Menuju konten utama

Alasan Menyiksa Tahanan dengan Lagu-Lagu Westlife

Siapa bilang lagu Westlife hanya untuk hati yang jatuh cinta saja?

Alasan Menyiksa Tahanan dengan Lagu-Lagu Westlife
Seorang demonstran melakukan aksi protes terhadap penyiksaan tahanan di penjara Guantanamo. REUTERS/Luke MacGregor

tirto.id - Akhir dekade 1990an grup musik Westlife melejit dengan serangkaian album yang laku keras. Dengan bantuan MTV, lima pemuda asal Irlandia menghentak jagat musik pop dengan format boyband. Jauh sebelum Korea Selatan menguasai ranah ini, mereka sudah terlebih dulu melakukannya. Namun siapa sangka, tembang mereka yang identik dengan cinta-cintaan ternyata digunakan untuk tujuan lain: penyiksaan.

Adalah “My Love,” salah satu lagu mereka di album Coast to Coast (2000) yang digunakan CIA sebagai metode interogasi. Lagu tersebut menjadi andalan CIA untuk mengorek informasi dari tahanan asal Tanzania, Suleiman Abdullah yang ditangkap karena dugaan terorisme. Cara-cara interogasi terhadap Suleiman sempat memantik kontroversi sebab dianggap tak manusiawi.

Laporan berjudul “Out of Darkness” yang dikeluarkan American Civil Liberties Union menyatakan lagu “My Love” merupakan bagian dari metode interogasi, bersama dengan metode lain seperti menenggelamkan kepala di air es atau membenturkan kepala ke dinding.

Dalam proses interogasi, “My Love” dimainkan bersama lagu-lagu heavy metal seraya diputar berulang-ulang selama satu bulan. Tujuannya ialah mengacaukan kondisi psikologis Suleiman. “Musik yang diputar berkali-kali merupakan skema untuk menyerang indera lawan,” tulis laporan itu.

Baca juga: Hari-Hari di dalam Rumah Tahanan

Hal yang sama terjadi pada mantan tahanan Guantanamo, Binyam Mohamed. Dalam kurun waktu 20 hari, Binyam "dipaksa" mendengar lagu hip-hop Eminem serta Dr. Dre. Sedangkan mantan tahanan Guantanamo lainnya, Haj Ali dicekoki lagu David Gray sepanjang siang dan malam.

Tak sebatas digunakan pada tahanan, penggunaan musik juga diterapkan sebagai strategi penyerangan. Pada 1989, Amerika hendak menangkap komandan cum politisi Panama, Manuel Noriega. Noriega didakwa AS atas kasus perdagangan narkoba serta kecurangan pemilu. Kala George Bush memerintahkan invasi ke Panama, Noriega bersembunyi di kedutaan Vatikan. Ia tak mau menyerahkan diri.

Pasukan AS tak menyerah. Mereka menyerang mental Noriega dengan memutar musik sekeras mungkin di luar gedung. Lagu yang diputar adalah lagu-lagu band rock seperti The Clash, Van Halen, sampai Guns N’ Roses. Setelah tiga hari diputar, playlist dadakan ini dihentikan karena protes dari pihak Vatikan. Tak lama kemudian, Noriega menyerah.

Tiga tahun berselang, FBI melakukan hal serupa untuk menangkap para anggota sekte David Koresh di Texas. Jika untuk kasus Noriega hanya butuh waktu 3 hari, untuk kasus Koresh aparat memutar musik selama 51 hari tanpa henti. Lagu yang diputar meliputi “These Boots Are Made for Walking’” milik Nancy Sinatra, mantra-mantra Tibet, sampai suara kelinci yang disembelih.

Sementara itu, saat perang di Afghanistan tentara AS menggunakan lagu Metallica dan Thin Lizzy. Lagu-lagu metal itu diputar di desa Marjah selama beberapa jam untuk menarik kelompok Taliban keluar dari sarang.

Baca juga: Kisah Yahudi-Belanda di Kamp Tahanan Jepang di Indonesia

Penggunaan musik sebagai taktik militer maupun metode interogasi tahanan mulai rutin dipakai AS dalam operasi militer di Afghanistan dan Iraq. Musik seperti hip-hop dan heavy metal jadi prosedur standar dalam interogasi. Militer AS menggambarkan penggunaan teknik ini dapat “menimbulkan perasaan putus asa dan ketidakberdayaan.”

infografik ulang terus sampai kapok

Dianggap Berbahaya dan Dilarang Internasional

Psikolog Phillip Johnson mengungkapkan bahwa musik lembut seperti balada Westlife dikombinasikan dengan hard rock akan menjadi metode penyiksaan yang efektif. “Saat lagu perlahan menidurkan pendengarnya, tiba-tiba musik rock datang mengejutkan,” jelasnya. “Ini menjadi tidak nyaman, tapi juga menyedihkan karena pada satu titik otak tidak mampu memproses dan menjadi letih.”

Johnson menambahkan, penggunaan musik untuk penyiksaan juga menyebabkan dampak berkepanjangan di samping rasa trauma di otak. Bagi yang diinterogasi dan disiksa, efeknya sangat merusak. Pada dasarnya saat musik dengan volume keras diputar, telinga tidak berdaya untuk melindungi ancaman dari luar. Berbeda dengan mata yang memiliki pelindung.

Meski demikian, bagi para interogator metode menggunakan musik memberikan keuntungan besar misalnya, tidak ada jejak siksa fisik yang ditinggalkan, karena pada dasarnya metode ini menyerang sisi "kejiwaan" tahanan. Selain itu, dengan menerapkan metode ini, interogator dapat memecah konsentrasi, menurunkan resistensi, hingga menghilangkan perasaan "aman" bagi para tahanan sebelum nantinya diberondong dengan segala macam pertanyaan.

Baca juga: Ketika Siksaan jadi Kebutuhan dalam Menginterogasi Tahanan

Suzanne Cusick, profesor musik dari New York University yang telah lama meneliti penggunaan musik sebagai metode interogasi dan senjata perang menyebutkan bahwa pada 1998 terdapat perusahaan bernama Synetics Corporation yang dikontrak pemerintah untuk menghasilkan sinar infrasonik yang dapat melumpuhkan bahkan mematikan. Setahun setelahnya, Cusick menambahkan, Maxwell Techonologies telah mematenkan sistem suara hipersonik yang dirancang untuk mengendalikan kerumuman yang rusuh atau melemahkan tawanan.

Seiring waktu, penggunaan musik sebagai metode interogasi telah dilarang organisasi-organisasi internasional seperti PBB dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. “Penggunaan musik keras dengan tekanan panas yang mengakibatkan stres, rasa sakit, merupakan tindakan kejam dan tidak manusiawi serta dilarang hukum internasional,” papar Sara MacNeice dari Amnesty International.

Baca juga artikel terkait INTEROGASI atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Musik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf