tirto.id - Serangan 11 September 2001 membuat Presiden Amerika Serikat George W. Bush marah besar. Selain melancarkan serangan ke Afganistan karena menilai rezim Taliban melindungi Al-Qaeda, ia juga memberi jalan bagi pengadilan militer untuk menahan terduga teroris di pangkalan militer AS di daerah Kuba bernama Teluk Guantánamo.
Bush mengakuGuantánamo diperlukan “demi melindungi AS dan warga negaranya. Termasuk juga tindakan efektif militer AS dan pencegahan serangan teroris.”
Total ada 780 orang ditahan atau sempat ditahan di Guantánamo, 540 orang dibebaskan pada masa kepemimpinan Bush dan 200 di masa Barack Obama. Saat kekuasaan berada di tangan Joe Biden pada 2021, jumlahnya tinggal 39.
Kondisi tahanan di Guantánamo tentu saja tidak seperti lapas koruptor Sukamiskin. Para tahanan jauh dari kata hidup nyaman apalagi aman. Kisah Abu Zubaydah salah satu buktinya.
Abu Zubaydah ditangkap oleh tentara AS pada Maret 2002 di Pakistan. Zubaydah dituding terlibat dalam aksi 9/11 dan tergabung dalam jaringan Al-Qaeda, padahal, meski mendedikasikan diri untuk jihad, ia bukanlah teroris atau paham dengan serangan ke Menara Kembar.
Central Intelligence Agency (CIA), intelijen AS, menyiksa Zubaydah. Setidaknya dia sudah 83 kali menjadi korban waterboarding–dibaringkan di atas papan, diikat, kepalanya ditutupi kain dan dialiri air hingga sesak napas. Penyiksaan lain pun ia terima. Misalnya, pergelangan tangan diikat pada salah satu pipa dan dipaksa berdiri dengan tumpuan jempol kaki. Kepala Zubaydah juga mengalami luka akibat dibenturkan ke tembok kayu berkali-kali selama dikurung.
Zubaydah juga sempat dikurung dalam kotak kayu yang gelap tanpa penerangan apa pun. Di sana ada satu ember yang digunakan untuk menuntaskan hajat. Di ember yang itu pula Zubaydah bisa duduk. Kali lain, Zubaydah dipindah ke kotak yang lebih kecil yang lebih menyedihkan. Zubaydah harus bertahan hidup berjam-jam dalam posisi meringkuk.
Zubaydah mendeskripsikan kenangan buruk itu “sangat menyakitkan” dan tak terhitung lagi berapa “teriakan yang aku gaungkan tanpa kusadari.”
Human Rights Watch (HRW) mencatat beberapa di antaranya juga dipaksa duduk di atas kotoran sendiri, sedangkan yang lain ada yang mendapat kekerasan seksual dari petugas perempuan.
Zubaydah akhirnya menghirup udara bebas setelah bertahun-tahun ditahan. Tapi ada juga yang harus menetap selamanya atau terkatung-katung menunggu pengadilan yang entah kapan. Salah satunya adalah orang Indonesia: Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias Hambali. Satu-satunya orang Indonesia yang berada di Guantánamo ini baru mendapatkan kesempatan diadili setelah dipenjara selama 18 tahun, Senin (30/8/2021) lalu.
Dari Cianjur ke Guantánamo
Dalam Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service (2004), Ken Conboy menyebut Hambali punya masa muda yang tidak mudah. Anak kedua dari 12 bersaudara yang lahir pada 1964 ini merasa Orde Baru membatasinya belajar Islam. Karenanya dia memutuskan melamar beasiswa ke Malaysia, tapi ditolak.
Sempat menganggur enam bulan, Hambali nekat berangkat ke Malaysia secara ilegal pada 1982 dan menjadi penjual obat. Dari sinilah hidupnya berubah selamanya.
Seorang kenalan bernama Abdullah Sungkar membuka lowongan “relawan” ke Afganistan untuk membantu para mujahidin melawan Uni Soviet. Hambali tak ragu turut serta dan berangkat dengan ongkos sendiri. Ia tiba pada 1986. Di sanalah dia bertemu dengan Osama bin Laden, pimpinan Al-Qaeda.
Komunis Soviet kalah dan Hambali kembali ke Malaysia pada April 1988. Di sana ia tetap menjalin relasi dengan Abdullah Sungkar, juga Abu Bakar Ba’asyir.
“Karier” Hambali tak pernah sama lagi. Dia menjadi penyalur dana Al-Qaeda ke Filipina. Hasilnya adalah ledakan bom di Filipina pada 1994.
Setahun kemudian, Sungkar mengaktifkan gerakan jihad yang telah ia konsep sejak 1980-an. Gerakan ini bernama Jamaah Islamiyah (JI). Hambali punya posisi penting dalam organisasi ini. Saat restrukturisasi jabatan pada 1987, ia diangkat sebagai ketua Mantiqi I yang wilayahnya mencakup Singapura dan Malaysia.
Empat tahun berselang, Hambali mendirikan kelompok militan bernama Rabitah al-Mujahidin. Isinya kebanyakan orang Indonesia, tapi ada juga yang dari Burma, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Gerakan Hambali dipercaya menghasilkan serangan bom di Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada 2000.
Hambali sempat pulang ke Indonesia pada 2000 untuk merancang rangkaian pengeboman gereja pada malam Natal. Ledakan terjadi secara serentak di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto, dan Mataram—total 24 gereja.
Setelah serangan itu Hambali resmi jadi buronan nomor satu di Asia Tenggara, apalagi kemudian Bom Bali I meletus pada 12 Oktober 2002 dan menewaskan 202 orang. Hambali diduga memberi mandat kepada Mukhlas, Amrozi, dan Imam Samudra untuk melakukan teror.
Kurang dari setahun kemudian, tepatnya pada 5 Agustus 2003, bom dengan daya besar meledak di Hotel J. W. Marriot Jakarta. Bom yang membunuh 11 orang dan melukai 81 lain ini juga terkait dengan Hambali.
Sebagai pemimpin JI, Hambali mendapat dana dari Al-Qaeda senilai 15 ribu dolar AS yang kemudian ia teruskan kepada Noordin M. Top dan Azhari lewat perantara seseorang bernama Lillie. Uang itu kemudian dipakai untuk modal membeli bahan baku bom. Informasi ini tersaji dalam dakwaan untuk Hambali yang dirilis pemerintah AS pada 21 Juni 2017.
Hambali saat itu berada di Bangkok, Thailand. Untuk menghindari kejaran polisi, dia pergi ke Laos, Kamboja, dan Vietnam, tapi akhirnya memutuskan berdiam di Thailand.
Penangkapan Hambali ketika itu tampak memang tinggal menunggu waktu. Sel-sel JI lain banyak yang sudah ditangkap. Salah satu interogasi menemukan adanya transaksi yang cukup besar ke Bangkok. Dari sinilah CIA dan intelijen Thailand mulai bergerak melacak posis Zubair—tangan kanan Hambali yang tertangkap pada Juli 2003. Menyusul kemudian penangkapan Lillie yang membantu pelarian Hambali.
Hambali sendiri dibekuk pada 11 Agustus 2003. Tanpa curiga, ia keluar menuju lobi setelah mendapat kabar dari manajer apartemen bahwa ada panggilan telepon penting. Hambali terlihat seperti warga sipil biasa dengan celana jin, kaos oblong, topi, serta kacamata hitam.
Ketika polisi berpakaian sipil membekuknya, ia sempat mencoba mengeluarkan pistol berkaliber peluru 9 mm dari pinggang yang untungnya berhasil diantisipasi.
Pelarian Hambali usai ketika CIA membawanya ke Yordania. Kebebasannya makin jauh ketika dia dikirim ke Guantánamo yang punya penjagaan ketat.
Jalan Buntu Hambali
Persidangan perdana Hambali tidak berjalan lancar. Pertama, tidak ada penerjemah yang baik dari bahasa Inggris ke Indonesia atau Melayu. Kedua, tidak ada pengacara Indonesia meski telah diminta.
Ketua Tim Pengacara Muslim yang terbiasa menjadi pengacara teroris, termasuk Abu Bakar Ba’asyir, Achmad Michdan, mengatakan tidak adanya pengacara Indonesia yang menemani Hambali mungkin karena faktor pandemi. Michdan menyatakan dia memang masih bisa menyaksikan persidangan melalui sambungan jarak jauh. Kendati demikian, dia sangsi itu efektif apalagi terdapat rekam jejak penyiksaan CIA kepada para teroris sebelum dihadapkan di persidangan.
Indonesia, juga Malaysia dan Filipina, sebenarnya sudah meminta agar tahanan dari negara mereka dipulangkan agar mendapatkan persidangan yang adil, tetapi semuanya ditolak AS. Hal ini juga yang diharapkan keluarga. “Jika usia mengizinkan, kami ingin dia kembali ke Indonesia, dan diproses secara hukum di Indonesia. Apa pun konsekuensinya, keluarga kami ingin melihatnya,” ucap saudara Hambali, Kankan Abdul Qadir.
Kolumnis The Diplomat, Ryan Ashley dan Moez Hayat,mengatakan hal ini terjadi karena hubungan diplomatik di bidang keamanan antara negara ASEAN dan AS memang belum setara, dan AS berada di posisi lebih superior. Indonesia bahkan tidak mendapatkan informasi apa pun ketika AS mengirim Hambali ke pangkalan rahasia CIA dan Guantánamo.
“AS tidak melihat negara ASEAN sebagai sekutu atau rekan yang setara. Menyisakan persepsi bahwa negara ASEAN hanyalah alat penanganan terorisme dunia,” catat Ashley dan Hayat.
Pada 2019 lalu, Mayor James Valentine yang ditugaskan untuk mewakili Hambali juga mengakui sulit bagi kliennya untuk mendapatkan persidangan yang adil sesuai standar hukum AS. “Ada risiko seluruh dunia akan mengetahui apa yang dilakukan AS, bagaimana pelanggaran standar HAM internasional yang mereka perbuat,” katanya dilansir dari ABC.
Valentine menyebut Hambali ditelanjangi dan diikat selama interogasi. Hambali juga dibiarkan kelaparan atau kurang tidur. Beberapa teknik seperti membenturkan kepala tahanan yang dipaparkan Zubaydah juga dilakukan kepada Hambali. “Mereka tak akan pernah membiarkan seluruh dunia tahu apa yang mereka lakukan pada Hambali,” kata Valentine.
Bila sedikit beruntung, Hambali mungkin akan dipindah ke penjara yang lebih manusiawi setelah persidangan. Namun sejauh ini kemungkinan ia bebas atau bahkan kembali ke Indonesia hampir nol.
Jika AS berkenan Hambali dikembalikan ke Indonesia pun, Australia, yang 88 warganya tewas karena tindakan teror di bawah arahan Hambali, tidak akan terima melihatnya mendapat sedikit kelonggaran.
Editor: Rio Apinino