tirto.id - Sentimen Trump terhadap kaum LGBT kembali mencuat lewat pernyataan yang dibuatnya pada Rabu (26/7) silam.
Lewat akun Twitternya, ia mengatakan, “Setelah berkonsultasi dengan Jendral dan pakar militer saya, camkan bahwa pemerintah AS tidak akan menerima atau mengizinkan orang-orang transgender untuk bergabung di bagian apa pun dalam militer AS. Militer kita mesti berfokus pada kemenangan dan tidak boleh dibebani dengan biaya medis membengkak dan gangguan yang disebabkan oleh transgender di militer. Terima kasih.”
Sejak 2016, Pentagon mencabut larangan orang-orang transgender untuk bergabung dengan militer. Pencabutan larangan ini mengekori keputusan Obama yang pada 2011 telah menghapus kebijakan "don’t ask, don’t tell” yang selama 17 tahun telah membatasi orang-orang LGBT masuk ke ranah tersebut.
Setahun sebelumnya, The Williams Institute melaporkan telah ada 70.000 anggota militer dari kalangan LGBT yang tentunya belum bisa secara terbuka mengungkapkan orientasi seksual mereka kepada sesama tentara. Sementara pada 2014, institusi tersebut memperkirakan ada 15.500 transgender yang tergabung dengan militer.
Dilaporkan Huffington Post, sejak larangan “don’t ask, don’t tell” dihapuskan, menurut data dari RAND Corp, biaya kesehatan untuk anggota militer aktif meningkat antara $2,4–8,4 juta per tahun. Studi lain pada 2015 menunjukkan bahwa perawatan transisi untuk para tentara transgender sebesar $5,6 juta per tahun.
Apakah alasan biaya kesehatan yang Trump gunakan ini benar-benar kuat untuk menyingkirkan kaum transgender?
Jika dibandingkan dengan biaya tahunan yang dianggarkan untuk kesehatan militer AS, hal ini bukan apa-apa. Saat ini, sekitar $47 miliar disediakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kesehatan para tentara. Dengan biaya yang dianggarkan untuk tentara transgender tadi, kira-kira setiap anggota hanya menerima 22 sen per bulan untuk segala perawatan yang mereka butuhkan, demikian ungkap Aaron Belkin, akademisi dari San Francisco State University.
Ada sesuatu yang lebih ironis dari pernyataan Trump di Twitter tersebut. Pada saat ia menggadang-gadang isu bengkaknya biaya kesehatan untuk tentara transgender, Departemen Pertahanan telah menghabiskan lebih dari $84 juta per tahun untuk kebutuhan viagra para anggota militer. Dari sini dapat terlihat, tidak hanya Trump menyiratkan sikap diskriminatif, pesan bahwa budaya maskulinitas yang ‘beracun’ pun telah mewabah di tubuh militer.
Mereka yang Tak Percaya LGBT Cuma Jadi Momok Militer
Sikap homofobik Trump yang diejawantahkan melalui kebijakan dan pernyataannya kontras dengan yang ditemui di sejumlah negara maju lainnya. Dilaporkan CBCNews, setidaknya ada delapan negara yang membolehkan anggota militer berasal dari kaum LGBT. Sejak tahun 2000, orang-orang LGBT diizinkan menjadi personel militer di Inggris.
Mereka juga membentuk suatu forum LGBT yang membutuhkan dukungan untuk mengungkapkan orientasi seksualnya di tempat bertugas. Sayangnya, sekalipun kebijakan di tubuh militer ini telah diberlakukan sejak 2000, perlakuan diskriminatif terhadap tentara-tentara LGBT. Pada 2013, salah satu tentara gay, James Wharton, diwartakan The Telegraph menerima ancaman pemukulan dari sesamanya sebelum akhirnya Pangeran Harry mengambil tindakan tegas untuk membelanya.
Sementara tahun 2009, seorang tentara lesbian mengalami pelecehan ketika mengambil bagian dalam Royal Artillery. Tak pelak, Kementerian Pertahanan Inggris pun harus membayar £124,000 untuk tuntutan sang tentara.
Jauh sebelum melegalkan pernikahan sesama jenis baru-baru ini, Jerman telah memperbolehkan orang-orang LGBT untuk turut membela negara dengan menjadi tentara. Pada 1990, Jerman pertama kali mengizinkan orang gay menjadi tentaranya—yang dikena dengan sebutan Bundeswehr. Sama seperti Inggris, baru sejak tahun 2000 larangan tentara LGBT di Jerman dihapuskan.
Belanda lebih dulu lagi mengizinkan anggota militernya berasal dari kaum LGBT. Mulai tahun 1974, mereka membuka kesempatan bagi orang-orang LGBT untuk bergabung dengan militer. Tidak hanya itu, militer Belanda juga memegang kebijakan “do tell” yang memberanikan kaum marjinal ini secara terbuka menyatakan orientasi seksualnya. Militer Belanda juga secara rutin membuat acara “floats in pride” di mana para tentara LGBT melintasi sungai dengan perahu dan mengekspresikan diri mereka di depan publik, demikian hasil studi The Hague Centre for Strategic Studies.
Negara-negara lain yang juga mengizinkan orang-orang LGBT bergabung dengan militer di antaranya Kanada, Australia, Israel, Selandia Baru, dan Swedia.
Keterlibatan tentara LGBT dalam menumpas aksi terorisme pun belum lama ini diberitakan di beberapa media. Dilansir Newsweek, sekelompok relawan yang bergabung dengan tentara Kurdish melawan ISIS di utara Suriah membentuk unit yang terdiri dari orang-orang LGBT. Unit ini dinamai The Queer Insurrection and Liberation Army atau TQILA. The International Revolutionary People’s Guerrilla Forces (IRPGF), sebuah gerakan anarkis, mengumumkan pembentukan unit ini pada Senin (24/7) lalu.
Pembentukan TQILA bertujuan mematahkan biner gender dan menyokong revolusi perempuan, seiring dengan revolusi seksual dan gender yang lebih luas. Satu hal yang memotivasi sekelompok LGBT untuk bergabung melawan ISIS adalah banyaknya aksi mengerikan yang dilakukan kelompok fasis dan ekstremis terhadap komunitas queer. Komunitas ini kerap kali disebut sakit dan ‘tidak sesuai kodrat’ oleh kelompok ISIS.
“Gambaran-gambaran orang-orang gay dilempar dari atap dan dirajam oleh Daesh —sebutan lain untuk ISIS—adalah hal yang tidak bisa kami abaikan,” demikian kutipan pernyataan IRPGF. Rilis IRPGF terkait TQILA ini diakhiri dengan slogan “Shoot back! These faggots kill fascist!” dan penampilan logo kelompok berbentuk senapan AK-47 dengan latar belakang merah jambu.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani