tirto.id - November 1971, empat pesawat Sabre F-86 milik Pakistan mengitari kamp tentara India dan melakukan beberapa serangan. Jet tempur IAF Folland Gnat milik India lalu membalas dan berhasil menjatuhkan tiga Sabre.
Salah satu pilot Sabre, Parvaiz Qureshi Mehdi, berpangkat Komandan Skuadron 14 AU Pakistan, ditangkap dan hampir dikeroyok oleh tentara India lainnya sebelum Kapten HS Panag membantunya menyelamatkan diri. Panag adalah perwira Batalyon 4 Resimen Sikh, India, yang langsung membawa Mehdi ke ruang perawatan.
Meskipun akhirnya ditahan oleh India selama satu setengah tahun, Mehdi mengaku diperlakukan dengan baik. Ia ditawarinya minum teh oleh Panag dan mengatakan bahwa tehnya memiliki rasa yang sangat fantastis.
Hampir setengah abad kemudian, tepatnya pada 2019, giliran MIG-21 milik India yang dijatuhkan oleh tentara Pakistan di Kashmir dan menahan pilotnya, Abhinandan Varthaman. Tentara Pakistan menyelamatkannya dari pengepungan warga desa saat pesawatnya itu jatuh. Ia ditahan selama 60 jam dan diperlakukan dengan baik.
Ia ditawari teh oleh tentara Pakistan dan mengatakan, “Tehnya luar biasa, terima kasih.”
Insiden ini mencuri perhatian banyak kalangan. Apa yang dilakukan tentara Pakistan dalam memperlakukan Abhinandan dianggap sebagai simbol balas budi bagaimana India memperlakukan hal yang sama terhadap pilot Parvaiz Qureshi Mehdi puluhan dekade silam.
Insiden keduanya juga bisa dianggap keberhasilan diplomasi teh, minuman khas yang digandrungi di kedua negara.
Warisan Masa Kolonial
Teh bukan hanya minuman di Pakistan. Bagi para suami yang baik, minum teh dengan istri mereka di sore hari adalah hal yang diharapkan. Dan bagi para wanita, menguasai seni membuat teh yang baik adalah cara untuk mengesankan keluarga suami mereka.
Pria muda sering kali berkumpul dengan teman-teman mereka dengan alasan minum teh. Minum teh juga digunakan sebagai cara untuk menghibur pacar yang patah hati.
Teh bahkan menjadi bagian dari sistem penegakan hukum di Pakistan. Di jalan raya, penjaga lalu lintas yang korup akan membiarkan pengemudi yang nakal pergi tanpa denda jika yang terakhir membayar chai-paani milik mereka.
Budaya minum teh di Pakistan tidak hanya tentang minuman, tetapi juga tentang kebersamaan, toleransi, dan penghormatan terhadap tradisi dan kebiasaan. Seperti yang dikatakan penulis Sadia Khatri, "Seseorang tidak bisa mengambil teh dari kehidupan orang Pakistan."
Sejarah minum teh di Pakistan terkait erat dengan sejarah minum teh di seluruh Asia Selatan dan Timur. Teh diperkenalkan ke wilayah ini pada abad ke-16 oleh pedagang Tiongkok dan menyebar ke India dan wilayah-wilayah sekitarnya.
Namun, minum teh di Pakistan baru menjadi populer pada abad ke-19, ketika Inggris menguasai wilayah tersebut dan membawa tradisi minum teh. Teh diperkenalkan ke Pakistan sebagai warisan kolonialisme.
Ketika India mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1947, Pakistan terpisah dan mengambil bagian dari wilayah India yang memiliki penanaman teh yang subur di wilayah Assam dan Darjeeling.
Warsa 1982, beberapa wilayah lainnya seperti Mansehra, Battagram, Abbotabad, dan Malakand, diketahui memiliki lahan yang cukup bagus untuk ditanami teh setelah beberapa ahli China mengunjugi Kyber Pakhtunkhwa.
Empat tahun kemudian, pemerintah Pakistan merespons temuan ahli China tersebut dengan mendirikan National Tea and High-Value Crops Research Institute (NTHRI) di bawah naungan Pakistan Agricultural Research Council (PARC).
Setelah itu, Pakistan mulai menanam teh dan akhirnya menjadi produsen teh, meski dalam skala kecil.
Pakistan menjadi salah satu pengimpor teh terbesar di dunia dan mengeluarkan sekitar $600 juta per tahun untuk memenuhi permintaan teh. Jumlah penduduknya yang mencapai 220 juta orang, minum rata-rata empat hingga enam cangkir teh per hari, sehingga menjadikan Pakistan sebagai negara dengan konsumsi teh per kapita yang tinggi.
Menurut survei pemerintah tahun 2011 (PDF), 2 persen dari pengeluaran bulanan rata-rata rumah tangga Pakistan adalah teh, dan 24 persen lainnya untuk produk susu. Tujuh persen lainnya digunakan untuk gula.
Faktor sejarah, budaya, dan iklim membuat teh menjadi minuman yang sangat populer di kalangan orang Pakistan.
Aneka Teh di Pakistan
Beberapa jenis teh yang populer di Pakistan berkualitas tinggi. Teh hitam "Masala Chai" dengan susu dan rempah-rempah digemari oleh orang-orang Karachi. Di Punjab, teh susu yang kental disebut "Doodh Patti Chai" sangat diminati.
Lalu di Kashmir, minuman umumnya adalah teh hijau yang dikenal sebagai "Kahwah". Namun demikian, versi khusus teh Kashmiri yang disebut "Noon Chai" menjadi lebih populer karena ada tambahan kapulaga dan pistachio sehingga warnanya menjadi merah muda. Minuman ini sering kali dihidangkan saat acara istimewa seperti pesta dan pernikahan.
Selain itu, ada juga teh hitam yang disajikan dengan gula dan susu, yang sering disebut sebagai "Parcha Chai" dan merupakan minuman pilihan di daerah-barat laut Pakistan. Teh hitam yang disajikan dengan gula merah juga populer di beberapa daerah, terutama di daerah pedalaman.
Di daerah pesisir Pakistan seperti Karachi, teh dingin atau "iced tea" sangat populer. Teh dingin tidak hanya disajikan dalam bentuk teh hitam, tetapi juga dalam variasi teh hijau dan buah-buahan seperti limau, stroberi, dan peach.
Pada musim panas, teh yang disajikan dengan es dan mint seperti "Shikanjabeen" diyakini memberikan kesegaran dan kesehatan.
Di Karachi, kota terbesar di Pakistan, minum teh adalah ritual yang sangat penting dan sering dilakukan oleh keluarga, teman, dan rekan kerja. Teh dianggap sebagai minuman yang menyatukan dan menjadi simbol keramahan.
Budaya Minum Teh di Karachi
Di Karachi, minum teh sangat populer di antara berbagai kelompok sosial, termasuk kelas pekerja dan buruh, yang sering mengunjungi kedai-kedai teh atau dikenal dengan “Chai Dhaba”. Kota ini juga dikenal sebagai rumah bagi kedai teh dengan harga terjangkau. Lusinan toko banyak menawarkan harga teh rata-rata 50 rupee Pakistan atau sekitar 3.000 rupiah per porsinya.
Chai Dhaba umumnya terletak di pinggiran jalan. Kedai teh ini bukan hanya tempat untuk minum teh, tetapi juga berfungsi sebagai pusat sosial bagi orang-orang dari berbagai latar belakang. Sudah menjadi pemandangan umum melihat pengusaha, mahasiswa, dan politikus berdiskusi tentang politik, olahraga, atau bahkan kehidupan sehari-hari sambil minum teh.
Teh dianggap sebagai penyeimbang sosial yang ampuh di Pakistan yang menembus berbagai kelas, keyakinan, dan politik. Oleh sebab itu, kedai teh juga sering dijadikan tempat untuk memperlihatkan status seseorang.
Kedai teh yang lebih mahal kerap dianggap sebagai tempat yang lebih eksklusif, sementara kedai teh yang lebih sederhana biasanya dikunjungi oleh orang-orang dari lapisan masyarakat yang lebih rendah.
Saat berkunjung ke kedai teh, pengunjung biasanya akan disambut dengan teh panas yang disajikan dalam cangkir khas yang disebut “Kulhar”, yang terbuat dari tanah liat dan dipercaya memberikan rasa yang lebih baik pada teh. Setiap cangkir kulhar dianggap unik dan memberikan sentuhan personal dalam ritual minum teh.
Budaya minum teh di Karachi merupakan perpaduan berbagai rasa. Ada teh susu tradisional, ditemani roti, biskuit, dan samosa. Juga, ada Masala Chai, Cardamom Chai, dan Ginger Chai.
Teh yang paling umum disajikan biasanya Masala Chai, teh yang dicampur dengan rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, kapulaga, dan cengkeh. Masala Chai sering disajikan sebagai minuman hangat selama cuaca dingin. Lalu ada juga Doodh Patti, teh susu yang dicampur dengan gula.
Di Karachi, tradisi minum teh di Dhaba Chai pinggir jalan telah berubah. Dulu hanya pelanggan pria yang datang, tetapi sekarang banyak dibuka yang menyediakan ruang aman bagi wanita dan keluarga.
Khatri, seorang aktivis lokal dari Girls at Dhabas, menyambut momen ini sebagai kemenangan kaum feminis di Pakistan.
“Ada asosiasi patriarki dengan laki-laki yang minum teh di Dhabas karena laki-laki biasanya dapat mengunjungi ruang publik terbuka kapan saja, sementara perempuan secara konvensional tidak,” katanya seperti dilansir South China Morning Post.
Meski demikian, kedai teh di Karachi tetap berisiko menjadi sasaran serangan dan pemerasan berbagai kelompok. Begitu juga budaya perdebatan di kedai teh akibat antrian dan pemesanan, kerap jadi pertengkaran tentang siapa yang harus dilayani lebih dulu.
Ancaman lainnya ialah budaya teh yang makin populer di Karachi menghadapi persaingan dari budaya kopi. Banyak kedai yang menawarkan racikan kopi eksotis bermunculan dalam beberapa tahun terakhir, dengan pengunjung anak-anak muda.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi