tirto.id - Badai yang menerjang Starbucks sejak Januari 2012 berasal dari sikap mendukung legalisasi pernikahan sesama jenis di negara bagian Washington, Amerika Serikat. Pada Maret 2013, CEO Starbucks Howard Schultz menegaskan kembali dukungan perusahaannya untuk kesetaraan gender dalam pertemuan pemegang saham tahunan.
Perwakilan dari sejumlah komunitas agama mengecamnya. Di Indonesia, misalkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat ketua ekonominya Azrul Tanjung menilai pernyataan Schultz akan berbuntut pada buruknya roda bisnis Starbucks di negara-negara berpenduduk muslim, termasuk Indonesia.
Ketua bidang Ekonomi PP Muhammadiyah Anwar Abbas pun meminta agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan opsi mencabut izin Starbucks di Indonesia. Ideologi bisnis dan pandangan hidup yang Schultz kampanyekan dinilai tidak sesuai dan tidak sejalan dengan ideologi bangsa.
Ustad Somad, yang akhir-akhir ini sedang ngetop, lebih tegas lagi. Dalam video yang viral sejak awal Maret lalu ia ditanya oleh salah satu peserta pengajian tentang beli kopi di Starbucks. Kata Somad, sebab Starbucks mendukung komunitas Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT), membeli produknya berarti juga mendukung LGBT. Di akhirat nanti akan “diobok-obok di neraka,” katanya.
Komunitas kristen evangelis AS tak mau ketinggalan. Dua bulan usai penegasan sikap dari Schultz pada tahun 2013, mantan pastor dan aktivis konservatif David Barton berkata pada jemaat Gereja Baptis Whitesburg, Alabama, agar jangan membeli kopi di Starbucks.
“Starbucks menghabiskan dana untuk menghancurkan pernikahan tradisional (antara laki-laki dan perempuan). Pertanyaannya adalah, dapatkah penganut Kristen ke kelompok yang ia tahu akan menggunakan keuntungannya untuk menyerang aturan Tuhan?” katanya.
“Kau tahu saat kau membeli secangkir kopi Starbucks, 5, 10, 15 sen akan digunakan untuk mengalahkan pernikahan (tradisional), apakah kau akan tetap melakukannya? Jawabannya adalah 'tidak'. Alkitab tidak mendukung tindakan ini. Maaf-maaf saja, Anda perlu mencari tempat ngopi lain. Tak bisa minum kopi Starbucks dan ingin tetap benar sebagai Kristen,” demikian dalam video yang dilansir Huffington Post.
Propaganda anti-Starbucks ramai dilancarkan berbagai situs partisan, yang dengan demikian tidak mewakili seluruh penganut Kristen AS. Salah satu yang muncul paling depan di mesin pencarian Google adalah USA Christian Ministries, yang merilis artikel bertajuk gagah, “Orang Kristen Memboikot Starbucks - Karena Roma 1 Menjelaskan Starbucks Membenci Tuhan.”
Di dalamnya disebutkan ancaman jika Starbucks akan kehilangan 75 persen pelanggan yang beragama Kristen di Amerika (versi Pew Research Center 70 persen) karena mempromosikan pernikahan sesama jenis. Dalam perbandingan yang sebenarnya kurang pas, mereka juga menyandingkan besaran populasi mereka dengan populasi kaum LGBT yang hanya 1-2 persen (versi Gallup 4 persen).
“Umat Kristen marah sebab Starbucks menantang Tuhan, namun kita juga gembira sebab tahu bahwa Starbucks tidak berpura-pura menjadi Kristen. Boikot ini penting sebab Tuhan memberkati yang mematuhinya, dan menghukum yang bandel. Jika gerejamu masih mengonsumsi Starbucks, pasturnya penyuka duniawi,” kata Pastur Steven Andrew, presiden USA Christian Ministries.
Serba Salah
Akibat telah dibakar rasa benci yang mengerak, golongan pengikut Kristen ini membuat Starbucks serba salah dengan inovasinya memunculkan gelas khusus selama peringatan Natal yang berwarna mayoritas merah dengan beberapa pernak-pernik khas.
Pada 5 November 2015 polemik dimulai oleh seorang evangelis Amerika, dan kebetulan orang yang cukup populer di media sosial, bernama Joshua Feuerstein.
Melalui video di akun Facebook-nya ia menyebut Starbucks menghilangkan semangat Kristen dalam gelas baru yang berwarna merah polos, hanya ditambah logo Starbucks. Ia mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa Starbucks tidak membolehkan karyawan mengucapkan selamat Natal pada pelanggan.
Feuerstein tidak mengajak boikot. Ia mengajak orang-orang Kristen AS untuk tetap membeli kopi Starbucks, tetapi gelasnya dinamai dengan ucapan “Merry Christmas”. Aksi ini ia sarankan untuk direkam dan diunggah ke media sosial dengan hastag #MerryChristmasStarbuck. Feuerstein dengan bangga menyatakan telah menipu perusahaan yang didirikan di Washington tahun 1971 itu.
“Hey, Starbucks, untuk menyinggung kamu, aku bahkan memakai kaos bergambar Yesus ke dalam tokomu. Dan sejak kamu benci Amandemen Kedua (hak warga AS menyimpan senjata), aku juga membawa senjataku (setengah berbisik dan menujukkan pistol ke arah kamera). Yaiks!” imbuh Feuerstein.
Starbucks memang meminta orang-orang yang ingin masuk ke toko untuk tidak membawa senjata. Schultz tidak membuatnya sebagai larangan, namun meminta dengan "melalui lensa kesopanan dan rasa hormat" demikian kutip CNN.
Videonya telah ditonton sebanyak 17 juta kali, disukai hampir 200 ribu orang, dan dibagikan lebih dari 500 ribu kali. Padahal, sebagaimana hasil fact checking yang dilakukan Vox, apa yang dikatakan Feuerstein adalah kebohongan belaka.
Starbucks tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai korporasi Kristen. Soal gelas khusus Natal, yang sebenarnya mereka fokuskan pada hari liburnya, mereka tak pernah menggunakan ucapan “Merry Christmas”. Sesekali mereka gunakan pernak-pernik seperti manusia salju, kata-kata seperti “kebahagiaan” atau “harapan”, dan lain sebagainya.
“Desain tahun ini adalah cara lain Starbucks untuk mengajak pelanggan membuat kisahnya sendiri di gelas, sebagaimana kanvas kosong berwarna merah. Kami merangkul kesederhanaan dan ketenangannya. Ini cara mengantar pelanggan menuju liburan dengan lebih terbuka,” kata Jeffrey Fields, wakil presiden Starbucks urusan desain dan konten, sebagaimana dikutip Washington Post.
Starbucks juga tidak melarang karyawan mengucapkan atau merayakan Natal bersama pelanggan. Faktanya mereka menawarkan beragam produk khusus Natal, termasuk hiasan, kalender, dan kopi spesial.
Golongan konservatif Amerika bak tutup kuping terhadap fakta maupun konfirmasi, sekaligus membuat Starbucks serba salah. Media sayap kanan Breitbat, misalnya, melalui kolumnisnya Raheem Kassam menyebut cangkir merah Starbucks adalah simbol anti-Natal. Pasalnya dulu Starbucks menyertakan pernaik-pernik Natal dalam cangkirnya, tetapi pada 2015 tidak.
Sekali lagi, pandangan tersebut tidak mewakili seluruh orang Kristen Amerika. Mereka yang menertawakan ajakan Feuerstein maupun tak menganggap penting ulasan Kassam pun tak sedikit. Polemik itu awalnya diduga akan selesai pada Natal 2015. Namun ternyata muncul lagi pada perayaan Thanksgiving 2017, dan lagi-lagi bikin posisi Starbuck serba salah.
Sebagaimana dikutip dari New York Times, pangkalnya adalah ilustrasi dua tangan yang sedang bergandengan di gelas dengan simbol hati warna merah cerah. Orang-orang anti-LGBT menafsirkannya sebagai propaganda gay dari video iklan Starbucks yang di akhir menampilkan dua orang perempuan berhadapan, saling mendekat, lalu bergandengan tangan.
Sementara netizen ribut di medsos, situsweb konservatif The Blaze terang-terangan menganggapnya sebagai “kampanye agenda gay”. Starbucks sendiri, melalui juru bicaranya Sanja Gould, tidak pusing-pusing mengonfirmasi tuduhan, dan membiarkan para pelanggan menafsirkan sendiri.
“Tahun ini ilustrasi gelas yang dibuat menampilkan adegan merayakan (Thanksgiving) dengan orang-orang tercinta—siapa pun mereka. Kami sengaja merancangnya demikian sehingga pelanggan kami dapat menafsirkannya dengan cara mereka sendiri, dengan menambahkan warna maupun ilustrasi sendiri.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf