tirto.id - Novel Baswedan dan 43 eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi lain bergabung menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri. Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo melantik 44 eks pegawai KPK ini pada 9 Desember 2021. Sigit menekankan agar para pegawai baru itu turut berperan aktif memperkuat komitmen pemerintah menciptakan budaya antikorupsi guna mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Selamat bergabung. Kami perkuat komitmen dan kebijakan pemerintah dalam rangka menciptakan iklim, budaya, ekosistem antikorupsi. Sehingga iklim investasi, APBN yang digunakan dan seluruh rangkaian kebijakan dalam rangka mendukung dan mengembalikan pertumbuhan perekonomian Indonesia betul-betul bisa terlaksana dengan baik,” ucap Sigit.
Kehadiran 44 orang tersebut juga memperkuat organisasi Polri yang berkomitmen memberangus rasuah.
Semangat itu sejalan dengan instruksi Presiden Joko Widodo yang menginginkan pemberantasan korupsi bukan sekadar penegakan hukum. Melainkan harus menyentuh pada hal yang bersifat fundamental untuk menyelesaikan akar permasalahan. Maka sangat penting memperkuat Divisi Pencegahan dalam pemberantasan korupsi.
Peran Novel Baswedan cs nantinya juga untuk melakukan perubahan cara pandang, mendampingi, mencegah, menangkal, dan bila diperlukan ikut membantu melakukan kerja sama hubungan internasional dalam rangka melaksanakan penelusuran pemulihan aset.
“Saat ini kami sedang lakukan perubahan terhadap Direktorat Tindak Pidana Bareskrim Polri yang akan dijadikan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas). Sehingga di dalamnya berdiri divisi-divisi lengkap mulai dari pencegahan, kerja sama, sampai penindakan," kata Sigit.
Selanjutnya, ia mengklaim perekrutan 44 eks pegawai KPK ini telah dilakukan secara cermat dan berhati-hati dengan memperhatikan regulasi. Sehingga ke depan, tidak akan menimbulkan permasalahan hukum.
Polri telah menyelesaikan proses pengangkatan khusus menjadi pegawai ASN di lingkungan Korps Bhayangkara sesuai dengan prosedur dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Perekrutan Novel cs, Sigit memastikan, Polri telah melakukan koordinasi, sinergi dan harmonisasi dengan Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan Kepegawaian Negara, dan para ahli bidang administrasi dan tata negara.
Ke-44 ASN Polri baru ini telah mendapatkan Nomor Induk Pegawai berdasarkan Surat Keputusan Kapolri. Usai diterima menjadi bagian Polri, Novel dkk harus menjalani pendidikan 14 hari di di Pusat Pendidikan Administrasi Polri. Namun yang menyiapkan kurikulum dan tenaga pendidik adalah Lembaga Administrasi Negara.
“Usai mengikuti pendidikan 14 hari, terhitung mulai 1 Januari 2022, maka (Novel Baswedan cs) akan diambil sumpah dan kemudian ditempatkan sesuai penugasan dan kompetensi yang sudah ditentukan,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo.
Sementara ini 44 orang tersebut ditempatkan pada jabatan fungsional di satuan kerja Polri sesuai dengan kompetensi masing-masing. Bahkan bisa saja Novel cs nanti 'ditaruh' di Kortas Tipikor Polri.
Mampukah Kortas Memberantas Rasuah?
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari merespons rencana pembentukan Kortas ini. “Itu sepertinya terkait dengan pengangkatan 57 eks pegawai KPK. Tentu jika melihat kinerja KPK saat ini yang tidak bertaji, maka rencana ini bukan tidak mungkin berkaitan dengan kondisi tersebut,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (10/12/2021).
Berdasar Laporan Tahunan 2020 Indonesia Corruption Watch, sistem antikorupsi yang relatif baik yang Indonesia pernah punya, yakni KPK, telah dilemahkan melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Hasil dari kebijakan revisi ini juga langsung dirasakan, karena skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2020 anjlok drastis, menjadi hanya 37 dari 40 pada tahun lalu. Sedangkan penguatan berbagai unit pengawas dan pendeteksi korupsi di sektor publik tidak kunjung dilakukan sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya korupsi yang lebih gawat.
Revisi undang-undang tersebut bukan saja merusak independensi KPK, karena menempatkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, tapi turut merusak mekanisme internal penindakan korupsi di lembaga antirasuah. Pada sisi penindakan, wajah buruk UU Nomor 19 Tahun 2019 mulai terlihat saat KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU 2017-2022.
Perkara yang juga melibatkan buronan KPK, politikus PDIP Harun Masiku, telah menunjukkan betapa rumitnya proses perizinan untuk melakukan penggeledahan. Alhasil, hingga saat ini, KPK tak kunjung melakukan penggeledahan di Kantor PDIP dan gagal menangkap kembali Harun Masiku.
Apakah Kortas nantinya akan efektif? Feri berujar “Sulit untuk membedakannya sama sekali dengan KPK karena kewenangan sangat sama. Kecuali soal penuntut, kepolisian tetap akan mengandalkan kejaksaan.”
Sementara itu, Alvin Nicola, peneliti Transparency International Indonesia (TII) berpendapat masih terlalu dini untuk menilai efektivitas Kortas. “Namun saya harap keberadaan Kortas justru bisa memetakan ulang risiko korupsi di tubuh kepolisian, baru kemudian membenahi efektivitas program pencegahan dan penindakan korupsi Polri. Kedua, secara struktur, Kortas perlu ditempatkan langsung di bawah Kapolri agar koordinasi berjalan dengan efektif,” ucap dia kepada Tirto.
TII merilis Corruption Perception Index (CPI) yang ke-25 untuk tahun pengukuran 2020. CPI 2020 bersumber pada 13 survei global dan penilaian ahli serta para pelaku usaha terkemuka untuk mengukur korupsi di sektor publik di 180 negara dan teritori. Penilaian CPI didasarkan pada skor. Skor dari 0 berarti sangat korup dan skor 100 sangat bersih.
CPI Indonesia tahun 2020 berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 3 poin dari 2019 yang berada pada skor 40/100. Tahun 2019 adalah pencapaian tertinggi dalam perolehan skor CPI Indonesia sepanjang 25 tahun terakhir. Turunnya skor CPI Indonesia membuktikan sejumlah kebijakan yang bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi tanpa mengindahkan faktor integritas, hanya akan memicu terjadinya korupsi.
Perihal pengawasan Kortas juga penting. “Pengawasan langsung dari Kapolri dan Kortas, harapannya, juga terbuka kerja-kerjanya ke publik sehingga dapat dipantau akuntabilitasnya,” imbuh Alvin.
Akuntabilitas juga berdampak kepada kepercayaan rakyat, kata dia. Survei Indikator Politik Indonesia [PDF] menunjukkan TNI merupakan lembaga yang paling dipercaya publik, disusul Presiden, dan Polri. Tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 80,2 persen.
Angka ini tertinggi sepanjang sejarah survei opini publik dalam satu dekade terakhir. Artinya, selama 10 tahun terakhir, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Korps Bhayangkara selalu berada di bawah 80 persen. Polri merespons survei tersebut.
Survei ini dilakukan secara tatap muka pada 2-6 November 2021. Penarikan sampel dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan jumlah responden mencapai 2.020 orang. Survei ini memiliki margin of error kurang lebih 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Berikut hasil survei kepercayaan masyarakat terhadap Polri: 57,5 persen (2014), 68,6 persen (2015), 73,2 persen (2016), 76,5 persen (2017), 79,8 persen (2018), 80 persen (2019), 72 persen (2020), dan 80,2 persen (2021).
Kortas Hanya Seremonial?
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto menilai Kortas hanya akan melengkapi ketidakefektifan deretan satgas-satgas yang sudah dibentuk Polri selama ini. Kepolisian seharusnya fokus pada pembenahan internal.
“Problem yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, misalnya pungli. Sampai saat ini masih jamak di internal dan belum pernah terselesaikan dengan benar. Pengawasan dan penindakan hanya sporadis belum menjadi sebuah sistem yang integral,” terang dia kepada Tirto, Jumat (10/12/2021).
Bambang menambahkan, “Selama semangat antikorupsi di kepolisian belum menjadi ‘kebiasaan dan jalan hidup,’ pembentukan korps itu hanya sekadar proyek seremonial saja.”
Bambang menilai Korps Bhayangkara harusnya melakukan evaluasi internal, mengapa Direktorat Tindak Pidana Korupsi Polri tidak berjalan greget? Apa penyebabnya? Apakah karena kelemahan akibat aturan atau karena kelemahan SDM? Atau yang lebih parah, karena mentalitas SDM lemah dan menjadi bagian sistem yang korup?
“Kalau sudah demikian, apapun namanya entah satgas khusus, korps antikorupsi, detasemen antikorupsi atau yang lain, hanya akan jadi deretan nomenklatur, gagah-gagahan yang sekadar menambah anggaran, tapi tidak menambah kontribusi,” tutur dia.
Ranah pengawasan Kortas juga bisa melahirkan perkara baru. Jika Kortas diawasi langsung di bawah Kapolri memang akan kuat, tapi apa tidak memunculkan resistensi dengan Bareskrim yang juga memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi, kata Bambang mempertanyakan.
Tabrakannya nanti, kata Bambang, bukan hanya dengan KPK tetapi dengan Bareskrim sendiri. Hal ini akan memunculkan pertanyaan: ada apa Kapolri dengan Kabareskrim? Masalah utama di internal Polri itu ihwal pengawasan.
“Organisasi sebesar itu, pengawasan hanya diserahkan pada internal. Sangat mustahil untuk efektif. Bagaimana mungkin perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dilakukan oleh Polri sendiri? Itu yang harusnya dipecahkan lebih dahulu,” kata dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz