan Udara Cililitan, yang kini menjadi Bandara Halim Perdanakusuma.
Harga Tiket "Selangit"
Pada 1930, harga tiket pesawat KNILM rute Jakarta-Bandung pulang-pergi dipatok 17,50 gulden (senilai kurang lebih Rp2,5 juta saat ini, berdasarkan basis perhitungan yang dipakai International Institute of Social History). Jakarta-Semarang 70 gulden (Rp9,7 juta); Jakarta-Surabaya 115 gulden (Rp15,9 juta); Surabaya-Semarang 45 gulden (Rp6,2 juta); Jakarta-Palembang 93,50 gulden (Rp12,9 juta); Jakarta-Singapura 185 gulden (Rp25,5 juta); dan Palembang-Singapura 91,50 gulden (Rp12,6 juta). Jatah bagasi tiap penumpangnya maksimal 20 kilogram.
Penerbangannya kemudian tak hanya melayani Jawa dan Sumatra. Pada paruh kedua 1930-an, Kalimantan dan Sulawesi pun dijangkau KNILM.
Harga tiket pesawat di zaman kolonial ini terbilang mahal dan pernah mengalami kenaikan. Pada 1939, setidaknya harga tiket Jakarta-Surabaya sudah mencapai 120 gulden (Rp19,1 juta)—kira-kira empat kali gaji guru swasta sebulan kala itu. Belum ada penerbangan murah di masa kolonial. Tak heran jika orang-orang kebanyakan lebih memilih kapal laut, kereta api, atau mobil.
Armada milik KNILM antara lain: 7 Fokker F.VIIb/3m, 2 Fokker F.XII, 3 Douglas DC-2, 3 De Havilland Dragon Rapide, 2 Sikorsky S-38, 5 Lockheed Model 14 Super Electra, 2 Grumman G-21A, 3 Douglas DC-3, 4 Douglas DC-5, 3 Sikorsky S-43. Mereka memakai kode PK, yang hingga hari ini tetap dipakai pesawat-pesawat Indonesia.
Setelah Perang Pasifik meletus, KNILM tenggelam karena Jepang menduduki Hindia Belanda. Salah satu pesawat KNILM di Medan bahkan kena tembak pada 28 Desember 1941. Setelah Jepang kalah, KNILM tak mampu bangkit seperti di era 1930-an. Garuda Indonesia, lalu maskapai lokal lainnya, mengambil rute-rute yang dulu dikuasai KNILM.
Editor: Ivan Aulia Ahsan