Menuju konten utama

Starbucks Membuka Gerai di Tanah Kelahiran Espresso

Starbucks akan membuka gerainya di Italia. Ekspansi bisnis ini tentunya tidak mudah mengingat kopi sudah mendarah daging dalam budaya Italia.

Starbucks Membuka Gerai di Tanah Kelahiran Espresso
Seseorang pria sedang melintas didepan Starbucks Caffe di Milan, Italia. Foto/Justin Sullivan/Getty Images

tirto.id - Ada tiga hal yang dipuja oleh orang Italia: Paus (pemuka agama), makanan, dan kopi. Kepatuhan dan kekaguman orang Italia pada Paus, sama seperti tawaddhu-nya umat Islam ke ulama. Untuk makanan, Italiano sangat membanggakan pasta dan pizza. Federico Fellini, seorang sutradara masyhur asal Italia, suatu saat pernah berujar, "Life is a combination of magic and pasta. Hidup adalah kombinasi keajaiban dan pasta."

Sedangkan untuk kopi, orang Italia punya peribahasa: La vita inizia dopo il caffee. Jika diartikan: hidup dimulai setelah secangkir kopi. Sesibuk apapun, jangan lupa menenggak kopi. Iya, bukan minum. Bagi orang Italia, kopi ibarat obat. Harus ditenggak, bukan sekadar diminum.

Orang Italia juga menepuk dada karena menjadi tanah kelahiran espresso. Adalah Angelo Morindo yang dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan mesin espresso. Morindo mendaftarkan mesin espresso generasi awal itu pada lembaga paten Italia di Turin pada 1884. Sekarang, espresso jadi beranak pinak, menjadi dasar bagi banyak minuman populer lain: cappucino, macchiato, juga aneka ria latte.

Karena itu, banyak orang lumayan kaget atas "kenekatan" Starbucks yang akan membuka gerai pertamanya di Italia, direncanakan akhir tahun 2018. Gerai yang merangkap pusat penyangraian --salah satu yang tercanggih di dunia-- itu akan berlokasi di gedung Palazzo Delle Poste yang terletak di Piazza Cordusio, sekitar tiga menit berjalan kaki dari pusat kota Milan.

Sebenarnya, Starbucks berutang banyak pada Italia dan kultur ngopinya. Pada 1983, Howard Schultz, direktur pemasaran pemasaran Starbucks, pergi ke Milan dan terinspirasi atas konsep tempat ngopi di sana. Bar --sebutan untuk tempat nongkrong orang Italia, menyajikan kopi, wine, kudapan, dan kadang es krim-- menjadi pusat berkumpul komunitas. Mereka minum kopi sambil berbincang apa saja. Ia juga terkesan dengan bagaimana barista di sana menyiapkan espresso. Segala konsep itu kemudian dia terapkan di Starbucks.

"Aku diselimuti insting yang tergolong nekat, bahwa ini yang harus kami lakukan," kata Schultz dalam situs resmi Starbucks.

Schultz, kini menjabat sebagai CEO Starbucks, ingin membawa inspirasi Starbucks kembali ke rumahnya: Milan.

Sebuah Pertaruhan Starbucks

Italia punya kisah pertautan yang panjang dengan kopi. Biji kopi pertama masuk ke Italia pada kurun 1500-an. Saat itu banyak saudagar Venesia berbisnis dengan pedagang dari Afrika Utara, Mesir, juga Timur Tengah. Salah satu yang dibawa ke Italia adalah kopi. Namun, kopi sempat dicap sebagai minuman orang Islam, membuatnya tak begitu populer. Kopi bisa diterima oleh orang Italia setelah Paus Clement VIII.

Begitu pula kultur minum kopi. Peribahasa yang ditulis di awal lahir karena banyak orang Italia enggan bekerja kalau belum minum kopi. Bar juga menjadi tempat orang-orang Italia berkumpul dan ngobrol.

"Orang dari semua umur dapat pergi ke bar. Tak ada batasan umur. Kamu bisa melihat sekelompok orang Italia permain kartu, menonton TV, atau sekadar ngobrol. Orang Italia bisa mengunjungi bar lokal beberapa kali di pagi hari untuk minum kopi, dan mengunjungi bar lagi di awal malam untuk aperitivo, atau cokctail sebelum makan malam," tulis Martha Bakerjian, seorang pakar perjalanan Italia di situs Go Italy.

"Rehat sejenak untuk minum kopi, atau minum kopi sebelum kerja adalah hal umum di Italia."

Infografik Rencana Starbucks Invasi Italia

Banyak orang mengatakan bahwa Starbucks akan membuat bar-bar dan kedai kopi lokal menjadi bangkrut. Apakah iya? Ternyata para pemilik kedai kopi dan bar justru santai saja.

"Jujur saja, aku lebih waspada terhadap bar di lingkunganku ketimbang kopi encer ala Starbucks," kata Cristian Marone, salah satu manajer di Bar dei Bossi, salah satu kedai kopi di Milan. Bar ini terletak hanya selemparan tombak dari lokasi yang akan dijadikan gerai Starbucks.

Menurut Marone, kedainya dan Starbucks menawarkan hal yang berbeda. Di Starbucks, ujarnya, konsumen hanyalah angka. Menjadi pelengkap dari statistik, semisal berapa orang yang datang, berapa gelas kopi yang terjual, atau berapa kue yang dibeli. Namun di Bar dei Bossi, promosinya pada NPR, perhatian kepada konsumen adalah hal yang amat penting.

Sedangkan menurut Eleonora Fornaicari, pemilik Caffe Rivoli yang juga terletak di Milan, mengatakan Starbucks bukanlah ancaman serius. Menurut Eleonora, espresso dan cappuccino tradisional adalah akar penting dalam kehidupan orang Italia. Minuman "genit" ala Starbucks hanya akan menarik turis dan orang-orang Italia yang penasaran. "Tapi mereka tak akan bisa menggantikan kopi asli Italia," katanya.

Selain itu, Starbucks punya hambatan besar: harga. Menurut Federazione Italiana Pubblici Esercizi, sebuah lembaga yang terdiri dari perusahaan katering, restoran, pariwisata, dan industri hiburan; ada 149.300 bar di Italia pada 2016. Warga Italia pada 2016 berjumlah sekitar 61 juta orang. Ini artinya, ada 1 bar tiap 400-an warga. Artinya pula: harga akan bersaing ketat.

Pada bar-bar di kawasan Piazza Cordusio, secangkir cappuccino dan satu kue biasa dibanderol sekitar Rp39 ribu. Di AS, cappucino ukuran Grande sendiri harganya bisa mencapai Rp51 ribu, belum pajak. Menurut Luca Siciliano, seorang warga Italia yang menulis di Quora, rata-rata harga kopi di Italia adalah 0,9 Euro.

"Orang Italia tak akan mau membayar kopi seharga 2,5 Euro," ujarnya.

Sebenarnya alasan itu juga yang membuat banyak restoran takut untuk membuka gerai di Italia. Negara ini adalah tempat kelahiran banyak makanan populer dunia. Karena itu, bahkan restoran pizza skala raksasa seperti Pizza Hut pun seperti tak mau ambil risiko dengan memperluas sayapnya ke sana. Begitu pula dengan Starbucks, yang selama ini memang belum berani membuka gerai di Italia.

"Selama ini aku berpikir kami belum siap membuka cabang di Italia. Kami belum berhak buka cabang di sana. Kalau kami akhirnya memutuskan membuka cabang di Italia, tujuannya jelas bukan untuk mengajari orang Italia bagaimana membuat kopi. Melainkan untuk mengekspresikan penghormatan kami terhadap apa yang sudah mereka lakukan," ujar Schultz dalam video keterangan persnya.

Meski menghadapi persaingan yang ketat dari banyak bar dan kedai kopi lokal, Starbucks masih bisa sukses. Jika merujuk Eleonora, pangsa pasar Starbucks jelas: turis, orang Italia yang penasaran, dan anak muda. Milan dikunjungi 1,9 juta turis per tahun. Jumlah yang amat potensial. Untuk wisatawan yang enggan mengeksplorasi sebuah kota, biasanya pilihan aman adalah mengonsumsi jaringan restoran waralaba. Jika ingin kopi, mereka pasti datang ke Starbucks. Sama halnya ketika orang Indonesia datang ke sebuah negara asing dan ingin mencari rasa yang aman, mereka akan mencari KFC atau McDonald's.

Anak muda juga bisa menjadi calon konsumen yang setia. Karena gerai Starbucks biasanya menyediakan jaringan internet nirkabel. Anak muda yang suka nongkrong sembari berselancar di dunia maya, tentu akan menyukai fasilitas ini. Ditambah lagi, anak muda memang bagian besar dari konsumen Starbucks. Sekitar 40 persen konsumen mereka adalah remaja berusia 18 hingga 24 tahun.

Vito Bossi, pemilik Bar Cordusio yang terletak pas di depan calon gerai Starbucks, menyadari bahwa kedainya dan Starbucks akan menapak di jalan yang berbeda, menyasar konsumen yang berbeda pula. Dalam wawancaranya bersama NPR, dia menyatakan tak gentar terhadap reputasi Starbucks.

"Kami adalah bar Italia," ujar Bossi penuh kebanggaan. "Di Italia, hanya sedikit orang yang menyukai produk Starbucks."

"Jadi, bisnis kami akan berbeda."

Baca juga artikel terkait STARBUCKS atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti