Menuju konten utama
12 Oktober 2002

Bom Bali 2002: Kebiadaban Teroris dan Duka Para Korban

Ledakan ganda.
Lahirkan teror untuk
Pulau Dewata.

Bom Bali 2002: Kebiadaban Teroris dan Duka Para Korban
Ilustrasi Bom Bali. tirto.id/Sabit

tirto.id - Bali, 12 Oktober 2002, tepat hari ini 16 tahun lalu.

Fiza menghabiskan Sabtu kedua bulan Oktober 2002 itu di rumah. Ia tinggal tak jauh dari pusat perbelanjaan Matahari Denpasar. Pada pukul delapan malam, kedua orang tuanya berencana pergi ke Kuta bersama ketiga anaknya, termasuk Fiza. Namun, kendaraan yang menyesaki jalan dari Denpasar menuju Kuta menyebabkan lalu lintas macet. Ayah Fiza pun mengurungkan niatnya.

Sabtu malam itu berjalan seperti biasa. Ayah dan ibu Fiza bercakap-cakap di ruang santai. Jelang dini hari, Fiza berdiam diri di kamar, hendak tidur. Tetapi, saat jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, kaca jendela kamarnya bergetar.

“Seperti ada angin yang berembus kencang terus bikin kaca jendela bergetar,” kata laki-laki bernama lengkap Fiza Fitra Murtala itu.

Ayahnya langsung lari menghampirinya. Sang ibu menyusul kemudian. Maklum, waktu itu Fiza berusia 10 tahun.

“Ada apa?” tanya Fiza kepada ayahnya.

Ayahnya tidak bisa memberikan jawaban. Dia hanya bisa menduga, barangkali markas tentara di dekat rumahnya sedang melaksanakan latihan dengan senjata berdaya ledak. Meski masih penasaran, sang ayah menyuruhnya tidur. Tak lama kemudian, Fiza terlelap.

Minggu pagi, Fiza langsung menyambar televisi. Dia mencari film animasi kegemarannya. Tetapi, Fiza tidak mendapatkan tayangan yang diinginkan.

Stasiun televisi yang biasa menyiarkan tontonan favoritnya malah menayangkan program berita. Rasa penasarannya semalam terbalas. Pembaca berita Minggu pagi itu melaporkan: dua bom meledakkan Paddy's Irish Pub dan Sari Club di Kuta dan satu bom meledak di dekat Konsulat Amerika Serikat, Denpasar. Ledakan bom itulah yang membuat kaca jendela kamarnya bergetar.

Sementara di Kuta...

Paddy’s Irish Pub hanya salah satu dari sederetan klub malam di Jalan Legian, Kuta, salah satu destinasi paling terkenal di Bali. Hampir setiap malam, klub ini ramai dikunjungi wisatawan. Salah satu wisatawan yang mampir ke klub tersebut pada 12 Oktober 2002 malam ialah Peter Hughes.

Hughes sedang memesan minuman saat Paddy’s diguncang ledakan. Badannya terlempar seketika. Namun, warga Perth, Australia tersebut masih bisa berjalan ke luar. Langkah kakinya gontai dan matanya menyaksikan rambut orang-orang yang ada di klub itu mengeluarkan asap. Pakaian yang mereka kenakan compang-camping.

Di luar, situasi yang dihadapi Hughes juga tidak lebih baik. Ledakan terjadi lagi. Sumbernya dari mobil L300 Mitsubishi yang diparkir dekat Sari Club, sekitar 150 meter dari Paddy’s. Gelombang ledakan ini mengempaskan tubuh Hughes ke arah Paddy’s yang terbakar.

Daya ledakan kedua lebih besar dari yang pertama. Api berkobar di atap Sari Club yang berbahan jerami. Dalam waktu kurang dari satu menit, atap itu runtuh dan menimpa orang-orang di bawahnya. Api juga menjalar hebat lantaran sebagian besar bangunan Sari Club menggunakan kayu.

Stewart Anstee, warga Australia yang berada di Sari Club, pingsan. Ketika dia bangun, darah mengucur dari lehernya dan api membakar lengan kirinya.

Ledakan yang merusak Sari Club juga membuat Dan Miller, warga Inggris, meninggal. Miller merupakan suami Polly Brooks. Keduanya menikah lima minggu sebelum peristiwa itu terjadi. Di Bali, Brooks sebenarnya ingin menikmati bulan madu bersama pasangannya.

“Semua yang saya lihat adalah orang-orang terbakar, anak perempuan mencoba memadamkan api yang membakar rambutnya. Saya beritahu dia untuk lari,” ujar William Cabler, warga Amerika Serikat.

“Ah, yang benar saja, kamu”

Saat ledakan demi ledakan mengguncang Kuta, Bambang Agus Priyatno sedang khusyuk membaca koran. Tempat tinggal Bambang hanya berjarak 900 m dari Paddy’s. Bambang mengira ledakan itu berasal dari pesawat jatuh.

Lalu, laki-laki yang akrab disapa Haji Bambang tersebut bergegas menuju Paddy’s. Ternyata, sumber ledakan bukan pesawat jatuh, melainkan bom. Sesampainya di sana, Bambang mengevakuasi korban, baik yang selamat maupun yang telah menjadi mayat.

Satu per satu orang menghampiri Bambang, menanyakan keberadaan anggota keluarga yang mungkin menjadi korban ledakan. Perwakilan tujuh keluarga menyodorkan kain putih. Mereka meminta Bambang membungkus tanah di lokasi bom dengan kain putih tersebut. Tanah itu dianggap sebagai jasad keluarga yang meninggal.

Bambang tidak berjibaku sendiri. Sejumlah polisi sudah turun tangan. Salah satunya Kapolda Bali Brigjen Budi Setiawan. Tetapi, Budi masih belum bisa melaporkan secara pasti jumlah korban meninggal kepada atasannya, Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar.

“Pak, yang mati 10 orang. Eh, bukan, 20 orang. Bukan, pak, 50 orang. Oh, ternyata 80 orang yang mati,” lapor Budi kepada Da’i lewat sambungan telepon.

Da’i membalas, “Ah, yang benar saja, kamu. Masak orang mati jumlahnya naik cepat sekali.”

Percakapan antara Budi dan Da’i itu dicatat Komisaris Jenderal Arif Wachyunadi dalam buku Misi Walet Hitam 09.11.05-15.45: Menguak Misteri Teroris Dr. Azhari (2017).

Berburu Pelaku Teror

Tas dan pakaian berserakan di lantai. Tembok-tembok menghitam karena hangus terbakar. Begitu kondisi Paddy’s yang dilihat Fiza tiga pekan setelah luluh-lantak karena bom.

“Di sana bau gosong mayat masih terasa banget,” kata Fiza.

Saat itu, Da’i Bachtiar telah menunjuk Kapolda Papua Inspektur Jenderal Made Mangku Pastika menjadi kepala tim investigasi yang bertugas memetakan kelompok dan jaringan teroris pelaku peristiwa yang akhirnya dinamai Bom Bali 2002 itu.

Mangku Pastika kemudian menunjuk Komisaris Besar Gregorius Mere, yang saat itu menjabat Direktur IV/Narkoba Korserse Polri, untuk memburu para pelaku dengan melibatkan Pasukan Terlatih Polri dan Markas Komando Teratai.

Bom Bali 2002 bukan teror bom pertama di Indonesia setelah lengsernya Soeharto. Juga bukan yang terakhir. Pada 2000, bom meledak secara bersamaan di sejumlah gereja di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto, dan Mataram pada malam Natal.

Jalan berliku mesti ditempuh pemerintah yang saat itu dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mengungkap siapa penebar teror di Pulau Dewata.

Malam Jahanam di Denpasar

Rachmat Hidayat merasa janggal dengan Yamaha F1-ZR merah yang diparkir di halaman Mushala Al-Ghuroba, Jalan Ceningan, Denpasar. Rachmat pun melaporkan sepeda motor itu ke pihak kepolisian.

Menurut Rachmat, kendaraan tersebut diparkir 40 menit setelah ledakan terjadi. Rachmat kemudian menceritakan ciri-ciri wajah pemarkir motor bernomor polisi DK 5228 itu kepada pihak kepolisian. Uraiannya ditorehkan dalam bentuk sketsa wajah oleh Bambang Shakuntala, seniman asal Yogyakarta.

Alhasil, sketsa itu mirip dengan wajah pembeli terakhir mobil Mitsubishi L300. Keterkaitan mobil ini dengan Bom Bali 1 tersingkap setelah nomor kir mobil (DPR 15453) ditemukan ahli forensik Polri Irjen Anang Kusnadi di dekat lokasi ledakan. Data Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Denpasar mencatat pembeli terakhir mobil itu adalah seseorang bernama Amrozi.

Pada 5 November 2002, Amrozi ditangkap di Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur.

Orang yang membawa Yamaha F1-ZR merah itu bukan Amrozi, melainkan adiknya, Ali Imron. Dia bertugas menjadi sopir Mitsubishi L300 yang mengantarkan Jimi dan Isa, pengantin bom bunuh diri, ke lokasi pengeboman. Sedangkan Yamaha F1-ZR dibawa Idris yang bergerak menguntit mobil.

Sesampainya di lokasi, Ali Imron keluar dari mobil. Dia menghampiri Idris, lalu keduanya pergi meninggalkan Kuta menuju Denpasar. Mereka menaruh Yamaha F1-ZR yang telah dimodifikasi Ali Imron itu di halaman Musala Al-Ghuroba sebab ada kolega mereka yang akan mengambilnya.

Anatomy of a Terrorist Attack: An in-Depth Investigation into the 2002 Bali, Indonesia, Bombings (2007, PDF) yang disusun lembaga riset University of Pittsburgh, Matthew B. Ridgway Center, menyebutkan bom yang meledak di Paddy’s berbahan 5 kg TNT. Bom itu diletakkan di dalam rompi yang dikenakan Isa. Ia meledak pada 23.00 WITA.

Sedangkan bom yang ditaruh di mobil L300 Mitsubishi dibuat dari 110-330 pound ammonium nitrat. Jimi ada di dalam mobil itu. Bom ini meledak 15 detik setelah meledaknya bom di Paddy’s.

Ledakan di klub Paddys’s Irish dan Sari menewaskan 202 orang. Sebanyak 38 di antaranya merupakan warga Indonesia. Sedangkan korban meninggal lainnya merupakan warga Australia (88 orang), Inggris (24 orang), AS (7 orang), Jerman (6 orang), dan lain-lain (39 orang).

Selain dua bom di Kuta tersebut, sebuah bom juga meledak pada 11.01 malam WITA di dekat konsulat Amerika Serikat Denpasar. Ia berbahan kurang dari 1 pound TNT. Daya ledak bom ini tidak sebesar dua bom di Kuta. Tidak ada korban jiwa maupun luka-luka akibat bom tersebut.

Infografik Mozaik Bom Bali

Dana Al-Qaeda untuk Jemaah Islamiyah

Pada Desember 2002, kepolisian sudah menangkap dan menetapkan 8 tersangka pelaku Bom Bali 2002. Selain Amrozi, mereka antara lain Abdul Azis, Hernianto, Agus alias Andi Hidayat, Junaedi alias Amin, Andre Oktavia alias Yudi, Ali Gufron alias Muklas, dan Abdul Rauf.

Rekonstruksi perencanaan Bom Bali 2002 yang diselenggarakan tim Mangku Pastika pada 21 Desember 2002 mengungkap Zulkarnaen, Ali Gufron, Amrozi, Imam Samudra, Dulmatin, Umar Kecil, dan Idris merencanakan Bom Bali 2002 dengan melakukan pertemuan sebanyak 2 kali akhir Juli 2002 dan pertengahan Agustus 2002 di rumah mertua Hernianto.

Waktu itu, Mangku Pastika juga mengatakan kepolisian telah menemukan dokumen Jamaah Islamiyah (JI) yang menunjuk Abu Bakar Ba'asyir sebagai pimpinan JI. Para anggota JI biasa menyebut Ba'asyir "Amirul Mukminin Indonesia".

"Ali Gufron alias Muklas berperan sebagai Mantiqi Ula mengepalai wakalah-wakalah dari JI. Sementara JI didirikan oleh Abu Bakar Ba'asyir dan almarhum Abdulah Sungkar. Yah, silakan Anda kaitkan sendiri dengan posisi Ba'asyir seperti itu," ujar Pastika, seperti dilaporkan Kompas (22/12/2002). Ali Gufron juga berperan merekrut kedua adiknya, Amrozi dan Ali Imron.

Ali Imron dan Idris berusaha kabur dari kejaran polisi, namun akhirnya mereka tertangkap juga. Tim pimpinan Mangku Pastika menangkap Ali Imron pada 13 Januari 2003 di Pulau Brukang, Kalimantan Timur. Sedangkan Idris dibekuk polisi pada pertengahan Juni 2003.

Menurut Ali Imron, Imam Samudra mengumumkan rencana pengeboman Bali pada pertemuan di Solo, pertengahan Agustus 2002. Bali dipilih karena sering dikunjungi orang AS dan Australia.

Pada Oktober 2001, pasukan AS mulai menggempur Afganistan. Paman Sam mengincar Al-Qaeda, organisasi yang dipimpin Osama bin Laden. Al-Qaeda disebut sebagai dalang teror 11 September 2001, ketika pesawat menabrak gedung World Trade Center di New York.

Penyelidikan selanjutnya mengungkap Ali Ghufron menerima 30 ribu dolar AS dari Ketua Wakalah Jemaah Islamiyah Negeri Johor, Malaysia, Wan Min bin Wan Mat. Dana itu diakui Wan Min berasal dari Al-Qaeda.

Untuk keperluan Bom Bali 2002, Amrozi membeli bahan peledak di toko Tidar Kimia di Surabaya, Jawa Timur. Dia menyebut Dulmatin sebagai orang yang membantu merakit bom. Dia juga mengatakan Abdul Ghoni dan Umar Patek yang meramu bahan peledak. Sementara itu, Ali Imron mengaku membantu merakit bom yang diletakkan di dalam Mitsubishi L300.

Imam Samudra ditangkap pada 21 November 2002. Saat itu, dia berada dalam bus PO Kurnia di Terminal Banten. Tim Investigasi Bom Bali mudah melacak keberadaan Imam Samudra karena ia rajin ke warung internet dan bertelepon. Sedangkan Ali Ghufron dan Abdul Ghoni ditangkap pada Desember 2002.

Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Amrozi divonis hukuman mati. Sedangkan Ali Imron divonis hukuman seumur hidup. Samudra, Ghufron, dan Amrozi dieksekusi mati pada 2008. Sementara Ali Imron sekarang menjadi mitra Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk program deradikalisasi teroris.

Bom Bali 2002 sempat menurunkan animo kunjungan wisatawan. Bertahun-tahun setelahnya, serangan bom teroris itu masih meninggalkan duka yang mendalam bagi para korban dan keluarga mereka.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI BOM BALI atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan