tirto.id - City Seal Task Force (CSTF) yang dibentuk Wali Kota dan Dewan Kota Salem wilayah Massachusetts, Amerika Serikat, pada Kamis (23/1/2025), sepakat mengadakan pertemuan perdana guna membahas perdebatan soal segel "logo" Kota Salem.
Pemicunya, beberapa warga sipil memprotes gambar orang Aceh di tengah segel Kota Salem. Meluber indikasi dan stereotipe yang dikhawatirkan berpotensi menyinggung isu rasialisme dan identitas masyarakat Aceh di Indonesia.
Wacana pengubahan segel kota dan pembentukan CSTF telah mencuat sejak 26 September 2024, dan baru mendapat sambutan pada 5 November ketika situs web resmi Pemerintah Kota Salem mengabulkannya.
CSTF terlibat dalam agenda penelitian, dialog komunitas, dan tinjauan sejarah, serta yang paling utama diskursus "segel Kota Salem" yang telah mengakar sejak 1839. Mereka bertanggung jawab atas evaluasi konteks sejarah, representasi identitas kota, dan rekomendasi potensial demi modifikasi yang tepat sasaran.
Rencananya, proyek CSTF akan berlangsung dalam periode 18 bulan. Selama itu, riset dan penelitian sejarah segel kota memfasilitasi formulir masukan publik, yang nantinya menjadi pertimbangan desain final yang bakal diusulkan kepada Wali Kota dan Dewan Kota Salem. Sebab, perubahan dan modifikasi logo harus mendapat izin legal formal dari dua badan pemerintahan ini.
Sejak pembentukannya pada 5 November, CSTF tercatat telah menghelat sembilan pertemuan daring (pertama 17 Maret dan terakhir 25 Agustus) di Zoom yang dipublikasikan secara terbuka di laman resmi Pemerintah Kota Salem. Tujuannya, agar polemik segel Kota Salem dapat terakses setransparan mungkin, dan mengakomodasi jaringan informasi internasional yang lebih luas.
CSTF beranggotakan 11 orang dari berbagai latar belakang, dikepalai oleh Regina Zaragoza Frey, seorang pejabat yang dekat dengan Dominick Pangallo, sang wali kota.
Sejarawan yang dicatut namanya sebagai motor riset adalah R. Michael Feener, profesor cross-regional studies di Kyoto University Center, dan anggota asosiasi Fakultas Sejarah Universitas Oxford. Kemudian Vijay Joyce, direktur eksekutif Pickering Foundation & Steward, sebuah yayasan yang mengakomodasi restorasi serta revitalisasi sejarah di Kota Salem. Bahkan CSTF turut melibatkan seorang remaja yang berusia kurang dari 18 tahun—tanpa disebutkan namanya—sebagai afiliasi dan keterwakilan dari suara publik.
Andy Varela, anggota Dewan Kota saat ditanya setelah pemungutan suara CSTF pada 8 Maret—setelah melubernya stereotipe—menjawab, "Ketika datang ke penulisan sejarah, ada bias yang mengakar... Kita tidak dapat mengecualikan bahwa penulis Inggris dan Amerika secara konsisten menarik paralel antara orang Asia Tenggara dan penduduk asli Amerika yang mengidentifikasi mereka sebagai orang biadab atau kurang [dari Eropa-Amerika]. Ini adalah sesuatu [yang perlu didalami], setelah melihat semua dokumen sejarah yang masuk [ke Komite Layanan Pemerintah], yang perlu kita diskusikan."
Semerbak Lada Aceh di Salem
Sosok orang Aceh di segel Kota Salem yang mengenakan baju adat ulee balang sambil membawa payung itu terikat lewat benang sejarah panjang Aceh dengan Amerika Serikat.
Antropolog Aceh, Reza Idria, dalam unggahan Instagram-nya menyebut George Peabody, Bapak Filantropi modern asal Amerika Serikat adalah tokoh di balik pembuatan desain segel Kota Salem pada 1836. Peabody memilih menempelkan sosok Po Adam, bangsawan Aceh yang diketahui sebagai kolega serta sejawat karib ayahnya, Joseph Peabody.
"[Po Adam] seorang pedagang lada terkaya di Kota Salem ketika itu. Namun hubungan Aceh-Salem telah terjalin dua abad sebelum Amerika merdeka. Bisa jadi orang Aceh di logo tersebut datang dari abad sebelumnya," tulis Reza Idria.
Mereka bersekutu sepanjang 1654-1846, dengan tidak kurang 179 kapal dari Benua Amerika berlayar dan berlabuh di Aceh.
Itu semua bermula ketika Elihu Yale, pedagang dan pejabat kolonial Inggris yang beken sebagai donatur utama Universitas Yale mengirim dua karyawannya ke Aceh. Kemudian dua wilayah ini saling menjalin kongsi dagang, dan selanjutnya menjadikan Salem, sebagai satu-satunya kota di AS yang tambatan rempah lada dari Aceh.
Dominasi Aceh-Salem dalam perdagangan rempah ini menjadikan kedua wilayah mendapat tempat yang begitu diperhitungkan, bertalian ratusan tahun, sampai-sampai di Australia, lada utuh dikenal sebagai "Lada Salem".
Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe juga mencukil, "Pada 1795, kapal-kapal dari Salem menemukan jalan menuju pusat perkebunan lada yang besar dan masih baru di wilayah yang kini termasuk ke Aceh selatan, yakni pantai yang terletak antara Susoh (waktu itu disebut Susu) dan Trumon. Hingga 1803, pantai tersebut menghasilkan sekitar 5000 ton lada, dan sebagian besar dikirim ke New England."
Di samping itu, kargo lada curah Aceh terakhir yang mendarat di Salem tercatat pada 6 November 1846, diboyong oleh kapal Lucilla.
Walhasil, demi membalas utang dagang dan budi dari Aceh, segel Kota Salem mereproduksi pertalian dagang tersebut, dengan memuat orang Aceh di dalam logo kota mereka.
"Sebuah kapal dengan layar terkembang, mendekati pantai, ditandai dengan kostum orang yang berdiri di atasnya dan pepohonan di dekatnya, sebagai bagian dari Hindia Timur... dengan motto 'Divits Indiae usque ad ultimum sinum' ... yang berarti 'Dari kekayaan India hingga ke pelabuhan terjauh di Timur yang kaya...',” tulis Michael McHugh di Salem News pada 18 September 2024.
Sosok Po Adam dalam segel Kota Salem didesain sebagai seorang pria beserban merah pipih, dengan celana panjang dan ikat pinggang merah, jubah kuning selutut, dan mengenakan pakaian berwarna biru. "Tidak ada satu pun bangsa di Hindia Timur yang kostumnya lebih mirip dengan ini selain orang Aceh, dan mungkin itulah tujuannya," tambah McHugh.
Bukan hanya retorika simbolis belaka, cerita tutur di Salem mengenai sejarah lada di kota mereka telah menyelinap dalam setiap ingatan penduduk hingga kiwari. Reza, yang berkesempatan mengikuti program doktoral di Harvard mengaku berulang kali mendengar langsung hikayat dagang dengan bau semerbak lada Aceh di Salem.
Salah satunya dari pemandu yang mengantarnya melihat-lihat Friendship, replika kapal niaga Amerika yang pernah dibajak penduduk di Kuala Batee (orang Amerika menyebutnya Quallah Battoo) pada 1831.
Kala itu, Friendship yang dinakhodai Charles Moses Endicott "kecolongan" penumpang mereka sendiri, penduduk Melayu pesisir, dengan mencuri momentum. Endicott, para perwira, dan sebagian besar rombongan tengah berdagang lada di darat. Keadaan lengah itu dimanfaatkan para penduduk untuk mengambil alih kapal, menjarah seluruh muatan, bahkan membunuh beberapa awak yang berjaga.
James Duncan Phillips dalam Lada dan Bajak Laut: Petualangan dalam Perdagangan Lada Sumatra (1949) menjelaskan, Amerika mengirim fregat USS Potomac demi dapat membebaskan Friendship dari cekalan para pembajak. Kini, Friendhsip telah "dimuseumkan" dan tertambat di dermaga tua Salem.
Tindak Lanjut Modifikasi Segel Kota
Dari sekian ragam seruan protes terhadap segel Kota Salem, Reza Idria bukan termasuk salah satunya. Dia justru mendukung labelisasi orang Aceh dalam segel kota, sebagai sebuah "ikatan yang terasa signifikan" di antara Aceh-Salem.
Misalnya ketika tsunami dahsyat yang menggulung sebagian besar Aceh dan Sumatra pada 2004, beberapa publikasi informasi di surat kabar Boston Globe memberitakan penggalangan dana bantuan untuk tsunami Aceh di wilayah pantai utara Amerika. Penggalangan itu oleh Reza disebut, "diorganisir demi menghormati 'ikatan lama' antara Massachusetts dan Sumatra."
Reza juga menyampaikan keluhnya kepada Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, serta para direktur dan penasihat khusus yang berkunjung ke Aceh. Reza berujar simbol orang Aceh di segel Kota Salem harus diperingati sebagai diplomasi budaya, dan berharap tak diubah oleh Pemerintah Kota Salem, "...hanya karena takut dianggap tidak sensitif."
Sebelumnya, berkelindan sebuah petisi yang diajukan kelompok protes, yang menganggap bahwa sosok di dalam segel Kota Salem adalah karikatur orang Asia Timur dan "disrespectfull and exoticizing".
Tentu menurut Reza, "... berbeda dengan catatan sejarah maupun persepsi masyarakat Salem yang selama hampir dua abad meyakini figur yang ada dalam logo adalah sosok pedagang rempah khas Sumatra pada abad ke-17 dan ke-18."
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, juga turut mendukung ujaran Reza. Dia menyurati Gubernur Massachusetts dengan nomor 400.6.4/9190 pada 18 Juli 2025. Isinya, meminta agar logo Kota Salem dipertahankan.
"Daripada menghapus lambang itu, mari kita perkuat maknanya melalui kerja sama yang lebih luas, seperti program pendidikan, pertukaran budaya, hingga kemungkinan menjalin hubungan kota kembar antara Banda Aceh dan Salem," kata Mualem.
Bahkan dari pihak Dewan Kota Salem, tak semuanya menganggap isu rasialisme dan identitas menjadi persoalan negatif.
Cindy Jerzylo, anggota dewan mengenang, "tumbuh besar di Salem, saya selalu memandang segel kota sebagai penghormatan kepada orang-orang Sumatra karena membantu menempatkan Salem di peta."
"Saya sedih baru-baru ini mendengar bahwa beberapa orang menganggap segel kota sebagai tanda rasisme. ...Bagaimana kita sekarang bisa mengatakan bahwa kota tidak lagi ingin menghormati atau mengakui sejarah yang terus memperkaya kota kita saat ini?" pungkasnya menyayangkan.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































