tirto.id - Sejumlah pemerintah daerah menerapkan beragam inovasi kebijakan demi menekan penularan kasus COVID-19 di masa Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat di Jawa-Bali. Salah satunya ramai-ramai membuat kebijakan mematikan lampu jalan saat malam hari. Rata-rata, mereka mematikan lampu pada pukul 20.00 WIB hingga pagi hari.
Dalam catatan, beberapa daerah yang menerapkan kebijakan mematikan lampu ini, antara lain: Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta), Kota Kediri dan Kota Malang di Jawa Timur, Temanggung dan Demak di Jateng hingga Provinsi Bali.
Sleman mulai menerapkan kebijakan ini pada 5 Juli 2021. Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo menerbitkan kebijakan mematikan lampu reklame, penerangan dan sejumlah ruas jalan yang berlaku sejak 5 hingga 20 Juli 2021 atau selama PPKM Darurat di Jawa-Bali berlangsung.
Di waktu yang sama, Kediri juga menerapkan kebijakan yang sama, yaitu mematikan lampu di sejumlah ruas jalan kota tersebut. Sementara Demak menerapkan kebijakan yang sama di 11 titik lokasi. Hal tersebut diumumkan pada 8 Juli 2021.
Malang lebih dulu lagi menerapkan kebijakan mematikan lampu ini, yakni sejak Sabtu, 3 Juli 2021 atau hari pertama pemberlakuan PPKM Darurat. Di sisi lain, Temanggung bahkan sudah menerapkan kebijakan ini sejak awal pandemic Maret 2020.
Tak hanya kabupaten/kota, kebijakan mematikan lampu juga dilakukan di tingkat provinsi. Gubernur Bali I Wayan Koster memutuskan memberlakukan kebijakan tersebut setelah rapat Forkompinda, Rabu (7/7/2021) dan langsung diterapkan keesokan harinya.
Memicu Kontroversi & Muncul Hoaks
Kebijakan ini lantas menuai kontroversi saat pertama kali diterapkan di Kota Malang. Semua berawal ketika beredar video hoaks warga Malang menjadi korban kebijakan lampu jalan mati saat malam hari.
Wali Kota Malang Sam Sutiaji lantas merespons keluhan warga lewat akun instagram lantaran tidak sedikit warga mengritik kebijakan tersebut. Tidak sampai 24 jam, Sam Sutiaji lantas mengumumkan lampu penerangan di Malang kembali normal.
Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Mouhamad Bigwanto tidak bisa berkomentar banyak mengenai dampak dari kebijakan mematikan lampu ini. Akan tetapi, kata dia, bukan berarti kebijakan tersebut tidak bisa diterapkan untuk menekan kerumunan di daerah.
“Saya engga bisa komentar banyak soal ini, memang caranya menarik dan kreatif menurut saya, meskipun belum ada bukti bisa mengurangi kerumunan, tapi boleh saja dicoba," kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Jumat (9/7/2021).
Sementara itu, pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah melihat kebijakan tersebut kontraproduktif. “Kebijakan mematikan lampu tidak produktif, karena apa? Karena itu ketika terjadi pemadaman lampu, itu muncul potensi-potensi perilaku negatif tinggi," kata Trubus kepada reporter Tirto, Jumat (9/7/2021).
Trubus mencontohkan, faktor perilaku negatif salah satunya potensi tindakan kriminalitas. Ia khawatir, aksi pencurian, pembunuhan hingga pemerkosaan terjadi karena minimnya penerangan.
Faktor lain yang mengarah pada negatif, kata dia, adalah mematikan usaha rakyat. Tidak sedikit warga yang menggelar aktivitas ekonomi seperti UMKM. Belum lagi beberapa industri ada yang tetap masih harus bekerja di jam malam, sementara membutuhkan penerangan.
Selain soal potensi kriminalitas, Trubus mengingatkan bahwa cost and benefit dari kebijakan mematikan lampu tidak optimal. Ia khawatir warga justru malah mengalami kendala dalam melaksanakan isolasi mandiri maupun kesulitan dalam menangani orang yang sakit.
“Yang ketiga menurut saya nggak ada urgensinya. Tidak ada. untuk apa coba dimatikan? Memang ada jaminan kalau dimatikan, terus orang gak beraktivitas, terus gak ada penularan?” kata Trubus mempertanyakan.
Trubus menyebut, kebijakan mematikan lampu justru mengarah kepada panic policy. Kebijakan ini adalah tindakan yang diambil secara buru-buru dan tidak dengan pertimbangan matang. Kebijakan tersebut biasanya mengarah kepada kebijakan populis dan tidak memberikan dampak positif.
Menurut Trubus, pemerintah sebaiknya memperkuat satuan tugas (satgas) di tingkat RT/RW. Satgas di level RT/RW perlu bergerak secara gotong royong lewat ronda dan memeriksa keluar-masuk warga, kata dia.
“Yang kedua, lurah atau kepala desa atau perangkat yang ada di situ harus sering sidak, inspeksi mendadak ke wilayah-wilayah yang kategori potensi penularan tinggi. Bahasa kerennya zona merah atau oranye. Itu yang lebih efektif," kata Trubus.
Berpotensi Langgar Hak Warga
Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menegaskan, aksi pemadaman lampu di jam malam pada masa pandemi bukan sebuah solusi. Ia mengingatkan aksi pemerintah mematikan lampu berpotensi melanggar hak warga karena tidak ada dasar hukumnya.
“Apakah dasar hukumnya ada untuk memadamkan lampu sebagai bentuk dari pembatasan dalam konteks PPKM darurat? Kita kalau baca bagaimana peraturan PPKM darurat dari atas petunjuk dari mendagri sama sekali tidak ada,” kata Isnur.
Isnur menambahkan, “Jadi pemadaman lampu ini tindakan yang tidak memiliki dasar hukum atau dia bagian dari tindakan yang sewenang-wenang.”
Selain itu, kata Isnur, tindakan pemerintah berpotensi melanggar banyak regulasi dan hak warga negara. Sebagai contoh, negara melanggar hak warga selaku konsumen listrik.
Kemudian, pemerintah melanggar hak konstitusi karena pemadaman menghilangkan hak asasi manusia seperti hak anak untuk belajar, hak anak untuk mendapatkan informasi, hak suami untuk menafkahi anak hingga hak orang untuk mendapatkan makanan di malam hari. Ia beralasan semua hak-hak tersebut bisa terganggu karena listrik dan penerangan telah menjadi bagian dari hak dasar manusia.
Oleh karena itu, Isnur mendorong agar pemerintah mencabut kebijakan mematikan lampu di jam malam. Ia menyarankan agar negara lebih fokus pada penerapan aturan dan bentuk sanksi sesuai instruksi mendagri atau aturan turunan seperti PSBB di masa lalu.
Jika tidak mau berubah, kata Isnur, makai rakyat bisa menggugat secara hukum seperti insiden pemutusan internet di Papua pada masa lalu.
“Seharusnya pemerintah belajar dari kasus pemadaman internet di Papua. Itu jelas pemerintah dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan masyarakat bisa menggugat tindakan-tindakan sewenang-wenang seperti itu," kata Isnur.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz